Monday, August 3, 2009

A day in a life


Malam itu di sebuah punggungannya gunung Tikukur, Tjiwidej, demikian tulisan di peta AMS (US Army Map Service) tahun 40an yg diperbaharui tahun 63, pohon-pohon kayu di sekitar kami. Pepohonan itu antara menyerap dan membiarkan asap, seperti kata buku IPA soal fotosintesis, yang kadang-kadang tipis dan kadang tebal memedihkan, dari unggun api kami yang selalu kami jaga nyalanya agar konstan, setidaknya sampai kantuk masih dapat kami kalahkan.
Roll yang dihasilkan oleh perpaduan sela-sela pepohonan,asap, dan api yang menerangi juga sekitar tenda kami belum dapat kami abadikan dalam kanvas elektrik maupun seluloid. Semua cuma kami rekam dalam ingatan. Jalan-jalan dan daun-daun hutan yg setengah basah, rawa-rawa yang tidak pernah benar2 kering, dan kawan-kawan yang seperjalanan.
Obrolan di seputar api unggun lebih soal dunia maya dan dunia nyata dalam perspektif mahasiswa ikatan dinas yang sudah DO atau baru terancam DO, dua angkatan yaitu kakak2 dan adik2 kelas, yang kemudian mereaksi antara masa bodoh atau mempersiapkan mental menemui dunia nyata, dunia kerja, dunia harapan orang tua atau dunia konsekuensi meski tidak benar-benar sebuah pilihan hitam putih.
Cuma lalu kuingat bahwa malam itu memonumental beberapa ingatan. Malam itu dulu juga pernah kutulis, yang sepertinya mampu mewakili sebuah sikap pilihan hidup, kenikmatan dari secangkir kopi. Dan ketika bibir kita pernah terslomot cangkir aluminium koboi yg kutemukan di pasar loak jatayu, setidaknya kita telah membuktikan bahwa alumunium adalah penghantar panas yang baik.
Kudefinisikan di hatiku, bahwa kenikmatan hiduplah ketika kita masih dapat menyeruput secangkir kopi hitam yang pahit dan menghargainya sebagai sebuah anugerah luar biasa, dimanapun itu, di tengahnya rimba raya, diantara pepohonan & semak, di pinggirnya sungai yg kita arungi, di sebuah tempat bermalam di pantai sepi yang sumuk, dan lalu otak memodifikasi memakluminya ketika di tengah ramainya pasar di singapore, di sebuah cafe di pattaya, dan barangkali suatu saat di jalanan birmingham atau dover yang aku ingin tongkrongi.
Cukup kopi saja yang pahit, sedangkan hidup biarlah dia terus manis meski dengan berbagai pergulatannya.
Sayup2 terdengar dari radio mono yg kita gantung di tiang tenda, one day in your live-nya michael jackson. Sebuah lagu yg kala itu sama mendiamkan mulut2 kita, lagu yang sebelumnya cukup akrab di telinga kala itu tanpa tahu penyanyinya (aku baru tahu penyanyinya siapa dr isnanto besar). Mulut2 kita sama2 terkunci, barangkali krn saat itu pikiran kita terbang ke angkasa kita masing2 melalui masa2 yang lewat & masa depan yang misteri. Lalu, situasi resonansi antara bau kulit kayu yg terbakar, aroma daun2 basah, titik2 bara yang terbawa angin, dingin udara gunung, dan sayup sayup suara radio mono pun menyenangkan telinga2 kita.
Sekian tahun kemudian dalam kepenatan kerja sebagai orang gajian yang belum dapat memerdekakan diri dari disuruh-suruh, kutatap layar laptopku, lagu one day in your life-nya MJ yg jadi sering terdengar sejak kepergiannya, beberapa kali ku replay sampai bosan. Masih kupegang idealisme yg tidak berubah, idealisme secangkir kopi, dan mulutku terkunci, pikiran mengembara ke angkasa masa depan yang separo cita2 dan separonya adalah misteri, yang semuanya menghendaki ditempuh dengan keyakinan. Dan lalu, sayup-sayup suara sederhana dari radio mono malam itu seperti terdengar kembali untuk menenangkan.






Read More......

Tuesday, May 12, 2009

Dari Jendela


Dari jendela restorasi KA, pagi itu saat berhenti, tertangkap mata dua anak kecil yang sedang beristirahat dari meminta-minta, duduk di rel kereta api di sebuah setasiun kecil di ujungnya tanah priangan. Tidak jelas apakah dia dipekerjakan ataukah terdesak keadaan atau dengan alasan yg tidak pernah kita pikirkan.
Alam indonesia yang indah dan kaya raya yang tampak dari jendela, sawah-sawah yang menghampar hijau kuning, bangunan sekolah yang kadang2 terbaca papan namanya sepanjang perjalanan rupa-rupanya tidak selalu mempunyai arti kecukupan sandang pangan pendidikan bagi penduduknya.

Dari jendela pesawat kelas satu, siang itu tampak hamparan awan rendah di bawah dan strato cumulus di sisi yang lain, sungai besar yang berliku-liku & lalu pantai antah berantah yang terintip di sela-sela awan. Di depan sebuah pantai noktah putih, barangkali sebuah perahu nelayan yang sedang mencoba peruntungannya hari itu di tengah musim barat yang terkadang ganas, harapannya tentu masih ada ikan yang tersesat di jaring jalanya untuk menyambung hidup yg seperti tidak pernah terasa mudah buatnya.

Dari jendela bordes KA eksekutif yang sepi, tak ada kawan atau lawan yang berdesakan mencari tempat duduk, tidak ada bakul nasi telor yang melintas. Seperti di kereta di sebrang sana, KA pergulatan, dimana manusia2 besar kecil mempertahankan atau memenuhi kebutuhan hidupnya, di bordes-bordes dekil, di jendela2 kaca kusam, di bangku2 tegak yg membuat encok makin parah, otak mencoba membuai dengan pemakluman kepada ketidaknyamanan, pemakluman pesing WC yg tak terawat, pemakluman cap "ekonomi", pemakluman peng-kelas-an golongan untel-untelan, pemakluman bau obat gosok dukun yg dipercaya menyembuhkan sakit kepala tetapi memualkan penumpang yg lain, pemakluman atas "tidak ada pilihan".

Dari jendela pesawat udara ekonomis, jauh di bawah sana sepertinya anak krakatau, yang leluhurnya dulu konon pernah mengguncangkan dunia ketika kemudian memisahkan dua budaya dan dua tanah besar. Batas-batas pulau adalah lautan yang biru, kaki langit batas cakrawala, sebagian dari kita telah melewati batas-batas yang dulu cuma ada di alam mimpi.

Dari jendela ruang kerja, bayangan-bayangan datang silih berganti,
ada anak-anak kecil yang naik sepeda di pematang sawah,
ada dua orang tua yang sedang bercakap-cakap,
ada anak-anak sedang bersendau gurau,
ada wajah-wajah wanita,
ada juga tentang cinta,
konon menggenggam cinta seperti menggenggam pasir, ketika terlalu kuat, maka dia akan lolos lepas dari sela-sela jari-jari,
dia hanya bertahan ketika tangan tersusun menangguk mewadahinya menahan efek gravitasi, dan membebaskan sisi lainnya,
lalu aku bertanya pada diriku sendiri? apakah terlalu kuatkah atau tanganku sudah menangguk mewadahi dengan wajar ?
Aku merenung. secangkir kopi dan sebungkus biskuit kanak2 mencoba menenangkanku yg gundah ingin memperbaiki keadaan.





Read More......

Monday, March 2, 2009

Jang koewat jang kalah 2


Bayangan kota Medan tengah kota dalam jumpa pertamaku tahun lalu, aku ingat Bandung, kota tua yg sudah "established" sejak beberapa abad lampau, banyaknya pohon2 besar yang rindang dan banyaknya perempatan jalan yang kebetulan semrawut, ya mungkin itu, yang lalu mempermiripkan dengan Bandung.
Sore hari itu dalam perjalanan kedua saya ke medan itu ditemani Irphan "Bonteng", senior saya di Astacala, yg sudah berbaik hati yg kesekian kalinya buat saya, dari ngutangi sampai ngantar-jemput di Bandara, dlsb. Sore itu mengalir obrolan-obrolan khas unggun api yg dulu biasa kita percakapkan di saat pendidikan dasar rekruit baru pencinta alam, atau di saat penjelajahan-penjelajahan, yg serius maupun yg santai-santai. Meski yang dianggap serius pun sebenarnya juga santai-santai.
Sore itu kami mampir makan menu Sibolga, -Sibolga adalah salah sebuah kota di pantai barat Sumatra, masuk propinsi Sumatra Utara. Syarat awal sebelum makan: pokok-nya ikan. Ekspektasi tentu minimal seperti tahun lalu saat ke sana, dimana kami menikmati nyamannya ikan kakap bakar dan jus terong belanda, dan ditutup dengan segelas kopi hitam. Sore kemarin dulu itu memang over ekspektasi, ketika kami "cuma" dapat menemukan ikan sardin (semarang =pindang), dan daging ikan pari yang kremus2
karena mengandung tulang rawan. Kawan2 cukup tanggap menerangkan keadaan, dimana katanya mahluk yg bernama ikan laut itu sedang susah diperoleh di pasaran, sehingga ikan sardin yg seingat saya harganya di kisaran 10 ribuan atau paling mahal 12 ribu sekilonya tembus 30-50 ribu! Mengapa sampai terjadi krisis ikan laut? Dan Irphan kembali memberikan ceritanya, soal musim yg makin tidak menentu dan degradasi lingkungan. Kegemaran memancingnya yg telat baru timbul, rupa-rupanya sedang ketemu musim yg tidak tepat. Ikan yang konon biasanya banyak nongkrong di muara entah lari kemana. Tambak-tambak udang pasang surut yg dulu sempat menjadi sandaran ekonomi sudah mati diam, cuma menyisakan tiang telpon dan tarikan kabel, yang menandakan bahwa tempat itu pernah menjadi pertemuan hajat hidup orang banyak. Jangankan itu, tambak alam yg dulu suka disinggahi ikan mujair tanpa repot menebar benih pun tinggal cerita.
Bagaimana dengan kaum nelayan yang gagah berani "menjemput bola" mengarungi ombak, yang sesekali diintip sang maut yang dibawa badai sang "barat"? Seperti juga cerita para american indian yg berjuang seperti ksatria melawan kulit putih, akhirnya mereka menyerah kepada keadaan. Banyak hal tidak dapat dilawan hanya dengan kegagahan. Kalau dulu hasil laut yang dapat dipanen bisa 2-3 drum besar, sekarang tinggal setengah drum kurang. Cerita hasil laut yang melimpah ruah di pelabuhan ikan "Bagan Siapi-Api", cuma jadi legenda di buku rangkuman pengetahuan umum SD dulu. Kejayaan bahari seperti menjadi secarik guntingan kliping koran kenangan, yg tertempel di salah satu lemari kaca museum.
Apakah alam benar-benar tidak mau berdamai? Cerita Bonteng masih berlanjut, soal limbah pengolahan minyak dan limbah pengolahan CPO berada di daerah penyangga kota, yg dibuang ke laut sebagai tempat sampah raksasa itu, menyumbang masalah lingkungan disamping menjadi solusi kebutuhan akan sumber daya, lapangan kerja dan pendapatan niaga.
Perasaan "ditinggalkan" oleh alam belumlah berlangsung lama dirasakan, baru 2-3 tahun, dan kita menerka, dampak yang baru dirasakan itu mungkin terjadi oleh proses yang kita lakukan jauh lama beberapa tahun sebelumnya. Pengulangan atas kesadaran-kesadaran yg terlambat?
Sore itu daun ubi tumbuk yg ada rasa sirihnya, khas Sibolga, menemani sisa ikan pari yg dibakar meluncur ke kerongkongan, tidak ada kopi sidikalang, cuma ada jus terong belanda yg siang itu terasa asing.
Menjelang magrib itu kami mampir ke senior saya yang lain di astacala, Slamet Ambon. Obrolan kembali mengalir ditemani kopi londo dan sejurus kemudian "perintah" makan malam turun, dengan sayur bayam dan ikan lele. Kalau konsumen yg mempunyai uang pembelanja, dapat memilih jenis ikan pengganti ikan laut, apakah para nelayan yang sudah dibesarkan oleh zaman menjadi nelayan juga mempunyai pilihan yang mudah buat
mencari alternatif ekonomi buat berteduh disamping ngutang ke rentenir dan bahkan mengijon-kan anak-anaknya?
Musim berganti, gambar mereka kaum nelayan banyak diangkat buat pemenangan demokrasi. Dan semoga kemudian kisah riang lagu nelayan bukan cuma tinggal kenangan di rekaman elektronik yang anak-anak minta sebelum tidur mereka, buat mengiringi mereka melompat mengekpresikan gerakan ikan sebagai sisa energi mereka hari itu menjelang lelap.

Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat
Tarik-tariklah tambang, umpan sudah lekat
Ikannya melompat-lompat 2x, riang riaaa…

Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik, kadang turun, dimainkan oleh ombak
Badai laut biru

Gulagalugu suara nelayan, berayun2 laju, berayun2 laju…
Gulagalugu suara nelayan, berayun2 laju, berayun2 laju…

Berayun ayun laju perahu Pak Nelayan
Laju memecah ombak perahu Pak Nelayan
Buih-buih memercik di kiri-kanan 2x, perahuuuu…

Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik, kadang turun, dimainkan oleh ombak
Badai laut biru


Gulagalugu suara nelayan, ber-ayun2 laju ber-ayun2 laju
Laylaylaylaylaylaylaylaylaylay laylaylay


http://www.youtube.com/watch?v=-dT4RYbHBfc&feature=related





Read More......

Thursday, February 5, 2009

Realisasi


Akhirnya ngetik juga.
Mengingat liburan yang telah kami lewatkan kemarin, mengingat kembali soal rencana2, harapan2 dan kenyataan.
Boleh dikatakan, perencanaan perjalanan liburan kemarin lumayan "serius", seperti yg pernah kutulis sebelumnya,arti serius, ada banyak hal yang sudah kami buat rundown-nya, acara-acara apa saja, kapan waktunya dan lain sebagainya, meskipun settingan itu baru tersimpan di otak.
Liburan kali ini ombak pantai lumayan besar, laut biru seperti kaca atau agar-agar tidak sepenuhnya terjadi. Sunrise yanng ditunggu selama dua hari tergantikan oleh hujan yang selalu turun mulai dinihari atau sehabis subuh. Parasailing,-main parasut dgn ditarik motor boat-, tidak dapat dilakukan krn angin darat yang bertiup dominan, artinya bila dipaksakan terbang, tidak dapat diprediksikan akan turun di bagian sebelah mana dari lautan luas laut cina selatan atau laut natuna itu.
Lalu kemudian, pencapaian-pencapaian atas keinginan-keinginan rupa-rupanya tidak mutlak harus seperti rundown di atas. Toh, memang sejak semula tidak mutlak memposisikan diri event organizer atau biro perjalanan wisata, kalau kemudian orang tua lebih menjadi sopir, fasilitator lapangan, baywatch, atau sesekali pencerita dan pengawas main anak-anak yang sedang full energi, tentu tidak perlu disesali.
Melelahkan tapi sekaligus menggembirakan.
Setiap aktivitas liburan yang dilakukan tentu mempunyai makna tersendiri, terutama buat anak-anak yang gelas menyerap pengalaman seperti bocor saja alias tidak pernah penuh. Apapun aktivitas, naik motor boat, naik banana boat, memancing, memasak di alam terbuka, makan di alam terbuka, berenang di pantai lalu berenang di kolam, membuat goa-goaan di pasir, aku yakin akan memberikan bekal buat hidupnya next
time atau suatu saat kelak yg belum tentu dapat didefinisikan. Minimal, pikirku, setelah liburan bila anak-anak diminta gurunya buat nulis atau bercerita pengalaman selama liburan atau unforgetable experience, sudah ada bahan buat mereka.
Liburan, di dalam perspektif anak-anak tentu sangat berbeda dengan kita sebagai orang yang lebih dahulu lahir. Dia tergambar dari pernyataan yang ada menyelimuti seputar alam pikiran mereka dan keceriaan serta tanda tanya yang terpancar dari mata mereka.




Obrolan,
Kukhri : Pa, pesawatnya kok lembet (lambat), nggak kayak di Jogja, pesawatnya cepet.
Pa'e : Ini juga cepet kak, nanti lihat kalo ada awan baru kerasa kalo cepet (bener ga ya?)

Pa'e : Kak boga, tadi naik skate board-nya (speedboat penarik banana boat) enak ya Kak? Wah, hebat ya, naik skate board, pake pelampung kayak baywatch. Enak Kak?
Kukhri : Enggak.

Pa'e : Wah, kak boga hebat ya berani ketengah laut sama omnya, pake pelampung. Berani ya kak?
Kukhri : Takut ah.

Beryl : Kemarin Dik Ai (Beryl) main... main... (pikiran lebih cepat dari mulut)
Kukhri : Mau ngomong main ke pantai kan? Ah, itu terus. (Sergah Kukhri yang selalu menganggap beryl sbg orang dewasa, beryl memang sering bicara main di pente (pantai).

Niven : Pa, nanti mancingnya kalo di sini dapet ikan apa Pa?
Pa'e : di sini ada ikan kakap, ada ikan kerapu
Niven : nanti dapat ikan emberjen sama gigi anjing (waduh, ikan apa lagi ini?)


niven : 7,5 th
kukhri : 5 th
beryl : 2,5 th


Medan, 5 Feb 09, 21:44, ditengah-tengah workshop yg menjemukan
(setelah proxy server andalan diblok, akhirnya kembali ke proxy server yg banyak ngeblok situs ini itu)






Read More......

Thursday, January 1, 2009

Play The Game

Dahulu saya juga seorang anak...
Kalimat di atas dikutip dari kalimat pertama buku scouting for boys tulisan Lord Badden Powell, Bapak Pandu Dunia, yang kita baca terjemahannya di perpustakaan sekretariat Astacala beberapa tahun yang lewat.
Penulis pada bagian awal tulisan menceritakan bagaimana awal mula interaksi & ketertarikannya dengan hal-hal wilderness pada saat masih kanak-kanak dan kemudian kecintaannya kepada kegiatan-kegiatan menjelajahi daerah baru, petualangan dan kegiatan dengan media alam terbuka tersebut berkelanjutan telah menjadi "hidupnya" dan melahirkannya sebagai seorang yg kita kenal, dan selanjutnya dia berharap, di belahan dunia manapun akan tumbuh generasi-generasi baru yang menirukan jejaknya atau pun "mengubah" hidupnya. Seperti seakan-akan dia telah mengatakan,"Pilihlah jalan ini."
Sepakat dengan penulis di atas, mengajak anak-anak mengalami sendiri petualangan dalam kadar yang terukur baik diharapkan akan memberikan bekal mental yang berharga. Petualangan sebagaimana diketahui dapat memunculkan dua output ekstrim yang bertolak belakang, ketagihan dan memunculkan minat berkelanjutan atau trauma dan memunculkan penolakan mencoba kembali atau melanjutkan. Munculnya minat melanjutkan juga berarti keinginan untuk menularkan, menceritakan pengalaman yang pernah dialami dan mengajak orang lain untuk mengalami hal yang sama. Sepertinya hal ini berbeda dengan seorang senior di sebuah perguruan tinggi yang ingin "menularkan" atau membalaskan pengalaman tidak enak yang dialaminya kepada yuniornya dalam OPSPEK. Pengalaman anak-anak juga akan bermuara kepada dua kemungkinan tersebut di atas. Untuk kanak-kanak ada tiga hal penting dimana pengalaman atau sebut saja ujiannya dapat diciptakan/dikondisikan yaitu keberanian, hal baru dan orientasi lingkungan.
Liburan anak minggu ini kami rencanakan akan menjadi "games" buat anak-anak untuk melewati hari-hari dengan pengalaman seperti yang dipaparkan di atas, termasuk buat saya yang juga sedang menguji diri saya soal perencanaan, harapan dan pencapaian.
Tujuan, waktu & format liburan sudah ditentukan, maunya waktu liburan dan cuti bersama natal kemarin, apa daya hotel sdh fullbooked sehingga jadwal segera digeser seminggu setelahnya. Karena liburan ini tidak beli paket wisata, maka kami bagi-bagi tugas, istri kebagian pertiketan pesawat & pakaian, saya kebagian booking hotel, pesen mobil, perlengkapan & belanja logistik. Buat niven sebagai anak tertua juga sudah jelas, membawa joran pancing baru-nya sendiri yang dibalut kantong tripod kamera. Tujuan utama adalah pantai Parai, Pulau Bangka dan Pangkal Pinang sebagai tujuan antara sebelum ke tujuan utama & sebelum pulang. Jarak Parai PangkalPinang sekitar 45 km dengan jalur darat aspal mulus.
Disamping akan menikmati bentang alam pantai yang biru dan mengamati kaum nelayan yang melintas dengan kapal kayu dan perahu, anak-anak akan dapat mencoba permainan2 yang disediakan hotel. Permainan itu katanya seperti banana boat dan parasut yang ditarik boat,-sebut saja paraboat-, yang saya pun juga belum pernah mencobanya.
Selain permainan2 itu, saya ingin mengajak anak-anak menikmati games aplikatif berupa petualangan2 kecil lain. Untuk itu peralatan2 outdoor activity seperti tenda, alat-alat masak, alat-alat mancing dengan logistiknya juga disiapkan. Seingat saya, dari hotel arah ke pantai terus melipir ke kiri kira-kira 300m ada sebentuk hutan kecil, dengan vegetasi khas pantai seperti kelapa & ketapang. Sepertimya tempat itu cukup bagus buat mendirikan tenda dan menikmati segala aktivitas seputarnya seperti memasak, makan di alam terbuka, memancing, membuat perapian dan tentu menikmati secangkir kopi,- olahan dari biji2 kopi terbaik tanah air Indonesia-, sambil mengagumi hamparan laut biru, laut yang menghubungkan nusantara dan bangsa-bangsa di dunia disertai belaian angin laut cina selatan yang menggerakkan lidah gelombang pantai silih berganti.
Bila setting ini sukses, dan kemudian kami berkesempatan menginap di tenda semalam, maka, anak-anak telah berhasil mengatasi rasa takutnya terhadap bayangan monster yang muncul dari laut sepeti godzilla atau naga raksasa, pagi hari bila cuaca cukup bagus, maka dihadapan saya akan terlihat sebuah obyek fotografi yang indah : tenda, anak2 yang terbangun lebih pagi, asap dan unggun api, yang perlahan tertimpa sinar matahari terbit dan bibir pantai yang selalu dinamis.
Dua malam kami akan menginap di pantai Parai ini, hari minggu siang tanggal 4 Jan 09 kami harus bergerak ke Pangkal Pinang, menginap di sana, merencanakan menikmati seafood sebelum pagi harinya kami akan bergerak ke Palembang kembali, menemui dunia nyata.
Kami berharap yang akan terjadi jauh lebih indah & membahagiakan dari yang kami rencanakan, dan bagi anak-anak akan tersimpan memori dan pengalaman yang berharga, menegangkan sekaligus menyenangkan, sehingga suatu saat kelak merela juga memilih dengan yakin jalan hidup, sambil menyepakati ucapan Hercules kepada sahabatnya ,"Mengembaralah, dan ceritakanlah ke anakmu, sehingga sebagian dari dirimu akan terus hidup."





Read More......

Friday, December 19, 2008

Kinthil

Beberapa bulan yang lalu saat kami menjelajahi sebagian dari pulau Bangka, kami dipinjamin mobil oleh rekan sejawat. Kami berlima, dengan rincian dua orang jawa Semarang, dua orang Jawa Pekalongan-Tegal dan sekitarnya, satu orang Minang Bukit Tinggi.
Di mobil cuma ada satu buah kaset buat hiburan, yang setelah disetel ternyata campur sarinya didi kempot. Bagi kami sebagian besar, lagu-lagunya didi kempot ini semacam pengobat kerinduan kami yang di tanah seberang kepada kampung halaman. Bagi kawan yang dari minang, meskipun nggak ngerti benar arti liriknya, terpaksa ikut ndengerin karena tidak ada pilihan lain. Perjelanan beberapa hari itu membuat kami makin hapal beberapa kosakata spontan seperti "Serr", "blung" dlsb.
Nah, oleh seorang kawan yang sering saya panggil Pak Chairil Anwar, -karena wajah dan aksesnnya yang mirip penyair tersebut dan selalu tampil murung-, tanpa setahuku rupanya kaset itu diminta dari si empunya mobil. Cerita soal kaset berhenti sampai di situ, sampai
Senin siang kemarin hari yang kemrungsung ketika karena sesuatu hal jam 10an siang saya dan kawan-kawan bertiga termasuk penyair, terpaksa bergerak ke kayu agung OKI. Lelah, capek, ngantuk krn baru jam 3 pagi nyampe dari kuala tungkal jambi terpaksa "dilawan" dengan nrimak-nrimakke tugas sebagai orang gajian, untuk memperhalus istilah "buruh" yg masih disuruh-suruh. Di mobil waktu kumanfaatkan buat antara tidur dan tiduran. Suara musik MP3 yg lirih menyanyikan balada-baladanya Mas Ebiet. Ada kalanya aku ingin pulang, tapi apakah bedanya pertemuan dan perpisahan, sama-sama nikmat, tinggal bagaimana kita menghayati, dibelahan jiwa yang mana, kita sembunyikan, rasa yang terluka, duka yang tersayat.
Tiba-tiba kawan penyair tadi yang selama perjalanan sering memaknai lagu-lagunya Ebiet, dengan subyektifitas yg kental tentunya, mengeluarkan kaset dari ransel laptopnya, satu kaset pertama tidak begitu menarik atau tidak inline dengan suasana kemrungsung siang itu, sehingga forum menuntut lagu diganti.
Kaset berikutnya memecah suasana, melagukan campur sarinya didi kempot yang jenaka.
Mendengar lagu-lagu itu, otot pipi lalu bersedia menarik ujung samping bibir buat tersungging ke atas, membuatku senyum-senyum, sejenak menyingkap korden-korden stressor.
Kemudian lalu coba kuarti-artikan dengan arti yang kira-kira dialog didi kempot (DK) yang tidak kempot itu dengan vokalis ceweknya (C):

DK :
Terkinthil-kinthil, Cintaku terkinthil-kinthil
Tresnaku karo kowe ra bakal tak cuwil-cuwil


Kenal kosakata kinthil buat menggambarkan anak/org A yang suka ikut kemanapun orang tua/org B pergi, "Bocah kok neng ngendi-ngendi nginthil wae/ngikut aja." Kalau cinta yg terkinthil-kinthil mungkin perasaan cinta yang kemana ngikut aja, mungkin. Cintaku kepadamu tidak akan kusobek kecil-kecil,krikiti. cuwil dgn tangan, krikiti dengan gigi.

C :
Yayayaya, Opo tenan mas mana buktinya
Aku aku tak mau, Jo ojo kowe mung ngerayu


Ya, apa bener begitu Mas? mana buktinya?
Aku nggak mau ah, jangan-jangan kamu cuma merayu saja.

DK :
Suwer dik, Tresnaku ora tak ecer, Tenan mung kowe sing cemanthel
Suwer dik, Tresnaku ora tak ecer, Nek ra pethuk rasane koyo wong teler


Suwer dik, mungkin I swear, sumpah dik, cintaku tidak aku ecer, retail. Ecer/eceran sebagai lawan kata paket, grosir, atau partai besar. Jadi cinta yg tidak diecer mungkin cinta yang glondongan ke satu arah, tanpa bercabang-cabang, mungkin. Tapi kalimat tidak diecer tidak terjelaskan oleh kalimat berikutnya, yang artinya : hanya kamu yang tergantung/cemanthel. Mungkin maksudnya menggantung di pikiran.

C :
Tresno mas kuwi ono neng dodo, Ora cukup mung disawang karo moto
Ojo koyo neng lagi mangan tebu mas, Entek legine trus kowe ninggal aku


Cinta itu adanya di dada, di hati mungkin kamsudnya. Tidak cukup hanya dilihat dengan mata saja. Maksudnya mungkin cinta itu harus lahir dan bathin, dibolak-balik boleh.
Jangan seperti makan tebu, yang dicucrup-cucrup dengan nggragas, dikunyah-kunyah, lalu setelah habis manisnya, entah apa yg dimaksud manis ini, kemudian kamu meninggalkan aku. Kalau di pepatah buku bahasa indonesia SD dulu, habis manis sepah dibuang. Mungkin begitu.


Belum habis lagu itu, waktu sudah menunjukkan tengah siang, perut sudah keroncongan. Kami mampir di sebuah tempat makan yang dibawahnya ada kolam ikan, lebih tepatnya rawa yang dibersihkan sehingga air menjadi dominan. Angin siang dari rawa-rawa sekitarnya meniupkan hawa segar. Siang itu pindang ikan baung, gorengan ikan seluang, sambel buah kueni, pete dan lalapan yang lain tersedia di meja. Segelas kopi kupilih buat menimpali pedasnya pindang. Makanan yang dihidangkan memang menyegarkan dan enak, entah apakah karena kami sudah kelaparan atau memang enak. Mungkin memang enak, bila melihat pengunjung yang makan siang itu memenuhi meja & kursi tersedia. Selain kami, mereka adalah aparat Pemda/Pemkab yang bicara keras-keras kepada teman-temannya, pakaian mereka siang itu warna hijau hansip. Mobil-mobil plat merah berjajar-jajar. Kata konon, mereka adalah abdi negara & abdi masyarakat.
Makan siang yang nikmat telah selesai, segera kami beranjak dari tempat itu menemui panggilan tugas. Kuda jepang meluncur kembali ke jalanan raya dan di telinga kembali terdengar lanjutan lagu yang sempat terpenggal

Terkinthil-kinthil, Cintaku terkinthil-kinthil
Tresnaku karo kowe ra bakal tak cuwil-cuwil

Ada tawa jenaka, tapi juga ada rindu di dalam dada, rindu kampung halaman dan masyarakatnya, juga kenangan masa lalu.





Read More......

Friday, December 5, 2008

tadi pagi

dalam waktu yang begitu terasa nyerpek
karena kemalasan yang sudah biasa untuk mengawali hari-hariku
ketika jam dinding komando yang seingatku biasa mati diam
pagi ini berdetak sinkron dengan jam dinding hadiah perkawinan kita
meski ada selisih dua menit, toh sama saja karena yg satunya dicepetin lima menit
kita sempat ngobrol panjang, soal sebuah cita-cita
pagi ini aku bahagia sekali, mendengar itu semua darimu
sesekali kusampaikan pendapat2ku, yang pasti belum tentu benar
soal bagusnya seperti apa sekolah itu, bukan soal bangunannya
soal anak-anak petani dan nelayan, soal sikap sekolah, sikap gubernur dan walikota
yang tentu masih sibuk dalam hari-hari awal masa baktinya
tenang, waktu masih panjang, dan seorang kawan tidak akan lupa kawannya
masih banyak yang dapat dikerjakan, dengan kamera poket dan pena
juga fotomedia edisi anak indonesia 95, yang kita jaga biar tidak lusuh itu
sayangku, aku tahu waktumu tidak banyak dalam sehari buat itu
karena sebentar-sebentar banyak yang meminta perhatian, atau menarik-narik rambutmu, atau marah-marah karena minta dibuatin susu
tapi pagi ini aku bahagia, ada waktumu buat hal itu
bukan sesuatu yang instan, tapi cuma perlu kesabaran, dan tentu nasib baik yang selalu kita minta
waktu masih panjang, dengan izin Tuhan, banyak yang dapat kita kerjakan
sayang, misi yang seperti ini memerlukan endurance dan konsistensi
dan itu semua digerakkan juga oleh alam bawah sadar
bukankan salah satu kekuatan kita sudah diuji lebih dari 8 tahun?
waktu sudah makin mendesak saja, meski aku sudah memutuskan membolos SKJ, untuk perbincangan dan percumbuan mesra kita
tapi karena si kakak juga, hari ini tumben minta buru-buru berangkat
teh manis hangat dan dua kerat pisang goreng kunikmati tanda kasih sayangmu
aku akan sedikit ngebut mengkompensasi keasyikan kita, aku sayang kamu, waktu masih panjang, dengan izin Tuhan, banyak yang dapat kita kerjakan




Read More......