Sunday, November 11, 2007

dewa dan prajurit


(judul ini mengutip judul di selingan majalah tempo tahun 90an, tapi isinya ndak ngutip)
sewaktu aku masih kecil, sebuah kenangan yang manis ketika saat kartini-an pa'e membelikanku baju tentara. Warna hijau lengkap dengan pangkat-pangkatnya. Maklum tahun-tahun sebelumnya keinginan seperti itu cuma jadi keinginan lantaran bapak belum bersedia (sempat/mampu?) membelikanku. Tak kuingat lagi rengekan jenis apa yang akhirnya membuat bapak luluh juga membelikan baju itu. Saking senangnya baru sebentar baju & aksesorisnya sudah rusak, dan temtu tidak dapat kupakai lagi buat kartinian berikutnya. Tapi waktu kecil itu ingin sekali rasanya benar-benar jadi tentara.Lalu beranjak lulus SMA, entah mengapa justru bapak kurang setuju aku masuk atau ndaftar sekolah atau pendidikan kemiliteran. Kala itu aku inget pengin sekali jadi penerbang transport atau military airlift, nyupiri hercules. .

Pernah aku lontarkan keinginan masuk ikatan dinas pendek (IDP) TNI AU, lagi-lagi bapak tidak sepakat, tapi bapak sepakat kalau ndaftar akademi kepolisian. Sebagai seorang anak, aku belum cukup peka keinginan bapak yang sepertinya sangat bijaksana dan berlandaskan "prospek ekonomi" yang wajar. Mimpi menjadi penerbang tempur ataupun transport tidak pernah diuji, tapi pada tahun itu juga kubuktikan bahwa aku telah berhasil menembus saringan menjadi penerbang sipil, meski kesempatan itu kulewatkan dengan memilih jadi engsinyur atau sarjana. Tapi itulah jalan hidupDi saat kuliah kira-kira jalan 2/3, saya berkesempatan dapat "mainan" baru meskipun tidak baru-baru amat, soal-menyoal penjelajahan hutan, gunung, tebing atau penjelajahan lain yang di tanah air ini mau tak mau kita akui dipelopori baju hijau karena berdasar persinggunganku dengan pramuka waktu aku SD, pramuka belum mengarah ke sana. Lalu disanding dengan fantasi-fantasi wild west tentang penjelajahan benua Amerika yang perawan lewat buku-buku Karl May, yang mulai kubaca semenjak SD, maka lengkap sudah. Indian, dayak, komando, baju hijau. Ya, itu cuma sekelumit nostalgia ingatanku ke baju hijau.
Prajurit, pada suatu saat lewat film-film baik settingan hollywood maupun buatan bumi eropa suatu saat dipuja setinggi langit sebagai dewa yang lalu mengalir ke mimpi anak-anak untuk bercita-cita, atau minimal mimpiku kala itu.
Lalu pigura zaman berganti mulai 98, sepertinya mirip juga dengan film yang temtu tergantung settingan setudio hollywood atau setudio yang lain, musim telah berganti dan lalu jamak kita baca pemberitaan di koran-koran atau di media lain, soal pelanggaran HAM tentara di timor, atjeh, papua lalu maluku, lalu yang mutakhir kuingat alas tlogo pasuruan saat marinir diberitakan memburu dan menembaki penduduk secara mendatar (bukan rekoset) karena rebutan lahan.Yang jelas telah jatuh korban dari warga sipil (meski >50 sekian persen aku tidak percaya berita "perburuan" ini). Dari kasus itu kalau kembali ke analogi film sudah tidak ada pilihan peran lagi buat sedadu selain jadi bandit.
Prajurit yang tadinya adalah pahlawan yang gagah berani atau dewa dari golongan putih, opini terhadapnya seratus delapan puluh derajat berubah menjadi jin setan peri perayangan golongan hitam. Lalu media memang harus sok tahu dan selalu memihak kepada deadline yang memikat. Obyektifitas, azas perimbangan sumber berita nanti saja.
Tapi ternyata bandit, lakon, pak haji, tukang sihir jahat, cah lugu, cah goblok, bawang merah, bawang putih cuma ada di sinetron-sinetron khas Indonesia. Yang jahat, jahat terus, yang pak haji suci terus, bawang merah harus judes, bawang putih harus baik tapi bloon, hitam dan putih. Dua orang mba'e yang membantu di rumah gemar sekali nonton jenis yang ini.
Opiniku, tentara orang biasa juga, yang selalu punya segi-segi yang rumit tidak cukup segi tiga, empat atau delapan sekalipun.
Satu saat kudengar derap langkah bersama sepatu larsnya menyibak pagi dengan lantunan lagu-lagu mars yang selalu terdengar sumbang.
Satu pagi yang lain kubaca di koran mereka nongkrong di pantai Ambalat untuk pertahankan pulau itu dengan modal TB1, TB2, konserven atau ransum lain yang kueras dan rasanya sama semua itu, jauh dari keluarga mereka, di bawah naungan bivak ponco. Konsekuansi pilihan profesi memang, tapi tokh sepertinya jauh lebih mulia daripada "pak kiyai" yang menipu kawanku seorang mu'alaf kabarnya sampai 500 jt rupiah, atau daripada petugas pajak yang kong kalikong sama wajib pajak, tahu sendirilah, kos-kosan atau rumah yang diatasnamakan ibunya atau bapaknya di Jogja sebenarnya dapat untuk membangun 3-4 bangunan sekolah di desa-desa.
Satu saat yang lain entah sengaja atau tidak, entah rekoset atau tidak, peluru muntah di alas tlogo memakan korban. Termasuk seorang Chairul bocah balita yang sepertinya juga selalu mengelu-elukan tentara yang kelihatan gagah melintas di kampungnya.
Satu saat yang lain merekalah yang mewakili Indonesia mendahului negara ASEAN lain menginjakkan kaki di Puncak Everest atap dunia.
Kemudian 98, terjadi penculikan-penculikan aktivis, pelenyapan sebagian dari mereka, penembakan-penembakan terhadap demonstran, pemerkosaan masal, tentara dianggap paling bertanggung jawab. Kalo lantas ada kabar CIA di sana melakukan penggalangan-penggalangan, susah dibuktikan, karena mereka temtu tidak berseragam, apalagi pake kaos CIA.
Suatu pagi yang hiruk pikuk di bantul 1-2 jam setelah gempa besar 2006, terlihat baju hijau lalu lalang mengevakuasi warga, membuat dapur umum, membuat rumah sakit darurat, hari-hari selanjutnya verifikasi data tingkat kerusakan atau membuat tenda-tenda darurat sekolah supaya Cahyo, Tini atau Rizal bisa ujian. Atau pun mendistribusikan bantuan sembako dan lain-lain yang tahu-tahu sudah menumpuk di kesatrian mereka.
Tanpa hendak mempermasalahkan obyektif atau tidaknya berita yang ditulis di koran-koran atau diperdengarkan di TV dan radio, rakyat negriku menyaksikan peranan yang rumit yang dimainkan prajuritku.
(Ditulis mulai malam HUT TNI ke 62 tgl 5 Oktober, dianggap selesai 11 November 2007)

Read More......

Thursday, October 4, 2007

Yang tercecer dari lawatan ke sebagian kepulauan Riau





Kalau toh sempat nongkrong sejenak di Singapore pada hari itu, tanpa bermaksud mengecilkan artinya, istimewa bahwa hari berikutnya tercatat oleh sejarahku sendiri bahwa aku melakukan perjalanan ke beberapa bagian dari kepulauan riau, sebuah tekateki yang akhirnya terjawab setelah melewati lorong waktu yang cukup panjang.
Oh tanah air Indonesia, aku merasa selalu jatuh cinta dengan pulau-pulaumu, temtu juga pada kepulauan riau ini sejak pandangan pertama saat titik-titik kecil mulai terintip di jendela pesawat yang kutumpangi. Siang itu saat di Batam tertangkap berita, bahwa pesawat nomad TNI AL yang jatuh 20 tahun lalu ditemukan
tanpa disengaja oleh nelayan di sekitar pulau Mapur. Diantar oleh kawan Agung dari Batam sampai pelabuhan Punggur, yang kira2 setengah jam perjalanan, lalu kontak-kontak by phone ke kawan yang di AL Tanjung Pinang. Lalu perjalanan diteruskan ke Tanjungpinang jalur laut, sepanjang kira-kira satu jam perjalanan terhamparlah lautan yang di berbagai sisinya muncul ke permukaan, pulau-pulaumu.
Kalo ingat perjalanan hidup, saat dulu berkereta api ekonomi semasa libur kuliah via Jogjakarta, selalu terngiang dalam pikiranku "soal waktu-waktu terbaik sebagai seorang pemuda (mengutip kalimat Lord Badden Powell)" untuk menyempatkan diri menjelajahi gunung dan pegunungan yang nampak di kanan kiri lintasan kereta api, lalu mengenal masyarakatnya. Pagi hari, akan nampak pemandangan yang misty, saat kabut masih menggantung di pepohonan tepi hutan atau sawah, sesaat sebelum diusik oleh matahari yang kuat. Semisal itulah aku memandangi pulau-pulaumu, semoga Tuhan memberikan waktu buat kami mendatangi pulau-pulaumu dan mengenal masyarakatnya.
Kabin kapal yang kami tumpangi ber AC, jauh lebih nyaman dari saat kami menyeberangi selat lombok atau selat bali beberapa tahun yang silam. Pelan-pelan kapal kami mendekati pelabuhan Batu Ampar Tanjung Pinang, untuk lalu bergegas setengah jam perjalanan darat ke Posko Evakuasi TNI AL di Kawal lalu ke Pos tempat pasukan dan penyelam menginap, sekitar satu setengah kilometer dari bibir pantai ke tengah laut mendekati pulau Mapur. Sore hari kupandangi lautan yang biru, yang selalu kupercaya menghubungkan bangsa-bangsa itu. Malam itu bersama kawan-kawan dari AL kami menikmati special menu gule ikan dan gonggong, konon ini endemik di kepulauan riau saja (belakangan kuketahui bahwa di Pulau Belitung prov Babel juga banyak terdapat gonggong ini).
Ya, sedemikian kuat sihirnya, sehingga saat kutinggalkan Batu Ampar dan pulau Penyengat di kanan kapal kami seperti ada sedih di dada, tapi laki-laki harus dapat menyembunyikan perasaannya (demikian kata2 Chinggachgook ketua suku Mohawk). Sesaat sebelum kami meninggalkan Batam untuk transit ke Jakarta, masih sempat kulihat peta, masih ada tanjung balai, singkep, natuna, pulau tujuh dll.

Read More......

Monday, June 25, 2007

Melawat ke Singapura


Beberapa waktu lalu yang baru lalu saya berkesempatan melawat ke Singapura, negeri kecil atau negara pulau yang mungkin bagi sebagian kita tidaklah asing -nasi sayur lah-. Tapi bagi saya hal ini sama sekali baru. Kalo ngebayangin Singapore, selalu teringat iklan di TV "siang ini saya di singapore, sore kembali ke Jakarta," atau adegan2 di sinetron yang sangat digemari remaja putri dan ibu Indonesia itu, "Farel, kamu beli kaos oblong di Kuala lumpur ya? Kalo aku beli di Singapore." Kira-kira demikian reka-reka soal Singapore.
Pukul 8 Pagi, dalam cuaca yang teduh karena matahari belum muncul juga, saya berangkat bersama kawan yang dari Purwokerto dan Pekalongan yang sama-sama nol puthul soal negri yang ngeyelan tapi menangan itu, dengan ferry dari pelabuhan Batu Ampar, Batam.
Sepanjang jalan nampak banyak kapal dari berbagai ukuran dan warna, mengingatkan masa kecil waktu suka ngikut ayah saya yang kebetulan kerja di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, -pelabuhan internasional yang diresmikan Soeharto pada tahun 80-an-, dimana kadang kami memancing, atau sekedar merenungkan bahwa lautan yang dihadapan kami selalu menghubungkan bangsa-bangsa dengan dunia luarnya.
Dari handphone kudengarkan lagu Pak Ebiet, Bang Iwan Fals, dan Abah Iwan yang memang kujadikan satu folder lagu indo dan dimainkan oleh program secara acak. Perjalanan yang kira-kira cuma satu jam dalam ruangan ber AC, dalam situasi yang lebih "nyaman" dan modern.
Tapi bukan berarti lantas akan menggusur ingatanku pada tahun-tahun lalu saat kami duduk2 berjejer di deck kapal ferry dalam 4 jam penyeberangan Selat Lombok dari pelabuhan Lembar, Bali ke Padang Bai, Lombok, dengan belaian langsung angin lautan dan sesekali karbonmonoksida keluaran cerobong kapal dan cuma bincang-bincang lah hiburan kami.
Lalu sekitar 2/3 dari perjalanan sebelum Harbour Front Bay, sebuah rangkaian kapal menarik perhatianku, semacam tongkang yang berbentuk segi empat yang cukup besar, dengan muatan yang tak dapat kurekam dengan kamera besar gara-gara batre drop, tapi cuma dari kamera HP 1.2 Megapixel saja. Ditarik oleh kapal yang jauh lebih kecil, setidaknya perbandingan ukuran benda yang ditarik dan yang menarik.
Ya eksport pasir, tanah atau batu2an ke negeri yang haus daratan itu jalan teruusss. Kalau mereka seorang atlet yang sedang mempersiapkan diri buat olimpiade, kita cukup setia menjadi pemasok minumannya, karena air minum di kami murah, setidaknya sampai saat ini. Karena pulau-pulau kami buanyak, jangan kawatir, 17000 pulau, hilang 1 masih 16999, malah bagus, bukankah banderol harga di Mall angka belakangnya selalu 99.
Saat mataku mengamati dan otakku mengotak-atik kejadian ini, ditelingaku mengalun sebuah lagu mars, yang terdengar keras dan kelupaan kukeluarkan dari playlist :
...panji buana- bagi nusa dan bangsa- pengawal tujuan kita- membela keadilan- siap siaga waspada- majulah maju.... majulah maju serentak, bhayangkari negara....
Sentimenku soal nasionalisme bercampur aduk kacau balau diterpa kenyataan, bahwa komitmen-aturan-idealisme kadang hanya dapat digambarkan hitam putihnya di atas meja lalu dialirkan ke jalan-jalan lewat demonstrasi atau dilempar ke publik lewat media. Sementara kenyataan hidup, baik bisnis, lalu lintas orang dan barang, trend, konsumerisme, jauh lebih lebih kompleks melampaui kanal-kanal hitam putih yang dibuat itu, dan bahkan tidak mempermasalahkan apalagi peduli soal itu.
Lima belas menit kemudian kapal kami merapat di pelabuhan Harbour Front, ada kereta gantung dan kemudian pemeriksaan paspor. Lalu biar nggak terlalu "rugi" sudah bayar fiskal kami mengeksplorasi lagi beberapa perhentian. Tak ada preman, tak ada warung kopi atau angkringan, tak ada sawah di kiri kanan jalur kereta.

Read More......

Monday, June 11, 2007

Inspirasi

Kerendahan Hati
Kalau Engkau tak sanggup menjadi beringin yang tegak diatas bukit, jadilah saja belukar, tetapi belukar yang terbaik yang tumbuh di tepi danau....
Kalau Engkau tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul di pinggiran jalan....
Kalau Engkau tak sanggup menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air....
Tidak semua orang menjadi Kapten, tentu ada awak kapalnya....
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilaidirimu....
Jadilah saja DIRIMU, sebaik-baik DIRIMU SENDIRI. (Wanadri-0041-Siwa)
Mandalawangi Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua
"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar 'terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966 (Soe Hok Gie)

Do'a Seorang Ayah
Tuhanku, bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui, manakala ia lemah.
Dan cukup berani menghadapi dirinya sendiri, manakala dia takut.
Manusia yang bangga dan teguh dalam kekalahan, jujur dan rendah hati kemenangan.
Bentuklah puteraku menjadi manusia yang hasrat-hasratnya tidak menggantikan yang mati, putera yang selalu mengetahui Engkau, dan insyaf bahwa mengenal dirinya sendiri adalah dasar dari ilmu pengetahuan.
Tuhanku, aku mohon agar jangan kau bimbing dijalan yang mudah dan gampang, tetapi bimbinglah di bawah desakan kesulitan tantangan hidup.
Didiklah puteraku supaya tegak di tengah badai serta berbelas kasih terhadap mereka yang jatuh. Bentuklah puteraku supaya menjadi manusia yang berhati jernih, dengan cita-cita meninggi langit. Seorang yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Putera yang menjangkau masa depan namun tidak pernah melupakan masa lampau. Dan setelah itu menjadi miliknya, aku mohon agar puteraku juga diberi rasa humor, agar dia dapat bersungguh-sungguh tanpa menjadi terlampau serius. Berilah dia juga kerendahan hati agar dia dapat selalu ingat pada kesederhanaan sebagai sumber keagungan hakiki, kearifan dan kelembutan sebagai sumber kekuatan asli. Dengan demikian maka, aku ayahnya, akan memberanikan diri dan berbisik :"Hidupku tidak sia-sia". (Douglas Mac Arthur)

Read More......

Tuesday, May 22, 2007

Kembang tebu


Setelah pergerakan di Pangandaran tahun lalu saya ketemu seorang kawan dari UI, kebetulan beliaunya dari fakultas Sastra, yang entahlah beliau ini sudah orang Sastra yang ke berapa yang saya coba tanyain tentang sajak2 lagu Leo Kristi/ Leo Imam Sukarno. Sejak sekitar 10 tahun lalu dengerin Gulagalugu Suara Nelayan dari kasetnya Mas Gapung di Sekre Astacala, saya penasaran pengin ketemu lagi itu lagu-lagu dan belom kesampaian. Sama seperti ketika pernah dulu sekali lebih dari 12 tahun lalu ketika saya denger secara tidak lengkap sebuah lagu yang unik, sampai kira2 dua tahun lalu atau tepatnya sekitar 10 tahun sejak pertama saya denger itu lagu, barulah ngeh saya kalo itu lagu 1000 Mil Lebih Sedepa dari Abah Iwan, tapi dimana saya dapat beroleh kopi-nya? Misteri2 kecil atau penasaran kecil terbongkar dalam kurun waktu yang memakan satu dekade atau lebih. Kawan dari UI itu mengirim kopi lagu2nya Mas Leo. Lalu dalam kurun yang berdekatan tetapi lebih duluan, kami memperoleh kopi 1000 mil lebih sedepa itu dari toko kaset Bulletin di Semarang setelah kudapat informasi dari Oded yang dalam operasi kemanusiaan di Bantul hampir selalu jadi joki Gajah Merah,-Landy-nya Abah Iwan yang masyur di "padang praire"-. Pertemuan yang sangat nikmat.

Sore kemarin saya nganter mbak yang membantu pekerjaan2 di rumah buat pamitan ke orang tuannya, sama Niven, sama Kukhri. Maklum mbak itu anak bungsu, jadi memang sang ortu dengan berat hati juga mengizinkan anak bungsunya "menimba" pengalaman hidup ke pulau sebrang, ke Palembang meneruskan membantu keluarga kami, yang sebagai orang gajian (meminjam istilah Pak Kebluk) sedang menjalani perintah buat ke Sumbagsel, bagian selatan Andalas yang konon 2,5 kali pulau Jawa itu. Ya,kami tidak hendak membayangkan kerepotan2 kami bila tanpa bantuan mbak2 itu. Yang seorang lagi tidak dapat mengikuti pergerakan kami ke tanah sebrang, maklumlah sudah punya anak masih kecil. Repot dan temtu beban mental yang berat memang kalo harus bergerak "jauh".
Sore hampir asar saat kami kami bergerak menyusuri jalanan dari Yogyakarta sampai ke perkampungan di gigir utara pegunungan seribu itu. Stasiun Srowot, Wedi, belok kiri ke arah Bayat, teruuuus kira2 7km, ketemu pertigaan yang ada tugunya, belok kanan terus ke arah Gempol, Watugajah, Gedangsari, nanjak. Standard jalanan yang dibuat putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Ndedel, tanpa basa basi, alhasil tanjakan lumayan ngoyo. Aku bayangkan tanjakan dari Gedangsari ke arah desa si mbak akan berat dilalui mobil2 tua, tak terkecuali buat LandRover Seri IIA pendek yang dulu telah kujual, karena bingung ngatasin suara mesinnya yang berisik. Kalo mau disetel klep buat dihalusin, tenaga jadi loyo, kalo nggak dihalusin, suara mesin bensin-nya kayak mesin diesel. Mau turun mesin, boros. Temtu tanjakan putih ini (karena dari kejauhan cor-coran tanggul jurangnya kelihatan segaris putih) akan memaksa menggunakan gigi "ketjil" atau low, di transmisi kuda beban itu.
Tapi memang pemandangan daerah yang juga diluluhlantakkan oleh gempa 27 Mei tahun lalu itu selalu menarik perhatianku. Stasiun Srowot, Pasar Wedi, rumah tembakau, sawah yang membentang, pegunungan Seribu, perkebunan tembakau, lalu perkebunan tebu. Sepertinya mereka adalah beberapa rangkaian tradisi/proses yang masih beriringan sejak puluhan tahun lalu atau bahkan sejak ratusan tahun, setidaknya saat masa pergolakan sosial sekitar proklamasi kemerdekaan atau seputar tahun 65. Setidaknya kalo kita baca tulisan2 Soe Hok Gie atau cerita2 peristiwa tahun2 itu, logika selalu berusaha mengembara menghubungkan tulisan2 di kertas, dengan tanah-tanah yang pernah punya sejarah. Sejarah soal tragedi, atau pun soal ironi dari sebuah harapan.Sore kemarin kembang tebu bermekaran di hampir kanan kiri jalanan aspal pinggiran Klaten itu. Bagi sebagian orang kembang tebu bisa jadi pertanda sebuah harapan, bagi sebagian lagi bisa saja tak berarti apa-apa. Coba simak lirik lagu dari Mas Leo, tentang kembang tebu yang bermekaran, atau tentang padi yang telah menguning masak, tapi temtunya bukan milik para petani, tapi tak apa setidaknya petani penggarap masih bisa berharap mendapat upah, sebuah ritual yang terus dijalani, mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.
Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku, katakan padanya padi-padi telah kembang, ani ani seluas padang, roda lori berputar-putar.... tapi bukan kami punya ... Kalau ke kota esok pagi, katakan padanya tebu-tebu telah kembang, roda lori berputar siang malam,... tapi bukan kami punya.....

Read More......

Thursday, May 10, 2007

Jang koewat jang kalah

Biasanya seringkali hasrat buat nongkrong menikmati suasana remang-remang kedai pinggir jalan muncul di ujung kepenatan kerja yang kadang seharian itu. Beberapa pilihan spontan muncul sambil menyetater mobil buat persiapan going home. Angkringan is still the best taste, dimana pengalaman2 sensasional yang menggugah emosi akan muncul mengalir bersama arah pembicaraan yang kita lakukan atau dengarkan. Mangkubumi, Stasion Tugu, Sawitsari, belakang kantor, Gejayan atau Mas Tukino Jl Colombo. Meski kost di Samirono, tokh hampir tiap malem si Mas ngelaju Jogja Klaten, going homeBaru dua kali sejak gempa besar itu ada kesempatan nongkrong di warung Tukino. Sepertinya memang setelah gempa itu total hanya punya jam tayang 1 minggu. Selebihnya tinggalah disebelahnya halte kosong dan tukang kunci. Akhirnya hampir setahun juga sejak gempa tektonik 5.9 skala richter hampir berlalu . Ya, sejak gempa itu angkringan Mas Tukino dapat dikatakan ndak pernah buka lagi. Pernah suatu hari disaat tanggap darurat di suatu posko terdengar kabar bahwa lokasi kampung Mas Tukino memang rusak parah, salah satu putra-putrinya juga menjadi korban musibah tersebut, tak jelas juga nama kampungnya di Klaten itu meski beberapa bulan kemudian baru jelas Njiwan nama kampungnya. Tapi kehendak Sang Pencipta tidak mempertemukan kami di situasi tanggap darurat tersebut, meskipun beberapa kali kita sempat mengirim bantuan ke Klaten. Atau meskipun kawan2 dari Kopassus ada di tanggap bencana di Klaten di Posko Gantiwarno, tak sempat ada kesempatan minta bantuan buat lokasi kang Tukino itu. Ya, ada penyesalan bahwa "tangan saya hanya dua", sehingga kali pertama dan kedua saat kami ketemu setelah gempa itu, darinya kudengar rencananya buat kontrak kerja ke negri Jiran, meninggalkan tanah air dan keluarga, dan mungkin rumah sementara pasca gempa, yang kudengar baru diselesaikannya.
Ya pilihan tersebut telah diambilnya, ditengah satu dua pilihan lain yang tidak kalah beratnya bila tetap di tanah air Indonesia. Gerobak dan lokasi nongkrong tersebut telah dijual buat modal berangkat ke Malaysia.
Sore kemarin coba kuulangi sebuah ritual lama, menyusuri Jl Colombo, pelan2 kudekati koordinat halte itu, ada tenda orange terpasang, dengan posisi yang tidak seperti biasanya, dengan sajian yang tidak seperti kala itu.

Read More......

Tuesday, May 8, 2007

Mbak bule

At Tue, 1 May 2007 19:16:06 -0700 , I wrote :
Kalo ingat Finlandia saya jadi inget 5-7 tahun yang lalu, dikala dengan kereta ekonomi Badrasurya atau Kahuripan meureun perjalanan dari Kediri-Bandung. Di hadapan kami duduk seorang cewek yang anggap saja menarik perhatian, diantaranya karena dia adalah bule. Oh iya kalo ga salah waktu itu sama Om Lukmanndut njemput adiknya dari pondok Kediri mau ke Bandung. Kebetulan saya duduk agak berjauhan dgn bang Lukman, ya adep-adepan sama mbak bule tadi. Omong punya omong, doi dari Finlandia, yang masih negara basis Viking tersebut. Para penjelajah abad lampau. Nah anggap saja si mbak ini keturunan Viking tsb. Lama-lama kuketahui juga namanya Pia Sisko Korhonnen. Kuliah di Karawitan UNS. Ya dari situ saja sudah kliatan orientasinya. Kita rumit2 mikir elektronika, mikir medan elektromagnet, eh... mereka yang di belahan yang lain bisa mikir Nglarassss. Seni. Akhirnya kebagianlah bangsa ini terus menerus jadi tukang. Tokh kalo sempet berkutat di seni akhirnya jadi tukang tari, tukang seni dll. Tapi lepas dari itu si Mbak ini cakep kok, dan menarik diajak ngobrol soal tanah air dan orientasi hidupnya. Temtu dengan ditemani 2 gelas kopi, khas restorasi KA ekonomi. Lalu dia kasih alamat dia di Solo, di daerah Kentingan. Ya kemudian sempat sesekali muncul obsesi atau isengsi, andaikan saya punya istri bule, minimal Mbak ini yang ternyata orang tuanya adalah petani. Setelah pertemuan itu memang kami tidak pernah kontak lagi. Tidak ada lagi pembicaraan tentang negri danau-danau itu. Lantas mulai saat itu sepertinya bila satu saat terdengar lagu "Aubrei" dari alunan radio mono yang biasanya sanggup mengembara jauh, biasanya ostosmastis kuingat Finlandia dan mbak bule. (Rupanya saya salah itung, maklum merasa muda terus, itu kejadian 10-12 tahun lalu). Ajkk

Read More......

Ngopi (3)

At Thu, 08 Sep 2005 17:02:35 +0700, I wrote :
Kalo bicara sego kucing, angkringan, hik, cafe ceret telu, ato apa pun sebutan yang harum untuknya, temtu tidak mesti bicara kelas, tapi bicara selera yang bisa ada di kelas mana pun.Misalnya saja seorang yg bicara penindasan ato persoalan hidup, obrolan harus mengalir dari analisis2, dari pikiran jang sadar, merdeka, liar, bebas, freedom of the hill, akan mendapatkan katalis dengan secangkir kopi pahit, sekerat gorengan,di sana terasa pas "mengamati rakjat dari dekat". Jadi klop-lah dgn suasana 'rakjat' di warung hik tsb. Disela-sela kepulan asap tembako yg kadang2 campur klembak menyan, obrolan mengalir diwarnai debat2 kecil.Kayaknya akan nggak nyambung kalo ngobrolinnya di diskotik, ato pun kafe yang disediakan disana 'wedang londo' yang bikin ndoyong, tak sadar.Kalo pun ada 'kelas bawah' yang hanya mampu ke sana (hik), justru itu suatu hal/hiburan jang positif, semacam 'libur kecil kaum kusam' (Iwan Fals-red). Daripada nonton dangdut geyal-geyol jang djustru mengatrol libido yg sama gratisnya (megang bayar).By the way, masih soal kelas, ternyata ada juga orang dari kalangan direksi institusi besar, ato mantan mentri, yang tetap menikmati suasana semacam warung hik, betul, tidak melupakan waktu masih jadi 'gelandangan'. Mannnntapppppp....

Read More......

Ngopi (2)

At Wed, 15 Sep 2004 16:36:09 +0700, I wrote :
Tenang Rom, Beliaunya mungkin tidak menjadi anggota milis ini jadi aman2 saja.Ya, objek wisata yang sempat kutularkan kepada kawan2 Mara 1 waktu itu cuma Kopicos, mewakili Jogja never ending asia, katanya, tapi yang tepat menurutku kopicos never ending Jogja. Rasanya memang anak2 muda kita harus 'diracuni' dengan kesederhanaan, bukan lagi gemerlap AFI atau Indonesia Idol. Kesederhanaan dari pancaran liuk-liuknya api lampu teplok, kalaupun terdengar alunan musik cuma sayup2 dari radio 2 band melantunkan langgam bukan house music. Dari segelas kopi, yang bijinya di panen di pelosok2 tanah air. Yang kisah2 tentangnya ditulis di majalah2 Eropa dan Amerika oleh bule2 itu. Sementara kita sedang menonton sinetron, yang menghalalkan apa saja atas nama cinta. Ah, tapi musim tampaknya sudah berganti.

Read More......

Wang sinawang

At Thu, 30 Sep 2004 11:27:05 +0700, I wrote :
Hidup memang wang sinawang kok, yang kuliah kadang-kadang pengin cepet2 lulus, kerja, kawin, bikin anak, punya anak dll, yang menurut yang nyawang/lihat kayaknya ideal banget. Yang sedang dialami (sebagai mahasiswa) terasa ada yang kurang, lalu ada yang ngalamar kerja, nglamar manten dll. Tapi gimana setelah kuliah, kerja, kawin, ternyata semua punya konsekuensi. Kamsudnya, kadang2 waktu/kesempatan nggak akur sama uang.Saat kerja atau menikah dan punya duit banyak, maka waktu yang 'tidak ada', tidak ada waktu buat mengamati sekeliling, tidak ada waktu bersosialisasi, tidak ada waktu berkreasi diluar kantor, waktu cuma habis buat kantor dan keluarga.Otak semakin berputar, punya rumah, punya mobil bagus, istri additif, status sosial di perumahan, status sosial di pengajian(?), memenuhi rengekan istri, diatur istri dll. Tanpa terasa terpenjara dengan 'kenormalan', 'pakem', 'rutinitas' ,standard...Tapi ya itulah hidup, yang penting siapkan dulu mental dan prinsip, biar gak cuma/semakin nelongso mengenang keemasan masa lalu... Biar nggak terjadi teori psikologi massa, saat ada di kerumunan, seorang cendering kehilangan 'kepribadiannya', analogi saat di kehidupan keluarga, seorang kehilangan prinsip2 hidupnya (karena takut istri misalnya)... karena saat prosesnya terlalu menyayangi dan cinta sang calon...Ya, repot dan wang sinawang manusia itu, sementara orang-orang di penjara menunggu hari kebebasan, yang merdeka justru mencari penjara2nya sendiri..

Read More......

Thursday, May 3, 2007

Wacana

At Sun, 15 Jun 2003 20:11:10 +0700, I wrote :
Senang sekali saya membaca beritamu ini. Senang sekali dapat mengetahui bahwa seorang kawan berhasil menemui mimpinya (kalau benar itu mimpimu, nek ra kliru). Semoga Alloh memberikan keamanan, keselamatan, kelancaran, kebarokahan. Aku baru dateng, solat, langsung buka internet. Aku baru dateng dari kerja 'kerjaan sambilanku' sejak hari jum'at lalu. Di rumah seorang kepala dukuh di lereng g. merapi. Aku sekarang dalam pergerakan mencapai salah satu 'mimpiku'. Aku dkk sekarang mengelola pelatihan outward bound, proyek2 high risk telekomunikasi dan minyak, explorasi pendataan potensi daerah, cafe buat komunitas alam terbuka dan offroader. Mudah2an sebentar lagi bengkel pencucian mobil offroad/jip segera berdiri juga. Alhamdulillah clients pelatihan/wisata sudah didapat. Rasanya seneng sekali dapet duit dari 'kerja bener'. Dapet duit dari nilai tambah sebuah hobi. Disitu dapat merasakan dinamika merintis, menjalankan, membesarkan sbh perusahaan atau malah idealisme. Memulai bisnis ini dari kondisi tersulit dan mengatasinya. Sambil tetap dapat menikmati secangkir kopi, harumnya rumput basah, kesederhanaan pelosok2 desa, indahnya alam raya, derasnya arus sungai, atau pulau2 terpencil. Alhamdulillah juga barusan sudah ada permintaan pelatihan buat pengusaha2 muda. Mungkin bisa meracuni/menularkan prinsip2 hidup yg benar menurutku dan kuyakini. Biar mereka dapat menikmati kesederhanaan desa, keindahan alam raya dan penciptanya. Setelah itu aku berharap mereka dapat memegang teguh prinsip di kota, di tengah beredarnya narkoba, ngetrendnya pacaran dan hewes2, gemerlapnya mall, digemarinya sinetron, kuatnya individualime/keluargaisme. Bila cuma segelas kopi saja dapat membuat bersyukur, apalagi kenikmatan2 yang lebih yg telah diberikan yg maha kuasa. D o'akan saja aku sukses. Segitu dulu wae, kakehan nanti mules.
(he he, idealisme dan keyakinan yang meluap-luap kala itu ternyata tidak cukup untuk membuat sebuah bisnis yang survive, aku inget kata2ne seorang penulis tentang Sioux :"Betapapun kegagahan bangsa Sioux, kecerdikan Crazy Horse dan si Empedu mempesona, mereka harus menyerah pada kenyataan. Masuk ke kamp Reservasi. Banyak hal yang tidak dapat mereka hadapi hanya dengan kegagahan.")

Read More......

Andaikata

At Tue, 07 Jan 2003 18:20:18 +0700, I wrote :
Andaikata...Negara ini bukan Indonesia...Jang terbiasa dengan peladjaran'PMP' jang mengataken orang kita paling punya hati nurani, jang 'mengataken' negeri ini seperti surga...Jang mana justru nasionalisme tak lagi dipandang...tak penting lagi katanja...
Tapi hasilnja lumajan, kita gagal di Sea Games, gagal di Piala Tiger, gagal di Asean Games, gagal di Sipadan Ligitan, gagal menekan kenaikan harga2....Andaikata...Negeri ini bukan Indonesia...Dimana padjak jang ditarik dari rakjat dipakai sebesar2nja untuk kemakmuran rakjat...Padjak dari pengusaha bener2 sampai ke negara bukan masup ke kantong pribadi asalken ada main mata...Retribusi dari mbok2 pendjual sajur bener2 untuk peningkatan prasarana umum......Pegawai2 kantorannya bener dan nepati djandji...Anak2 muda & ibu2 kita tidak terdoktrin telenovela, F4, konsumerisme, jang tentu sadja mengodjok-odjoki papa2nja untuk tidak korupsi...maling duit rakjat...maling duit negara..
Tentunja pendidikan jadi murah, sandang pangan murah, rakjat pinter2, kesadaran hukum tinggi, kesadaran kebangsaan tinggi, gak mau djarah hutan, jang salah dihukum, jang bener hidup enak dll, dll, dll Hanja sadja ini Indonesia. Rakjatnja banjak jang terbiasa memikirkan diri sendiri dan keluarga tanpa memikirkan kepentingan orang banjak...Pengin menjenangkan keluarga dengan djalan apa sadja....Alasannja menjenangkan keluarga adalah ibadah mungkin...
Tapi bukankah di Al Qur'annja kalo tidak salah ada sebuah ajat jang mengataken bahwa keluarga itu cobaan?
Lalu bukankah bagi Inggris pernah ada Lord Badden Powell, bagi Skotlandia pernah ada William Wallace, bagi Amerika ada Pak Rosevelt, bagi Timor ada Pak Xanana Gusmao, bahkan bukankah kita dicontoni oleh Nabi atau orang2 jang kita agung2kan jang menjempatkan waktu memikirkan 'orang lain'? Pa'e Niven

Read More......

Wednesday, May 2, 2007

Ketika londo bule menjelajah

At Thu, 08 May 2003 16:07:05 +0700, I wrote :
Satu pagi yang agak remang2, jam setengah sembilanan seperti sering terjadi aku baru berangkat ngantor. Dengan motor pinjeman karena landrover lagi opname, kutempuh perjalanan ke pinggiran Jogjakarta. Di satu ruas jalan, rreeenggmm..sebuah motor enduro menyalipku dengan kecepatan cukup tinggi. Dari belakang sekilas kuamati kelengkapan motor&pengendaranya. Motor enduro itu lengkap sekali, ada tas di kanan kiri dan di depan belakang lebih dari yang pak pos pakai. Spion lengkap standard 'berdo'a' kata orang Jogja. Kukejar dia. Pada lampu merah yang kuharapkan, kutemukan dia. Pantasan, bule dia. Pantasan dia mau pake helm standard, pakaian motor standard, spion standard. Sebagai orang ireng coklat pelan2 mulai malu aku. Inget di negara ini bahkan waktu pak pulisi mau terapken itu helm 'standard', didebat sanasini disuruh terangken 'undang2 atau standard helm standard, definisi helm standard dll' meski bila bener2 diterangken apa itu helm standard bakal terus didebat. Ono wae alasane, asu tenan kata Semarangan. Malu aku, karena kaca spion di motor yang kupake kecil banget, sekecil pen** rata2 orang Indonesia (untung punyaku diatas rata2 he he). Pandangan si bule lurus ke depan, seperti angkuh memang. Seperti tak digubrisnya orang2 disekitar yang memperhatikannya. Sebentar kemudian lampu hijau menyala. rreeenggmm...BERSAMBUNG
At Thu, 22 May 2003 12:39:46 +0700 :
Sambungan suratku kepadamu waktu itu. Ya, dengan spion sekecil itu cuma memenuhi fungsi penampilan, asal terlihat polisi ada spion. Kultur ini ternyata kuat, dari kakek2 sampai anak2 muda, mahasiswa, bakul blanjan dll. Kultur penampilan, ABS, warisan jajahan.Si bule melaju dengan kecepatan 80an km/jam. Lama2 terkejar dia olehku. Rupanya dia tahu tengah kukejar. Sekitar 200 meter lagi kantorku, si bule telah disebelah, kuklakson. Tit..tit...Diacungkannya jempol tangan kirinya. Kubalas dengan lambaian tanganku. Ucap salamku untuk sudut2 tanah airku yang kau jelajahi. Untuk jiwa pengembaraanmu yang melintasi jalan2, budaya, masyarakat, alam raya negeriku. Kamu mungkin tidak mengenal Imam Syafi'i, yg berkata,"Mengembaralah, karena mengembara itu ada hikmahnya". Tapi kamu menikmatinya. Dengan melihat negeri ini dari dekat kamu bahkan semakin tahu bahwa benar negeri 'beradab' ini terkorup di dunia. Satu saat petani ditarik pajak, saat yg lebih lama jalan2 desanya tak kunjung diaspal. Uang aspal tengah dinikmati petugas2 korup dan keluarganya. Kamu tentu melewati sekolahan, yang mana hanya karena masalah dana tujuan pendidikan & pengajaran tidak tercapai. Ya, karena uang negara untuk mereka sudah jadi sertifikat tanah, rumah, deposito, tabungan kekayaan pribadi2 yg 'tidak berhak'. Ato justru sebelum sampe ke negara. Kupakai tanda kutip '...' karena ada yang merasa itu hak mereka, asalkan beberapa persen untuk membangun masjid, bersedekah, berangkat haji, menyenangkan keluarga. Umat beragamanya membenci sekulerisme, tapi pada prakteknya berlawanan, mereka pilih2 hukum yg menyenangkan. Di pelosok2 desa kami, kamu mungkin sulit menemukan anak2 kota 'nongkrong', itulah mengapa film2 Discovery, dokumenter, film pengetahuan di negeriku ini malah Londo yang bikin, rekoso soalnya. Bangsaku cukup bikin sinetron, yang digemari, dihayati & diidolakan ibu2 dan remaja putri. Atau beli meteor garden yang temtu digemari muda mudi kita. Pergerakan mereka terbatas ke play station, ke Mall atau nyambangi kost2 putri (atau nyambangin ibu kost?),"buku ini aku pinjam", katanya merayu. Ya, kota memang menjanjikan segala kesenangan meskipun dengan demikian siklus hidup jadi sangat pendek. Sekolah-kerja-kawin-manak-mati. Ada kalanya aktif dalam kegiatan keagamaan lalu merasa pol, tapi tidak tergerak oleh kesulitan2 saudaranya.
Che Guevara pernah berkata, "Kalau hatimu tergetar melihat penderitaan, maka engkau adalah kawanku." Kalo dipas2ke sebuah hadist ya, "Belum dikatakan iman, bila belum mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri." Kongkritnya tentu bukan mbuh raruh, wis ben pokoke keluargaku nyaman. Si Bule sangat berhak menjajah & menguasai peradaban, dengan segala hasrat bertualangnya, dengan keuletannya mengelola & menempuh kesulitan dalam perjalanan, dengan kemauan sesekali keluar dari garis normal, dengan kemauan memahami & melihat lingkungannya. Sementara bangsa kami hanya mengeluh atas penguasaan Bule pada peradaban. Ya, mungkin memang kita berbeda. Bisa Saja BERSAMBUNG.

Read More......

Ingatan semasa kecil

At Thu, 12 Jun 2003 15:12:02 +0700, I wrote :
....Nyonya muda Cina istri pemilik toko kelihatan sibuk memilih-milih kertas bahan mercon sambil meneteki anaknya. Tanpa disadari dibiarkannya bagian yang dari tadi selalu ditutupinya. Terkesiap aku melihatnya. Tak berlangsung lama segera disadarinya hal itu, aku yang melihat jadi malu, mukaku mungkin memerah.Sejak itulah tanpa menunggu disuruh pun aku sudah berangkat membeli kertas bahan mercon ke toko itu, begitu persediaan menipis.
Menjelang lebaran karena sudah jadi langganan, aku mendapat hadiah kueh ranjang dari pemilik toko. Lebaran pun tiba, kami merayakan kegembiraan. Selang beberapa hari, toko2 yang tutup sudah mulai buka. Rasanya tak sabar aku ingin belanja ke toko Cina itu lagi, tentu ingin ketemu nyonya toko. Kukayuh sepeda. Betapa kecewanya aku toko itu masih tutup. Esoknya aku ke toko itu lagi, aku coba mencari2 petunjuk. Di toko itu cuma ada tulisan Ling Ling. Dari ujung gang kudengar nyanyian seorang anak kecil. "Ling...ling...mari pulang ke negri Cina.".....
(Dikutip dengan kurang lebih dari sebuah ingatanku semasa kecil dulu di Semarang, dari cerpen Mercon di koran Bahari Semarang, sekitar tahun 80-an, terlintas ketika kudengar seorang kawan atau sahabat pergi ke negeri yg jauh)

Read More......

Ngopi (1)

At Wed, 15 Sep 2004 12:47:41 +0700, I wrote :
Kadang-kadang benda berupa kopi bisa mempertemukan beberapa angkatan, angkatanku dgn angkatan Kowim/Hayun misalnya, dipertemukan dengan kopi bawaan Kowim dari Kediri saat ngontrak di Mami---. Sori Wim ya atas kejadian waktu itu.
Kemudian datang angkatan Teguh, Bowo cs. Kopi pun sempat menjadi bahan persinggungan dua buah generasi.Yang jelas aku sering dapet gratisan kopi dari pulau Bintan tanah sebrang sana dari kawan seangkatan mereka itu. Kapal Tangker mereknya, temtu mantap rasanya (bukan ngepas2ke)... semantap orang yang menjadi perantara pembawanya. Kadang dunia sempit, beberapa kali aku ketemu orang dalam irisan himpunan. Ah entahlah sudah dimana beliaunya sekarang....

Read More......

Yang Kuat Yang Kalah

Mon, 09 May 2005 13:35:19 +0700, I wrote :
Biasanya ketemu aku sama ibu itu. Di sebuah pasar tradisional (pasar Colombo Jl Kaliurang, red), di ujung pertigaan jalan masuk pasar. Aku yang hidup di kota dgn gampang mengenalinya sebagai orang desa yang jualan hasil bumi di kota, numpang hidup, tanpa kalung ato gelang emas berjejer2 style yg biasanya dipilih juragan2 pasar. Kali pertama kami bertemu kuperhatikan, keramahannya, dan dagangan2nya. Dagangannya tidak cukup banyak, cuma beberapa buah pepaya, setumpuk kecil sayuran, beberapa potong 'gori' dan kacang panjang.
Sebelumnya memang, kalo sempat beli pepaya ato sayur apa, biasanya berkutat di seputar 1000 rupiah. Kalo melirik kuantitas dagangannya, entah cukup atau ada sisa buat dia dan keluarganya numpang hidup. Ketika kutanya tempat tinggalnya dijawabnya "Klaten, nDeles," kira2 lebih dari 20 km sampai koordinat pasar tsb. "Naik apa bu?" tanyaku lagi. "Motoran", jawabnya. Diawang2 coba kuhitung motornya yang dua tak, harga bbm, hasil usahanya, dll. Apakah dia tak punya pilihan?
Akhir2 ini beberapa kali kami belanja ke pasar, sudah lama kami tidak bersua. Selidik ke pedagang2 di seputaran pasar itu, sebuah kecelakaan kabarnya menimpanya, entah kaki ato tangannya yg harus di pen.
(yang kuat yang kalah, mengutip essay foto Rama Surya)

Read More......

In memoriam pemburu di kaki Bukit Tunggul

Wed, 19 Oct 2005 12:18:36 +0700, I wrote :
Ya saya dan mungkin banyak rakyat Indonesia berharap KPK
berjalan ideal..... Dari situ kita dapat berharap, musim akan
berganti.
Saya pernah menemui sebuah kesedihan, ceritanya kami punya
seorang guru untuk berburu, seorang petani penggarap
ladang profesinya, umurnya kira2 45-50th. Sebelum krismon
kami pernah kesana. Kopi, makan menu desa dan sambutan
akrab selalu kami terima.
Waktu berjalan, akhir 97 saat dollar menembus 16ribu
rupiah terdengar di radio mono yg kami dengarkan, harga2
kebutuhan pokok menggila, kami sempat berkunjung lagi ke
beliau. Hari itu terasa ganjil, tak ada jamuan seperti
biasanya. Lama kelamaan kondisi-pun terpotret. Di dapur
tak ada gula, tak ada kopi, tak ada beras. Ya, 4500 rupiah
sehari. Sedang beras sudah menmbus 3000, gula, kopi,
garam, minyak?
Siang itu kami mengeluarkan bekal perjalanan kami, sedikit
kopi dan gula, beras,ikan asin, tempe, juga rokok yang
dibawa kawan. Tak terasa obrolan kami sudah diikuti hampir
seluruh kepala keluarga di desa itu, ditemani kopi encer.
Mereka cuma sampai tahap bergumam, andai saja sehari upah
mereka 7500 rupiah mungkin cukup.
Waktu berjalan, bulan mei juni 2005 ada di bdg. Kejadian
di atas terekam cukup dalam diingatanku. Apa kabar mereka?
Rencana disusun buat bergerak ke desa beberapa kilometer
di utara Maribaya itu. 'Karena kesibukan' baru sempet
mampir ke sekre Wanadri di minggu2 akhir juni, lalu
nanya-nanya. Apa kabar beliau yang di desa itu, dari
seorang senior kami mendapat kabar bahwa pak beliau itu
sudah meninggal.
Entah apakah jalan desanya sdh teraspal, entah apakah
anak-anaknya bisa sekolah, entah apakah mereka pernah bisa
menaikkan taraf hidup.
Jadi barangkali ibu dosen dapat menghubungkan soal
kemiskinan seperti itu, yang bisa menimpa siapa saja
, dengan korupsi di sekitar kita. Yang kadang
buat beli mobil bagus, buat beli rumah mewah, untuk naik
haji.

Read More......

Tentang seorang Ayah

At 12:20 29/05/2003 +0700, I wrote:
Kalau kuingat daun sukun, kuingat ayahku. Sampai saat sebelum ajal datang kepadanya pun masih berjuang. Kalau dulu dia berjuang 'urbanisasi' ke semarang dari desa di jawa timur, menjadi 'kenek' pemanggul senjata & perawat kuda pejuang di wonogiri saat wehrkreize, sampai didapat ijazah SLTPnya di semarang, dari jaga malam, bandar nalo atau gajah gemblek, sampai jadi pegawai tetap di Perum Pelabuhan. Sampai kelima orang anaknya bisa sekolah tinggi2.
Kira2 sebulan lalu ayahku kedapatan sakit kangker & pembengkakan hati. Dua minggu dilaluinya di rumah sakit. Sejak awalpun dokter sudah menyerah, angkat tangan. Tapi bukankah kami harus berusaha? Dari jogja sempat kubawakan daun sukun yg kuning untuk ramuan jamu pesanan tabib. Tapi Tuhan punya keinginan, sebelum itu sempat ditulisnya beberapa wasiat dan diucapkannya beberapa pesan, dan kesehatannya juga makin turun. Ayahku. Di akhir hayatnya pun dia masih berjuang mengatasi rasa sakitnya. Berjuang untuk terus menyemangati dirinya sendiri. Masih sempat kubawakan daun sukun untuk obatnya, meski yang kali yg kedua tak sempat dibuat jamu untuk diminumnya. Daun2 sukun itupun terbawa kembali olehku.
Empat hari dr RS, kamis 14 mei 2003 jam 12.30an ayahku wafat tanpa aku menungguinya. Saat tanda2 itu datang pun aku tak mampu menguatkan hatiku menungguinya. 65 tahun perjalanan hidupnya yang penuh kesulitan. Aku bangga kepadamu. Saat ini bila kudengar lagu2 ebiet "titip rindu buat ayah" atau "satu menit ini misteri', atau bila kuingat daun sukun kuingat ayahku.

Read More......