Friday, December 19, 2008

Kinthil

Beberapa bulan yang lalu saat kami menjelajahi sebagian dari pulau Bangka, kami dipinjamin mobil oleh rekan sejawat. Kami berlima, dengan rincian dua orang jawa Semarang, dua orang Jawa Pekalongan-Tegal dan sekitarnya, satu orang Minang Bukit Tinggi.
Di mobil cuma ada satu buah kaset buat hiburan, yang setelah disetel ternyata campur sarinya didi kempot. Bagi kami sebagian besar, lagu-lagunya didi kempot ini semacam pengobat kerinduan kami yang di tanah seberang kepada kampung halaman. Bagi kawan yang dari minang, meskipun nggak ngerti benar arti liriknya, terpaksa ikut ndengerin karena tidak ada pilihan lain. Perjelanan beberapa hari itu membuat kami makin hapal beberapa kosakata spontan seperti "Serr", "blung" dlsb.
Nah, oleh seorang kawan yang sering saya panggil Pak Chairil Anwar, -karena wajah dan aksesnnya yang mirip penyair tersebut dan selalu tampil murung-, tanpa setahuku rupanya kaset itu diminta dari si empunya mobil. Cerita soal kaset berhenti sampai di situ, sampai
Senin siang kemarin hari yang kemrungsung ketika karena sesuatu hal jam 10an siang saya dan kawan-kawan bertiga termasuk penyair, terpaksa bergerak ke kayu agung OKI. Lelah, capek, ngantuk krn baru jam 3 pagi nyampe dari kuala tungkal jambi terpaksa "dilawan" dengan nrimak-nrimakke tugas sebagai orang gajian, untuk memperhalus istilah "buruh" yg masih disuruh-suruh. Di mobil waktu kumanfaatkan buat antara tidur dan tiduran. Suara musik MP3 yg lirih menyanyikan balada-baladanya Mas Ebiet. Ada kalanya aku ingin pulang, tapi apakah bedanya pertemuan dan perpisahan, sama-sama nikmat, tinggal bagaimana kita menghayati, dibelahan jiwa yang mana, kita sembunyikan, rasa yang terluka, duka yang tersayat.
Tiba-tiba kawan penyair tadi yang selama perjalanan sering memaknai lagu-lagunya Ebiet, dengan subyektifitas yg kental tentunya, mengeluarkan kaset dari ransel laptopnya, satu kaset pertama tidak begitu menarik atau tidak inline dengan suasana kemrungsung siang itu, sehingga forum menuntut lagu diganti.
Kaset berikutnya memecah suasana, melagukan campur sarinya didi kempot yang jenaka.
Mendengar lagu-lagu itu, otot pipi lalu bersedia menarik ujung samping bibir buat tersungging ke atas, membuatku senyum-senyum, sejenak menyingkap korden-korden stressor.
Kemudian lalu coba kuarti-artikan dengan arti yang kira-kira dialog didi kempot (DK) yang tidak kempot itu dengan vokalis ceweknya (C):

DK :
Terkinthil-kinthil, Cintaku terkinthil-kinthil
Tresnaku karo kowe ra bakal tak cuwil-cuwil


Kenal kosakata kinthil buat menggambarkan anak/org A yang suka ikut kemanapun orang tua/org B pergi, "Bocah kok neng ngendi-ngendi nginthil wae/ngikut aja." Kalau cinta yg terkinthil-kinthil mungkin perasaan cinta yang kemana ngikut aja, mungkin. Cintaku kepadamu tidak akan kusobek kecil-kecil,krikiti. cuwil dgn tangan, krikiti dengan gigi.

C :
Yayayaya, Opo tenan mas mana buktinya
Aku aku tak mau, Jo ojo kowe mung ngerayu


Ya, apa bener begitu Mas? mana buktinya?
Aku nggak mau ah, jangan-jangan kamu cuma merayu saja.

DK :
Suwer dik, Tresnaku ora tak ecer, Tenan mung kowe sing cemanthel
Suwer dik, Tresnaku ora tak ecer, Nek ra pethuk rasane koyo wong teler


Suwer dik, mungkin I swear, sumpah dik, cintaku tidak aku ecer, retail. Ecer/eceran sebagai lawan kata paket, grosir, atau partai besar. Jadi cinta yg tidak diecer mungkin cinta yang glondongan ke satu arah, tanpa bercabang-cabang, mungkin. Tapi kalimat tidak diecer tidak terjelaskan oleh kalimat berikutnya, yang artinya : hanya kamu yang tergantung/cemanthel. Mungkin maksudnya menggantung di pikiran.

C :
Tresno mas kuwi ono neng dodo, Ora cukup mung disawang karo moto
Ojo koyo neng lagi mangan tebu mas, Entek legine trus kowe ninggal aku


Cinta itu adanya di dada, di hati mungkin kamsudnya. Tidak cukup hanya dilihat dengan mata saja. Maksudnya mungkin cinta itu harus lahir dan bathin, dibolak-balik boleh.
Jangan seperti makan tebu, yang dicucrup-cucrup dengan nggragas, dikunyah-kunyah, lalu setelah habis manisnya, entah apa yg dimaksud manis ini, kemudian kamu meninggalkan aku. Kalau di pepatah buku bahasa indonesia SD dulu, habis manis sepah dibuang. Mungkin begitu.


Belum habis lagu itu, waktu sudah menunjukkan tengah siang, perut sudah keroncongan. Kami mampir di sebuah tempat makan yang dibawahnya ada kolam ikan, lebih tepatnya rawa yang dibersihkan sehingga air menjadi dominan. Angin siang dari rawa-rawa sekitarnya meniupkan hawa segar. Siang itu pindang ikan baung, gorengan ikan seluang, sambel buah kueni, pete dan lalapan yang lain tersedia di meja. Segelas kopi kupilih buat menimpali pedasnya pindang. Makanan yang dihidangkan memang menyegarkan dan enak, entah apakah karena kami sudah kelaparan atau memang enak. Mungkin memang enak, bila melihat pengunjung yang makan siang itu memenuhi meja & kursi tersedia. Selain kami, mereka adalah aparat Pemda/Pemkab yang bicara keras-keras kepada teman-temannya, pakaian mereka siang itu warna hijau hansip. Mobil-mobil plat merah berjajar-jajar. Kata konon, mereka adalah abdi negara & abdi masyarakat.
Makan siang yang nikmat telah selesai, segera kami beranjak dari tempat itu menemui panggilan tugas. Kuda jepang meluncur kembali ke jalanan raya dan di telinga kembali terdengar lanjutan lagu yang sempat terpenggal

Terkinthil-kinthil, Cintaku terkinthil-kinthil
Tresnaku karo kowe ra bakal tak cuwil-cuwil

Ada tawa jenaka, tapi juga ada rindu di dalam dada, rindu kampung halaman dan masyarakatnya, juga kenangan masa lalu.





Read More......

Friday, December 5, 2008

tadi pagi

dalam waktu yang begitu terasa nyerpek
karena kemalasan yang sudah biasa untuk mengawali hari-hariku
ketika jam dinding komando yang seingatku biasa mati diam
pagi ini berdetak sinkron dengan jam dinding hadiah perkawinan kita
meski ada selisih dua menit, toh sama saja karena yg satunya dicepetin lima menit
kita sempat ngobrol panjang, soal sebuah cita-cita
pagi ini aku bahagia sekali, mendengar itu semua darimu
sesekali kusampaikan pendapat2ku, yang pasti belum tentu benar
soal bagusnya seperti apa sekolah itu, bukan soal bangunannya
soal anak-anak petani dan nelayan, soal sikap sekolah, sikap gubernur dan walikota
yang tentu masih sibuk dalam hari-hari awal masa baktinya
tenang, waktu masih panjang, dan seorang kawan tidak akan lupa kawannya
masih banyak yang dapat dikerjakan, dengan kamera poket dan pena
juga fotomedia edisi anak indonesia 95, yang kita jaga biar tidak lusuh itu
sayangku, aku tahu waktumu tidak banyak dalam sehari buat itu
karena sebentar-sebentar banyak yang meminta perhatian, atau menarik-narik rambutmu, atau marah-marah karena minta dibuatin susu
tapi pagi ini aku bahagia, ada waktumu buat hal itu
bukan sesuatu yang instan, tapi cuma perlu kesabaran, dan tentu nasib baik yang selalu kita minta
waktu masih panjang, dengan izin Tuhan, banyak yang dapat kita kerjakan
sayang, misi yang seperti ini memerlukan endurance dan konsistensi
dan itu semua digerakkan juga oleh alam bawah sadar
bukankan salah satu kekuatan kita sudah diuji lebih dari 8 tahun?
waktu sudah makin mendesak saja, meski aku sudah memutuskan membolos SKJ, untuk perbincangan dan percumbuan mesra kita
tapi karena si kakak juga, hari ini tumben minta buru-buru berangkat
teh manis hangat dan dua kerat pisang goreng kunikmati tanda kasih sayangmu
aku akan sedikit ngebut mengkompensasi keasyikan kita, aku sayang kamu, waktu masih panjang, dengan izin Tuhan, banyak yang dapat kita kerjakan




Read More......

Saturday, November 15, 2008

prapatan, living on the edge

Sekolah anak ini adalah sekolah nasional, yg belum juga terpecahkan teka-teki artinya bagiku, atau masih malu nanya2 apa artinya. Apa karena bahasa pengantarnya pake bahasa inggris dan juga diajarkan Mandarin, lalu sekolah itu disebut national school? Bukankah yg tepat international school? Atau artinya sekolah negri? Tapi mengapa baju seragamnya yg putih merah hanya dipakai di hari tertentu yg cuma sehari sepertinya, berbeda dengan ingatanku saat sekolah di SD negeri pendrikan lebih dari 2dua dasawarsa yg lewat.
Bagi yang datang dari 'suburban' seperti saya, akan gumun dengan sekolah yg modern & terkesan mutachir seperti itu, asli. Guru-gurunya ramah atau minimal selalu memasang mimik yang ramah, dan kalau 17an selalu rame dengan lomba-lomba buat siswa & orang tuanya. Di sekolah itu juga disediakan jasa psikolog, terutama untuk membantu masalah perkembangan psikis anak, meski tidak menutup kemungkianan psikis orang tuanya. Di sekolah itu ada tukang parkir dan satpam yg disamping memantau mobil juga memantau para penjemput, dan mereka hapal orang-orangnya. Ruang kelas ber AC dan staff pembantu, dari satpam sampai cleaning service menggunakan pengantar bahasa inggris sesama mereka. sekali-sekali saya juga mencoba menyapa atau berkomunikasi dengan mereka memakai bahasa inggris, tapi ya jarang-jarang sekali, berhubung minim kosakata dan cuma hapal it is = itu. pendek kata, sekolah ini seperti digambarkan oleh andrea hirata dalam novelnya laskar pelangi, sebagai antagonis sekolah muhamadiyahnya,sekolah PN.
minggu lalu dengan tergesa-gesa saya mengambilkan laporan pendidikan berupa nilai siswa/rapot, berbeda dengan rapot kami waktu SD dulu di kampung pendrikan. Rapot tengah semester yang ini banyak pake bahasa inggris, dan ada keterangan tuntas atau tidak tuntas,dikaitkan dengan passing grade utk nilai2 mata pelajaran itu. Formatnya justru malah mengingatkan rapot TK dulu yg diisi kalimat2 : kemandirian, suka menangis, mengganggu teman, yg kemudian ada tanda x sana sini.
akhirnya terjebak juga aku dalam sebuah situasi yg disebut menimbang dan lalu memilih. ketika seorang anak kecil yg kadang2 tampil sebagai replikaku dihadapkan pada sebuah situasi, yang kami sebagai orang yg lebih dulu lahir dan lebih dulu ndolor menganggapnya berada pada sebuah titik warning. ketika nilai rapot mid semesternya (bukan catur wulan lagi) ada mata pelajaran yang alarm?
orang tua kita, guru-guru kita, lingkungan kita yang selalu normal & beradab mengkondisikan kita untuk mempunyai anggapan bahwa nilai rapor yang jeblok adalah tanda2 bencana buat masa depan, yang perlu disikapi dan diambil tindakan.
mencermati rapor, nilai anak itu lumayan, untuk semua mata pelajaran, selain matematika, science & english. nah, masalahnya kata orang itu yang pokok? (gambar avatar lagi mrenges).
Yang paling mencolok adalah metematika, dengan passing grade 65 dan hasil yang dia capai adalah 35, tidak tuntas. Untuk science & English masih deket2 tapi di bawah passing grade juga. beberapa kali anak ini mengikuti remedial untuk matapelajaran matematika ini. Dan kalau dicermati dengan membandingkan hasil belajarnya di rumah dan pekerjaan sekolahnya, masalah dia bukan di kemampuan otak buat berhitung, tapi lebih ke masalah konsentrasi. bila di rumah dia mudah tergoda adiknya yang sedang main buat bergabung, kalau di sekolah dia gampang terpengaruh kawan-kawannya buat buru-buru keluar kelas.
aparat sekolah menganjurkannya buat ikut les, yang kalau di sekolah ini disebut club. mengingat masalah terberatnya, dia diikutkan math club & english club. rengekannya buat megikuti sportclub, minatnya, akhirnya kami kabulkan juga. sebaliknya rengekan darinya buat memohon-mohon & mencari alasan tidak ikut math club. saya mikir & berharap, hal-hal yg diminatinya dapat mengkompensasi kemalasannya untuk 'diperadabkan' di math club. Ya, karena bagi saya waktu kecil sampai SMA, les adalah penjara, kita di dalamnya cuma menunggu & berharap jarum jam berputar cepat untuk berakhirnya. Dan Ibu saya masih sering mengulang2, kalo aku dulu lebih memilih berangkat latihan kung fu di aula basket SMA loyola daripada ikut les bahasa inggris.
siang tadi terasa kembali sulit juga untuk membujuknya mengikuti mathclub, seperti yg sudah-sudah, akhirnya kukeluarkan juga "sabda motivasi rahasia seri 1" dari sekian puluh yg tidak pernah kuhitung tetapi sering muncul di saat tepat, "kak, besok2 lagi kalau nilai semester atau midnya bisa mencapai 70 aja (lebih sedikit dari passing grade yg 65), dia boleh tidak usah les lagi" dan sepertinya dengan berat hati dia mau dan mampu merasa bisa mencapai passing grade lebih sedikit itu.
mengapa memotivasi dengan "cuma" itu rupanya kembali ke persoalan saat ini yang direfleksikan ke masa lalu. saya mencoba mengaktualkan riwayat hidup saya saat masuk & sekolah di SMP, SMA dan mendaftar PT, Akademi, Sekolah Tinggi dll yang lebih sering lulus "sangat memuaskan" dengan predikat "lolos dari lubang jarum". masuk SMP sy melewati NEM minimal dgn nilai 40,67 (lolos minimal 40,61), masuk SMA jg dgn cukup lebih 1,n. mendaftar PT pun lolos dr lubang jarum ketika waktu ujian buat masuk STTTelkom, masuk Sekbang PLP curug & Sekbang Merpati, bersamaan. dan saya lolos dalam ketiga tahap ujina tersebut. Waktu kuliah pun, sy pernah terselamatkan dari DO oleh sebuah nilai A untuk siskom yang kontras dengan sekian banyak nilai C dan satu nilai D. keyakinan saya bahwa melewati sebuah kelas atau seleksi tidak harus terus menjadi yg terbaik, asalkan tidak kena garukan, asalkan lulus, asal tidak DO, menjadi motivasi yg kuat. Dan akhir masa kuliah-pun lulus dari kampus dengan nilai IPK 2,53 sedikit lebih besar dati nilai ambang batas IPK, yaitu 2,5. hal-hal yang menyerempet-menyerampat resiko itu tanpa sadar ngin kutularkan untuk mengkompensasi ketidakminatannya terhadap sesuatu mata pelajaran. apakah benar atau salah? entahlah, toh saya tidak tahu rahasia Tuhan terhadap mahluk-mahluknya.
yang jelas tidak eksplisit kukatakan kepadanya, bahwa apapun jalan hidupnya saat dewasa kelak, dia harus sadar & aku akan menghormatinya. kelak dia akan dewasa memilih menjadi seorang yang dipandang sebagai kelas "cerdas, cerdik pandai, cendekia" yang "beradab" yang menyampaikan intelektualitasnya lewat nilai A dalam semua matakuliah atau bidang kesarjanaan, atau lewat sebuah karya tulisan apapun dengan bahasa dan deskripsi yg rumit & berselera tinggi. dia boleh juga menjadi dewasa dengan cukup "menjadi orang bodoh" dengan nilai C yg sdh dianggap anugrah, -menirukan deskripsi itu dari andrea hirata di satu halaman laskar pelanginya-, seperti pilihan atau juga kebetulan-kebetulan dari jalan hidup Bapaknya, untuk mengkompensasi segala jenis kegiatan, iseng, kenakalan, uthil, eksplorasi dan petualangan yang tidak pernah ada SKS-nya. dia boleh jadi seniman, dia boleh jadi peneliti, dia boleh jadi pengajar, dia boleh jadi wartawan, dia boleh jadi fotografer, dia boleh jadi tentara, boleh jadi pemain bola atau gerilyawan sekalipun. harapku dia harus "sukses" untuk itu, dengan (minimal) sedikit saja memegang idealisme, kejujuran, dan keberanian, untuk menempuh resiko-resiko dari petualangan menyingkap kabut misteri kehidupan & "permainan" Tuhan atas makhluk2nya, untuk dirinya, tanah air dan ilmu pengetahuan, dimana di sana ada pergulatan pikiran, cinta, roman, momen, harapan, atau penjelajahan itu sendiri.

kayu agung, 15 november 2008, ditulis di sebuah koordinat dan sebuah pagi yang pernah menjadi misteri. CO: S 03 23' 39.3" E 104 49' 53.5".



Read More......

Monday, November 10, 2008

drama sedih milik ibu


seorang ibu menangis sampai terduduk, ketika sebuah mobil caraka kurir berita angkatan darat amerika memasuki halaman luas rumah ibunda tersebut. seorang ibu, seorang wanita yang tanpa harus dibacakan isi beritanya-pun sudah cukup mengerti dan merasakan apa yang telah terjadi. ia telah kehilangan anak-anak laki-lakinya yang sangat dicintainya. sebuah berita duka tentang tiga ryan-nya dari dari empat ryan yang dimilikinya yang berangkat ke medan perang di Normandia, Prancis. tiga buah berita duka yang diterimanya dalam hari yang sama.
cerita utama perang tentu soal heroisme yang menggelora dan pertarungan ideologi yang sangat global soal hitam putih, benar salah, atau jahat baik, yang kemudian menjadi headline di koran-koran atau media. sementara detail-detail fragmen-nya adalah kedukaan seorang ibu yang begitu mendalam terhadap anak-anak yang dicintanya, yang dibesarkannya sejak kecil mulai dari ditimang-timang, membelikannya mainan, menyekolahkannya sampai kemudian sejarah merenggut anak-anaknya. kalau kemudian ryan yang ke-empat yang bertarung dalam pertaruhan hidup dan mati di seputar koordinat Neuville-au-Plain, Manche, berhasil diselamatkan sebuah regu pencari yang dipipin oleh kapten miller, dan lantas datang juga kemudian sebuah ucapan terima kasih dari presiden-nya, tidak akan menghilangkan sedihnya kehilangan tiga putra tercinta.
fragmen pertarungan ideologi yang berujung pertempuran baik skala besar maupun terbatas selalu menghadirkan kedukaan dari orang-orang yang mencintai pelaku-pelakunya. bahwasanya suatu saat ideologi yang dipercaya paling benar-pun akan menemui egoisme-nya, disamping relativitas kebenaran dari ideologi itu sendiri. dia akan membuta kepada segala sesuatu selain kepentingannya. dan hal ini rupanya akan terus terjadi sepanjang sejarah. semua pihak yang bertarung mengalaminya dan soal siapa sutradara-nya saja yang kemudian menggerakkan pena menulis skenario atau memoar. bukankah sejarah adalah milik dari para pemenang?
beberapa jam lalu baca berita, nonton TV, soal eksekusi mati 3 orang anak manusia yang meyakini secara mutlak kebenaran-kebenaran prinsip2nya yang bagi mereka sebagian diilhami oleh penindasan-penindasan yang tiada pernah menemui pembelaan, yang kemudian dipercaya sebagai sebab membenarkan & menggerakkan teror. tetapi yang lebih pasti dari soal pertentangan kebenaran itu, dibaliknya adalah soal dua orang ibunda yang kehilangan anak-anaknya. ibu hj embay badriyah kehilangan putranya abdul azis alias imam samudra dan ibu tariyem yang kehilangan mukhlas & amrozy.
dan hari itu, nyatalah sekali kasih seorang wanita yang disebut ibu itu, kasih dan cinta yang begitu lengkap, ia yang melahirkan anak-anaknya dengan rasa sakit dan taruhan nyawa, ia yang membesarkan anak-anaknya dengan kecukupan yang diada-adakan, ia yang mengurus anak-anaknya itu ketika berak di celana di waktu kecil, ia juga yang mengantarkan anaknya ke mendaftar ke sekolah ketika TK atau SD kelas satu, dan kemudian ia juga yang mengantarkan anak-anaknya itu ke kuburnya.
mereka berkumpul dengan alasan-alasan yang dapat dimengerti, dan mereka kemudian berpisah oleh sesuatu yang belum tentu dimengerti. kasih sayang yang tidak mengenal batas-batas ideologi dan tidak mengenal pertarungan 'maksud baik'.

....
One of the more famous incidents occurrred during the Civil War when President Lincoln wrote a letter to a Mrs. Bixby, who had lost several sons in the conflict. He states :

I have been shown in the files of the War Department a statement of the Adjutant General of Massachusetts, that you are the mother of five sons who have died gloriously on the field of battle.
I feel how weak and fruitless must be any words of mine which should attempt to beguile you from the grief of a loss so overwhelming. But I cannot refrain from tendering to you the consolation that may be found in the thanks of the Republic they died to save.

I pray that our Heavenly Father may assuage the anguish of your bereavement, and leave you only the cherished memory of the loved and lost, and the solemn pride that must be yours, to have laid so costly a sacrifice upon the altar of Freedom.

Yours, very sincerely and respectfully,

Abraham Lincoln




Read More......

wong pinter

perumahan tempat kami tinggal saat ini dikelilingi oleh parit yang selalu penuh oleh air, baik musim hujan maupun kemarau sebelumnya (cuma punya data referensi 1 tahun lalu). hal ini rupa-rupanya terjadi krn memang lokasi perumahan ini dulunya adalah rawa-rawa yang lalu sebagian diurug untuk memenuhi kebutuhah luas perumahan.
apa yang terpikir pertama kali saat tinggal sini mulai tahun lalu?
banyak nyamuk, jelas, dan rupa-rupanya lagi, melihat tampilan air parit dan aktivitas-nya secara snap shot, saya punya feeling tempat ini banyak ikan!
kekayaan alam yang "dahsyat' di tengah tahun 2008 ini, di sebuah kota yg tumbuh pesat (referensi berpikir tentu kota2 di jawa).
benar saja, beberapa malam sejak tinggal di sini kami sempat obrservasi "serius", dan benar saja suatu malam terpergok oleh senter kami, seekor ikan gabus dengan ukuran yg cukup besar di parit depan rumah kami.
kesimpulan sederhana penyelidikan malam itu : kawan2 & lawan2nya juga bisa jadi buanyak, dan tempat yg paling ideal buat nongkrongnya ikan-ikan ini, persis di samping rumah kontrakan kami itu. saya selalu menghubung-hubungkannya dengan ingatan ttg rumpon di laut jawa tempat dulu suharto suka memancing. ya, terminal tempat nongkrong ikan2 ini adalah sebuah ujung parit yg berakhir di tembok batas perumahan, tepatnya 2 meter dari batas perumahan.
di atasnya parit tersebut ditutup oleh beton2 cor2an semen yang disusun berjejer-jejer setiap 1 meter atau 80 cm. diantara beton satu dan beton yg lain, terdapat lubang yang cukup besar, sebesar kira2 20 cmx 15 cm, cukup besar buat memasang kail!
dan tutup-tutup beton tadi akan mengkondisikan parit di bawahnya menjadi teduh, tempat yang bagus buat berkumpulnya ikan, yang akan kami pancing. kami amati juga, bahwa di tempat itu juga adalah pertemuan dua arah parit, di sekitarnya akan menjadi rendezvous ikan-ikan. keadaan yang komplit.
hipotesa soal itu tidak perlu waktu lama buat dibuktikan.
benar saja, beberapa hari bulan-bulan awal kami di sini kami isi dengan mancing, hampir tiap hari dan juga malam. aku yang orang gajian baru dapat melakukannya malam2habis jam kantor & jam keluarga, kecuali hari sabtu atau minggu bila tidak ke luar kota.dan perolehan yang kami dapatkan dari hiburan ini juga tidak sedikit.
pernah suatu malam, dalam waktu yg tidak terlalu lama, kami dapat perolehan 9 ikan betik (betok) dan 3 ikan gabus. jumlah yg lumayan dr sebuah iseng-iseng yang gratis.
dan anak-anak saya beruntung, menemukan tempat memancing, bermain, dan mengadu untung, rekreasi & petualangan baru menyenangkan dan gratis.
anak-anak menikmati saat petualangan seru ini, saat umpan yg dipasang ditarik buruan, saat ikan yang ditarik ke atas terlepas, saat ikan meronta-ronta di ujung kail dan sensasi-sensasi lain yg mahal krn sudah susah ditemukan di kota-kota besar, di jawa sana.
anak-anak mulai tahu jenis-jenis ikan, seperti ikan betok yang mirip ksatria romawi, karena sirip insangnya terlihat bergerigi & melambangkan kekuatan alam yang liar, atau ikan gabus yang tubuhnya gilig, licin dan mirip dengan ular itumereka juga merasakan menyantap hasil buruan mereka yg telah digoreng.
oia, pernah suatu hari niven menangis tersedu-sedu, malam itu saya dapat ikan gabus besar, tapi krn susah melepas mata kailnya, akhirnya ikan tsb mati dan setelah kami bersihkan cuma kami masukkan ke kulkas, siangnya pulang sekolah niven dapat gabus yang besar juga, dia senang sekali, ikan yg masih hidup itu ditaruhnya di ember, akan dipamerkannya kepadaku, ayahnya, dengan rasa bangga tentunya.
sebuah kesalahpahaman terjadi, istriku minta si mbak buat memasak ikan yg sdh didapat semaleman, dan rupanya si mbak jg tidak tahu bhw di kulkas sdh ada jg buruan saya. dan si mbak tanpa merasa bersalah jg, mengeksekusi ikan hasil buruan niven, yg masih hidup, bukan yg di kulkas. niven sdg lengah main di tempat lain, tidak menjaganya. pulang main sore itu, dia menemui hasil 'miskomunikasi' ini, dan dia menangis sejadi-jadinya. dia sedih ikannya sdh dimasak, dia sedih hari itu tidak dapat memamerkan hasil karya atau 'kemenangannya' kepadaku. kalau inget sore itu, saya merasa bersedih, larut dlm kesedihannya niven, dengan niat baiknya.
beberapa waktu kemudian, kami telah melupakan kejadian itu, kami memulai kembali aktivitas memasang umpan jangkrik atau ulat bambu ke mata kail.
suatu hari, kesenangan itu mereda, terkalahkan oleh kelelahan-kelelahan dunia kerja yang kadang sulit dimengerti arah larinya yang lalu mengkompensasi kita dengan mengalahkan kesenangan-kesenangan kecil. pikirku, minat terhadap kesenangan tadi akan segera timbul bergelombang, padaku & anak-anakku.
suatu hari ada rapat RT yang tidak dapat kuikuti, dan memang, tidak banyak jumlah rapat RT & atau kerjabakti yg dapat kuikuti dengan load kerja yg demikian tinggi, alasanku. rapat itu tergerak karena kasus-kasus demam berdarah (DB) yang tinggi di kota ini, dan nyamuk2 yang tinggal di parit menanggung persepsi soal DB tersebut dan yg jelas tidak punya lembaga perwakilan tanya jawab hanya dapat menerima vonis tanpa perlawanan politik. penghuni-penghuni perumahan kalau aku perhatikan banyak "orang pinter" dan "penting", ada dokter, ada pegawai perkebunan atau pertanian, ada dandim, ada kapolsek, ada pak haji, ada pegawai pertamina, ada juga pegawai kantor telepon, ada juga pensiunan. latar belakang pendidikan-pun sudah tidak perlu diragukan lagi. orang-orang pinter. dan keputusan rapat malam itu adalah, untuk mencegah agar nyamuk tidak merajalela, maka "ujung" parit yang kami sebut sebagai terminal ikan tersebut harus ditimbun. diharapkan dengan menimbunnya, makan air di parit akan mengalir, sehingga nyamuk tidak dapat berbiak di sana.
Hah? tidak salahkan? logika bersama apa yang diambil? apakah orang-orang pinter di forum tidak mennyaidar bhw air yang ada di parit lebih krn dia masih menyimpan karakter rawa, bukan krn kontur yg tidak miring atau satu titik yg dianggap sebab? dan lalu harus ditimbunlah segmen sekitar 5-6 meter, yg pikirku tidak akan berdampak sedikitpun terhadap ratusan meter segmen yang lain yang memang tidak pernah mengalir? sebelum penimbunan beberapa kali kami sempat ngobrol dalam forum-forum terbatas beberapa org, mencoba mempersuasi mereka bhw yg mrk akan lakukan sia2. jujur lebih juga dipengaruhi kekawatiran hilangnya 'tempat main tempat mancing' kami yang menyenangkan itu. ingatanku melayang ketika saya SD dulu atau sebelum SD, di Semarang, dimana kami sempat memancing ikan betok di kali bima atau menawu ikan moto telu (tiga mata) di blumbang kampung belakang atau di blumbang di lokasi proyek (proyek perumahan elit), sebelum semuanya hilang, baik akibat degradasi kualitas lingkungan, atau berubah fungsi dari empang menjadi perumahan, arus kemajuan zaman.
beberapa hari kemudian pulang kerja aku dapati susunan beton penutup parit telah berubah, pelan tapi pasti segmen 6 meter terminal ikan, yang sesekali kami samakan dengan 'rumpon' seperti di berita-berita zaman suharto, ditimbun tanah urugan.
sedih dan kecewa, menyadari bahwa kebenaran umum atau keputusan bersama yang mulia, -yang notabene juga dihasilkan oleh pikiran-pikiran orang-orang pinter-, belum tentu itu kebenaran yang yg sebenarnya.
yang jelas kami kehilangan tempat bermain kami yg cuma bebrapa langkah dari pintu itu, dan nyamuk tidak pernah berkurang populasinya, dan parit tidak pernah mengalir seperti yang dibayangkan. konon memang, merasakan & menyikapi keseimbangan alam bukanlah fungsi dominan otak, rasio, atau kepintaran, tetapi dengan naluri, naluri yang terdorong oleh kecintaan, kecintaan akan alam apa adanya tempat kita bermain, berinteraksi, atau belajar dalam arti seluas-luasnya.


ditulis di malam pertama setelah balik mengungsi krn kebanjiran 2-3 hari sebelumnya.


Read More......

Saturday, November 8, 2008

tentang 80 tahun sumpah pemuda, yg tercecer dari gladian panji geografi 2008

jangan bertanya apa yaaang telah, negara berikan kepadamu...
tetapi tanyalah apa yaaang, tlah kau berikan pada negaramu...


lagu sumbang dengan tempo mars membubung di udara yang dingin. matahari pagi itu tidak sanggup menembus awan yang berlapis seperti pertahanan catenacio sepakbola italia. cuaca yg sangat cocok untuk meneruskan tidur malam yg tidak sungguh-sungguh nyenyak. angin tidak benar-benar bertiup, pohon-pohon di sekitar lapangan rumput persegi yang cukup lebar itu tidak banyak bergerak. sesekali saja daun-daun cemara yg sedikit mengering berguguran ke pinggiran lapangan yang menghadap ke barak-barak kecil. pohon-pohon cemara yang itu juga konon sudah tegak berdiri di tempat itu sejak tahun-tahun awal abad ini, ketika belanda menjadikannya sebagai tempat berlatih polisi-polisinya, mengamankan koloni-koloni dan aset-asetnya dari resiko-resiko pergolakan sosial inlander. sekarang ini tempat tersebut menjadi tempat latihan dasar salah satu tentara elit di negeri ini, kopassus, yang dipuja seperti dewa dengan simbol-simbol keberanian dan kehandalannya dalam setiap penugasan membela tanah air dari rongrongan 'instabilitas' sekaligus dicaci maki sebagai biang kerok berbagai masalah hak asasi manusia di negeri ini yang dalam suatu kurun penuh kekerasan. relativitas yang sebenarnya.
di puncak gundukan yg tertinggi di hadapan lapangan terdapat sebuah bangunan kecil berarsitektur londo. aku yang tidak paham dunia arsitektur, -yang cuma dapat menerangkan minat soal bangunan dengan kalimat pengin punya rumah kayu atau setengah kayu yang kecil saja dengan tanah halaman kebun dan padang rumput yang luas-, hanya dapat menebaknya dari bentuk bangunan yg tidak biasa itu. kalau kita dapat mengerahkan gingkang kita untuk mengapung di udara seperti avatar dan dapat melihat bangunan tersebut dari atas, maka kita akan melihat bentuk bujur sangkar, dengan penanda utama di sebuah sisinya meruncing sebuah tungku penghangat ruangan kalau di bawahnya dibakar kayu-kayu. memang beberapa wajah sudah berubah seiring waktu dan pertimbangan-pertimbangan kepraktisan, tapi seperti replika perahu pinisi, dia masih menyimpan energi sejarah.
bangunan itu baru dapat detail kami amati pada kesempatan itu, memang, sering terjadi di dalam hidup kita, hal-hal yang kita temui dekat di sekitar kita tidak kita sadari bentuk, fungsi, asal usul, apalagi sejarah yang melingkupinya. sampai kita diberikan kesempatan untuk dapat mengamatinya kemudian.
bangunan itu sepertinya dulu pernah jadi tempat nongkrongnya gubernur jenderal atau londo-londo yg lain barangkali mengamati latihan perang-perangan, atau entah untuk menikmati bentang alam pemandangan danau buatan yang indah yang dikelilingi gunung-gunung, sambil menghirup kopi terbaik di dunia.
disebelah-sebelahnya adalah barak-barak tadi yang menghadap lurus lapangan rumput, yang mungkin dulu disetting sbg barak-barak pengawal.
lagu-lagu sumbang belum berhenti, beberapa kesempatan diulang-ulang. lagu-lagu itu, yang sepertinya akan lucu dibawa ke mikropon tempat-tempat hiburan karaoke, dipercaya dapat menghidupkan suasana, semangat, kesadaran cinta tanah air, daya juang dari ratusan muda mudi yang "tersesat".

situlembang tak akan kulupaa, tempat kita berlatih bersamaa
tiap hari selalu ditempa, tuk menjadi panji muuda jayaa
itulah harapan bangsa dan negaraaa...


ya, seminggu itu enam ratus delapan puluh sekian muda mudi, dengan 600 muda dan delapan puluh sekian mudi dari hampir semua propinsi yang ada di tanah air ini, mereka mengalami sebuah pengalaman yang bisa jadi sekali seumur hidup. mereka memiliki berbagai latar belakang pendidikan, dari SLTA, kuliah, atau sudah tidak sekolah lagi, untuk memperhalus drop out. berbagai latar belakang suku, budaya, agama, adat, makanan kesukaan, lagu kegemaran atau buku-buku bacaan. dengan berbagai latar belakang minat atau akademis juga, terutama untuk perhimpunan kampus/sekolah, ada yang sekedar mencari kenalan, pengin dapat ilmu baru, keingin tahuan, pengin reuni dengan kawannya yg pernah ketemu dalam acara lain sebelumnya, atau sekedar mengikuti petunjuk gerbang misteri sebuah acara atau pertemuan, yang tidak pernah benar-benar bisa kita tebak deviasi antara harapan dan kenyataan. seminggu itu pemuda pemudi harapan bangsa ini melaksanakan pelatihan mitigasi bencana, how to minimize the effect of disaster, bencana dalam skala kecil maupun besar, dengan mengikuti latihan berbagai matra: rescue air, rescue tebing dan rescue gununghutan. setiap orang dapat memilih matra yang diminatinya.
kalangan panitia tidak kalah seru dan kompleksnya. panitia dari berbagai latar belakang, ada sipil ada militer, ada juga TKD, tentara karepe dhewe. istilah itu biasa kami gunakan buat menamai orang-orang yang lebih sering bergaya militeristik dibandingkan tentara sebenarnya, kalau dipikir-pikir malah tentara yang asli saja kalah persis. dan kadang-kadang saya merasa termasuk golongan yang itu. bacaan semasa kecil tentang Indian Amerika, Old Shaterhand & Winnetou, kisah petualangan-petualangan di hutan seperti Jungle James, Jhonny Quest atau kisah-kisah perang pasifik, buku tulisan Bapak Pandu Dunia, rupanya mempengaruhi saya untuk sering mendefinisikan diri sebagai penjelajah hutan, gerilyawan atau milisi-milisi inggris dalam sebuah tahap French and Indian War, atau para pathfinder di dalam perang sipil Amerika, dan juga para pencari jejak suku-suku Dayak. mendefinisikan diri dalam hal berpakaian saat "in action" atau dalam pola pikir, dan mungkin pola tindak. naluri yang kemudian muncul tanpa disadari dan tidak berusaha juga untuk dicegah. secara kasat mata, orang-orang seperti ini dapat ditebak dari style-nya saat tampil maksimal di medan operasi, bisa style Indian, bisa style loreng-loreng, bisa juga style petani atau vietcong. pendek kata, gunung hutan adalah aktualisasinya, seperti seorang penyanyi rock macam Mick Jaggernya dan Rolling Stonenya yang tampil ekspresif di panggung pertunjukan yang menjadi aktualisasinya. tampil maksimal, kata om bejat. karena aktualisasi, energi yg muncul jangan ditanya.
ide pertama kegiatan ini muncul dari petinggi korps baret merah, untuk membuat acara yang bertepatan dengan peringatan 100 tahun sumpah pemuda. bagi mereka dan rupanya juga bagi kami, hal itu penting. bukan masalah peringatan atau pembuatan monumennya, tapi soal sedikit hal yang dapat dilakukan pemuda pemudi kita dalam 100 tahun hari jadi-nya, untuk tanah air tercinta. dengan berusaha mensinkronkan persepsi-persepsi, soal penanganan bencana. ya, dan penanganan bencana cuma satu parameter dari ribuan atau jutaan hal yang terkait dengan mesin besar tanah air ini. Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung dan beberapa anggota perhimpunan sejenis lain sperti KSR ITTelkom, AMP Unpad dan lain-lain mengoperasionalkan konsep-konsep yang disusun. semua komponen adalah penting di sini. konsep dioperasionalkan dan suatu saat lain operasional dikonsepkan.
hari pertama, pembukaan, menarik buat diamati, pencitraan para muda mudi penggiat KAT/kegiatan di alam terbuka atau pecinta alam sebagai manusia yang bebas terlihat dari style cara berpakaian, atribut, warna-warni pakaian, pernak-pernik aksesoris yang dipakai di badan atau pakaian, sampai potongan rambut.
saat gladi bersih upacara pembukaan dilakukan, butuh waktu yang cukup lama untuk sekedar menata barisan. apel atau upacara adalah budaya militer yang tertib dan teratur, sedangkan para peserta adalah orang-orang bebas yg ekspresif, yang mungkin sebagian dari mereka sudah lama tidak pernah mencicipi budaya tersebut. Sersan satu Hasim, kameramen yang berdiri disebelahku cuma senyam-senyum menyaksikan kontradiksi-kontradiksi yg terjadi. ia tertawa ketika melihat para peserta tertawa-tawa melihat kawannya yang menjadi komandan upacara melakukan kesalahan, yang memang wajar ditertawakan. "Kalo kita yg di militer upacara adalah hal sakral, melihat peserta yg bisa tertawa-tawa atau tepuk-tepuk tangan, kita melihatnya aneh, gimanaa gitu," kata sersan satu Hasim. Meski tidak sempat terdengar lontaran gerutu peserta yang merasa "terperangkap" di sebuah peradaban berbeda, kami dapat melihat raut muka sebagian peserta yang menahan gerutu, protes, uneg-uneg karena "diteraturkan", meski sebagian lagi nampak enjoy-enjoy atau masa bodoh saja mengikuti alur skenario. dua budaya yang berbenturan.tapi lambat laun dengan atau tanpa keterpaksaan, semua dapat menempatkan diri di posisi-nya masing2. standard-standard pergerakan seperti "harus memakai sepatu", dapat dipatuhi para peserta dengan berbagai macam cara.
tak apalah, sebuah pelajaran didapatkan, menghormati aturan pihak yang dituanrumahkan. dan hal ini juga sudah diantisipasi tuan rumah juga, militer punya caranya sendiri. penyamaan persepsi, dan itu dapat dimulai dengan meninggalkan ciri2 individual atau kelompok perhimpunan asal, dimulai dari menyeragamkan pakaian atas & topi peserta. kalau kita hubungkan dengan kenyataan pahit yang bergelombang melanda tanah air kita tercinta, -yang ternyata tidak berbanding lurus dengan "kemajuan signifikan" demokrasi indonesia yang selalu kita banggakan dan menghiasi headline koran lewat hiruk pikuk pilkada menggeser topik-topik ekonomi yang selalu buram-, ada sebuah situasi dimana persepsi dan pola pikir perlu untuk disamakan dan ada juga situasi dimana persepsi dan pola pikir dapat dibiarkan bebas. kita saja yang tersesat mempertentangkan secara menghabiskan energi bahwa suatu perlu diatur atau tidak, dan lalu pada aplikasinya justru kita tidak pernah mengatur dan menghasilkan apapun, meskipun tidak berarti dibelakang topi atau baju yang sama akan ada otak yang benar-benar sama.
upacara pembukaan mulus tidak terjadi kejadian-kejadian aneh, konyol, lucu atau memalukan. sepertinya everything allright, and everyone happy, (who knows?).
termasuk saya, karena kebetulan saya termasuk yang mensakralkan sebuah upacara seperti itu. dan tanpa menaruh di depan segala persepsi negatif soal militer di tanah air atau misi2 penggalangan, kita layak senang dengan kegiatan seperti ini. dan yang jelas mereka beruntung memiliki kesempatan menjadi sebagian manusia berempati terhadap manusia lain yang terdera bencana, meski kesempatan itu belum tentu akan diambilnya kelak. dengan empati itu mestinya dia dapat menikmati keindahan sebuah kesederhanaan, dari hal-hal biasa yang ada di dekat kita, mengamati Indonesia & masyarakatnya dari dekat, sebagai sebuah anugrah Tuhan yang luar biasa.

(ngedit dari 100th ke 80th)
bersambung ya'e

Read More......

Wednesday, November 5, 2008

kabut awal november


itu kabut awal november
yang dibawa angin lembah burangrang
atau kondensasi nafas pepohonan pegunungan sunda
itu juga danau situ lembang
yang dulu pernah kupikir kami tidak akan bertemu lagi
tapi kemauan menemukan jalannya yang pernah mustahil
beberapa orang telah beruntung menemuinya
berarti juga beberapa yang lain beruntung tidak menemuinya
itu semua saksi mata soal manusia-manusia yang menemui ujian-ujiannya
melewati dengan nyata batas manusia, sebagian tidak mampu melewatinya
bukan soal uang atau materi, tapi konon soal kehormatan
ragu-ragu kembali sekarang juga
itu juga hujan bulan november
yang deras mengguyur tanah-tanahmu
ia membawa kesuburan dan sekaligus desak kesulitan yang cuma perlu dinikmati
tanah-tanah becek menempel menyelip di sol sepatu lars
di depannya lagi ada bunga mawar
warnanya ragu-ragu, tidak putih atau bener-benar merah
bahkan kali pertama mataku tertuju padanya-pun kupikir bunga rumput liar
ia cenderung merah jambu, dan keraguan-raguannya adalah keindahan
dan sejak pertama ia telah bertualang

ia tidak tumbuh di pekarangan rumah mewah yang dipagar tinggi
ia tidak tumbuh di pameran tanaman
ia tumbuh dari siraman hujan dan embun dari alam raya
mungkin dulu seorang iseng "membuangnya" kesana
jauh dari habitat yang "seharusnya"
tapi begitu, dia tumbuh subur, di musim hujan november ini
dan mungkin meranggas pada musim kering nanti
atau malah berkembang sepanjang masa karena adaptasinya?
menilik batang-batang dan duri-durinya yang kokoh menyebar
dia menyimpan genetik yang tangguh dan ulet, jauh di atas kesadarannya
itu tunggul-tunggul kayu, sisa penebangan yang timbul tenggelam tertutup air danau
di seberangnya yang jauh di sisi sana, aku masih ingat sungai cimahi
yang jernih menyediakan sumber air bagi makhluk yang "tersesat"
di kanan kirinya batang-batang kayu yang tertutup lumut
penanda arah matahari terbit atau tenggelam
itu hujan awal november
seperti juga hujan yang menahan seorang gadis yang pulang sekolah
seperti yang ditunggu anak-anak kecil yang akan main bola
seperti yang ditunggu petani yg sudah mulai menghitung kerugian dari sewa pompa air para juragan
seperti yang ditunggu orang gila yang membayangkan hujan sebagai suatu sumber kekuatan yang magis
itu kabut awal november
yang kutunggu momen terbaiknya, setidaknya menurutku
mula-mula ia tipis menutup ujung-ujung punggungan
hampir-hampir menyentuh permukaan air danau
lalu beberapa saat berikutnya bersama hujan ia melengkapi misteri hutan tropis
yang kemudian ia coba kita abadikan di hadapan mata kita
meski sebenarnya dia sudah tersimpan lama di hati dengan gambaran yang jauh lebih indah



Read More......

Saturday, November 1, 2008

menandai daerah kekuasaan


seperti sudah menjadi galibnya dunia hewan
adanya suatu wilayah yg dianggap menjadi teritorial hidupnya
dikaitkan dengan sumber-sumber daya yg hendak & atau telah dimilikinya
atau tidak tepat begitu sebenarnya
tepatnya soal pertemuan kembali dari mahluk-mahluk tuhan
menghirup kopi, menyalakan sebatang rokok dan berdiskusi
menahan udara dingin yg menembus sleeping bag
menahan dingin air yang pernah tembus juga ke celana dalam
dinginnya kupikir sudah berubah, tidak setangguh & selekat dulu
tapi rupanya aku yang salah, aku terlampau berpersepsi sebaliknya bahwa kamu telah berubah


hari-hari berikutnya cintanya yang dingin & lekat sampai ke tulang sungsum
membangunkan dari tidur dalam jeda yang sebentar sebentar, dingin menusuk
dalam beberapa hari segera kusadari cintamu masihlah sangat besar, tangguh, dingin dan lekat.
hari-hari di sini banyak hal yang sempat mengisi cakrawala pikiran
soal perjuangan menembus kemustahilan, soal nasib, soal wanita, soal harapan dan kenyataan, dan juga soal kesetiaan.
seperti yang dilakukan para hewan, kutandai titik2 yang pernah kudatangai di tanah air ini atau di dunia.
biar sederhana kuanggap menandai daerah kekuasaan.
kutandai di GPS, kutandai di kakus-kakusnya, kutandai dengan foto dan kutandai juga di sini.

situ lembang 1 Nov 2008, tulisan diselesaikan jam 02.28



Read More......

Thursday, October 23, 2008

kemumu argamakmur


Lha wong ini tidak ada sketsanya.
Muncul tiba-tiba karena berita kawan.
Mengapa tidak coba ke sana?
Sekian kilometer dari pusat kota argamakmur.
Tepatnya baca saja di peta bakosurtanal.
Tentu tidak ada di atlas persada dan dunia.
Atau baca lagi trek dan koordinatnya di GPS.
Sudah kuplot waypointnya, gambar pohon cemara.
Tidak susah menemukannya.
Hanya perlu ada bagi-bagi tugas.
Antara ngegas dan bagian kompas cocot.
Jalanan menanjak halus menuju daerah kemumu.
Yang akan ngos-ngosan kalo nyepeda onthel.
Di kanan kirinya sawah menguning.
Seperti tanjakan dari jl rajawali condongcatur sleman ngalor.
Agak jauh ke sana bukit2 yang hujau kebiru-biruan.
Di sawah ada rumah gubuk, pohon pisang, sapi dan tentu pak tani.
Persis dengan ingatan kita semasa kecil.
Yang suatu pagi pernah kita gambar di kertas manila.
Apakah kamu pernah ngopi atau wedangan di gubuk-gubuk seperti itu?
Di sana ada kesederhanaan, harapan hidup, dan juga nasib.
Tempat parkir sepi, tapi datang juga pasangan-pasangan muda mudi.
Seperti kisah cintanya dian dan bambang.


Yang coba diabadikan pelakunya di pagar deket karcis retribusi.
Lalu suara-suara alam mulai terdengar jelas.
Ada yang mirip garengpung, ada ulat bulu, kadal dan ada yang lain.
Serangga, burung2an dan mamalia.
Orientasi medan, banyak pohon-pohon besar.
Ada pakis ekor monyet, ada pohon besar dipanjat pohon menjalar.
Ciri khas hutan primer, kata buku IPA dulu.


Lalu deburan suara air terjun palak siring, mbuh artine opo.
Air sungai yang meluncur deras dari hulunya sungai yang kuyakini mata airnya di lembah curam bukitmu di arah atas sana.
Harapku sungai itu terus ada, yang artinya pohon2mu di bukit2 itu belum jadi mebel rumah-rumah mewah berselera tinggi atau papan2 rumah petani yang mulai tidak dapat bertani.


Sehingga air terjun yang gagah, meski tidak sebesar airterjun tawangmangu, persis di bawahnya jembatan belanda itu juga terus ada.
Mengisi jalur2 irigasi yang dibangun dengan rodi.
Mengairi sawah-sawah yang membentuk gradasi.
Aku bersyukur, kutemui juga alam yang masih seimbang di sebuah sudutnya Bengkulu.
Ia asing di telinga, tapi harmoni-nya sperti pernah kujumpai di lombok, jogja, kepulauan riau, bangka belitung atau jawa barat. Deja vu.
Hujan pagi ini saat kulongok dari jendela ketika kutulis kembali ingatan padamu.






Read More......

Tuesday, October 21, 2008

Bicara Pantai Bengkulu

Belum ke Bengkulu kalau belum ke pantainya, Bengkulu sebagai propinsi memiliki pantai yang memanjang dari Selatan ke Utara. Boleh juga disebut sebaliknya. Konon batas selatannya dari simpul2 Bintuhan-Manna-Bengkulu kota, masih kusebut konon, karena segmen itu belumlah diberi kesempatan oleh yang maha kuasa buat menjelajahinya. Lalu simpul-simpul utaranya Bengkulu kota-Lais-Ketahun-Ipuh-Muko2. Hampir 90%nya perjalanan segmen tersebut adalah perjalanan penyusuran pantai baratnya Sumatra. Dapat ditebak gambaran yang indah itu, jalan raya, pohon2, tiang2 listrik, mobil dari arah berlawanan, rumput2 tinggi di sisi sebelah dan pantai yang menghadap samudra luas di sisi yang satunya.
Demikian juga kalo kita zoom Bengkulu kota. Dari tengah kota, harum bayu & belaian angin laut sudah terasa. Tidak banyak kota yang menghadap samudra lepas seperti Bengkulu ini. Menghadap Samudra Hindia. Wajar bila kemudian dapat dilihat sampai dengan sekarang, benda2 saksi mata datangnya penjelajah-penjelajah samudra seperti Londo Inggris & Londo Belanda yang konon kemudian karena sebuah perjanjian perdagangan terjadi tukar menukar, antara Bengkulu & Singapore. Dan kemudian pendatang yang lain tentu etnis China.
Ke arah utara Pelabuhan Lama kita temui Pantai Panjang. Hamparan pasir putihnya khas, butiran-butiran pasir putihnya kecil-kecil atau halus kecoklatan, pertanda bahwa proses yang alam yang terjadi di sana sudah sangat purba. Dasarnya cuma membandingkan karakteristik pasir putih kecoklatan di Pantai Panjang ini dengan butiran-butiran pasir putih yang juga di beberapa tempat ditemui di pantai-pantai selatan Jawa yang juga menghadap ke samudra lepas, yang butirannya cenderung kasar, proses alam yang "masih muda", seperti di sepanjang pantai Wonosari Gunung Kidul DIY mulai dari Baron-Krakal-Kukup-SUndak-Siung-WediOmbo-Sadeng. Atau beberapa ditemui diantara pantai-pantai Jawa Barat mulai Karang Nini-Pengandaran-Cipatujah-Leuweung Santjang-Cibaluk-Cijeruk-Pameungpeuk.
Ombak yang besar yang seharusnya muncul sebagai konsekuensi dari pantai samudra, tidak kita temui di Pantai Panjang ini. Hal ini terjadi karena Bengkulu merupakan semacam teluk, sehingga pantainya terlindungi oleh sebuah daratan atau semenanjung yang menjorok ke laut. Vegetasi di Pantai Panjang ini cukup unik, bukan pohon kelapa seperti biasanya, tetapi pohon2 cemara, yang belum dapat kami temukan awal-mula kejadiannya. Lebih ke depan pantai semak-semak liar dan bunga-bunga rumput lazim ditemui di pejajahan lain di Indonesia ini. Ombak pantai yang kecil bersahabat yang didorong angin laut lepas yang kadang nakal dan kadang berwibawa. Adakalanya dia datang menghembuskan udara ke otak kita yang menstimulir ingatan soal sejarah masa lalu manusia dan daerahnya, adakalanya dia menstilulir kesyukuran atas perjalanan-penjelajahan yang telah dilalui saksi mata atas tanah air Indonesia, adakalanya dia akan menstimulir ingatan soal keindahan wanita dan momen2 yang terhubung dengannya.
Lalu langkahmu ke utara akan membentur kokohnya Fort Marlborough. Dengan posisi yang sangat strategis, meriam dan lubang2 pengintaiannya juga menghadap langsung ke lautan lepas. Dan di gerbang tertuliskan memori pendudukan masa lalu yang terpahat di pintu baja. Dan tentu di sana ada kamar serdadu, gudang mesiu dan penjara. Sebelah kirinya benteng ada Pecinan, melihat tata letak dan aristektur bangunannya, sepertinya gelombang manusia itu datang bersama armada kapal-kapal Inggris atau Belanda. Itu jalan Tengiri, dan disana ada pasar, di depan pojoknya pasar ada warung makan, meski lebih mirip ke Warung Padang tapi aku anggap saja warung Bengkulu. Ikan laut bakar bumbu kuning, sambel tempoyak dgn udang & pete, oseng terong campur jengkol, sambel ijo. Dan jangan lupa segelas kopi, dari biji2 kopi terbaik di tanah air.
Balik lagi ke Benteng, utara Benteng ada Tapak Padri. Dua buah arah pembicaraan memecahkan perhatianku, satu arah bicara soal sejarah Tapak Padri ini, satu arah bicara soal Wanita. Hal yang kedua lebih menarik perhatianku, sehingga penjelasan kawan penunjuk jalan cuma lalu saja di telinga.
Sore hari yang lain duduk di pantai utaranya Tapak Padri, di dekatnya perahu-perahu nelayan, menunggu sunset. Rupanya keberuntungan momen hari itu belum berpihak ke kami. Sunset yang kami tunggu tertutup mendung yang pekat. Hanya sekali saja ia mengintip di sela awan, itupun cuma 4-5 detik. Penghiburanku sore itu memperhatikan anak-anak nelayan yang bermain bola di pantai pasir itu. Lebar lapangan cuma dibatasi perahu nelayan, beton penahan ombak, gawang dari dua kayu ditancapkan dan diberi bendera, serta lidah gelombang yang dinamis maju mundur. Keceriaan anak-anak, yang bebas dari politik dan politisasi. Keceriaan yang polos & indah, yang sepertinya akan berubah seiring dengan kontaminasi gemerlapnya trend dan gaya hidup yang dipajang di etalase TV-TV. Lalu mulailah muncul kebutuhan HP, tidak cukup dengan surat-suratan. Akan muncul kebutuhan sepeda motor, tidak nikmat lagi sepeda onthel atau jalan kaki. Bapaknya yang sedang tidak melaut akan mulai diminta memutar otak buat beli voucer telpon genggam.Ya, itu proses kebudayaan yang tak juga kuasa kita lawan karena mayoritas kita tanpa sengaja mendukungnya. Setidaknya sore itu, meski satu dua orang menjadi tidak polos lagi krn pengin difoto, kegembiraan anak-anak itu benar murni dan lingkungan yang ada masih sanggup untuk mencukupinya.
Sore itu, andai saja matahari menjelang sunset bersinar terang, karakter aktifitas sore itu akan makin hidup & terpancar kuat. Apa boleh buat? Lalu kepikir juga, andaikan ada keindahan bunga rumput, keindahan sunset & barangkali kehindahan wanita. Mestinya sore itu menjadi momen yang terbaik, diantara momen2 terbaik yang pernah ada di dalam hidup kita.

nulise dicical cicil selagi mood




Read More......

Thursday, October 16, 2008

Mengapa mengembara

Setiap orang yang mengalami pengembaraan akan memiliki alasan-alasan awal tersendiri. Di samping itu, apa yang diperolehnya pun, akan berbeda buat masing-masing individu.
Mengembara berarti menjadi saksi mata.
Pulang perjalanan dari Bengkulu, sebuah berita koran menarik pandanganku.


Le Clezio, seorang pengembara Perancis, memperoleh hadiah Nobel Sastra.

...
"He's a gentle writer," says his biographer, Jennifer Waelti-Walters. "He never became one of those trendy French writers that the French all read, but [he was] always present in the literary mileau."
...
For Le Clezio, storytelling means melting into the background. In an interview on the Nobel Web site, he says, "A writer is not a prophet, is not a philosopher, he's just someone who is witness to what is around him."

Meski belum pernah membaca satu pun tulisannya, tapi auranya dapat mempengaruhi jiwa kita.






Read More......

Monday, October 13, 2008

Sunduk mentul


Nining Konyik adik saya yang mula sekali menyebutnya,
demikian dan terdengar di telingaku : sunduk mentul.
Mungkin buat menamainya yang mentul-mentul bila ditiup angin.
Rupanya memang demikian namanya, menurut boso jowo pada umumnya.
Saya dulu sempat berpikir bahwa itu bukan nama sebenarnya dari kembang rumput itu, tapi nama itu muncul karena asal sebutnya seorang kanak-kanak.
Akhirnya kami tahu bahwa rupanya memang karena pakem guru di kelas yang sempat menyebut demikian dan lalu dari pergaulan anak-anak dalam sebuah acara kartinian, saat seorang macak kebayak dengan sanggul konde palsu.
Dan di sanggul tadi akan tampak sunduk mentul, yang tentu buatan.
Tidak seperti bunga mawar, melati atau euphorbia yang memilih media atau jenis tanah tertentu buat tumbuh.
Sunduk mentul tumbuh liar dimana-mana, sampai suatu hari pandangan mata kita dapat terbentur olehnya,
yang mungkin sebelumnya kita anggap tidak penting.
Tapi konon Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu tanpa guna.
Sunduk mentul tumbuh subur dimana-mana.
Ia tumbuh di rel kereta api depan rumah kami di Semarang.
Ia tumbuh di sela-sela lantai beton carport di belakang kantor Kentungan Jogja.
Ia tumbuh di halaman gudang Prambanan.
Ia tumbuh di pantai2 antara Koba & Tobolali Bangka.
Ia tumbuh di halaman sebuah hotel yang menghadap Tanjung Tinggi Belitung.
Ia tumbuh di dasar-dasar tebing di Padalarang.
Rupa-rupanya ia juga tertangkap mataku di Pantai Panjang Bengkulu.
Mungkin ia juga tumbuh di Madagaskar.
Mungkin ia juga tumbuh di Sangir Talaut.
Mungkin ia juga tumbuh di Christmas Island.
Entahlah, mungkin ia tumbuh2 dimana2 di sana di daerah tropis, lha wong belum pernah ke sana.
Keberadaannya bisa jadi tidak penting bagi kita sampai kita menanggapinya.
Mengada-adakan maknanya, atau sekedar kawan menumpahkan kekawatiran.
Apakah ia hanya penting bagi juru potret amatiran buat belajar?
Tidak juga, banyak hal yang dapat diceritakannya.
Apakah soal bagaimana sebuah mahluk bertahan hidup di dalam derap hidup dan lingkungan yang kompleks.
Apakah soal relativitas soal penting dan tidak penting.
Apakah soal buat mengabarkan keadaan yang murah & indah.
Apakah soal minat melihat detail2 alam dan masyarakatnya dari dekat.
Atau apakah mewakili cinta yg manis dan tangguh, yang tetap dapat tumbuh liar mekar, di sela2 bantalan rel KA maupun di sebuah pantai yang indah permai.
Atau apakah soal mendudukkannya sebagai saksi sebuah peristiwa, siklus hidup tumbuhnya manusia termasuk kisah kasih yang rumit atau pertemuan & perpisahan.
Sunduk mentul yang "remeh" itu makin mewakili keberhasilan sebuah mahluk menjalani pergolakan hidupnya, minimal sepanjang umur dari kanak-kanak hingga saat ini dia telah tersebar luas tidak menuju kepunahan atau tidak menuju kehilangan.
Setiap mahluk seperti sunduk mentul ini akan kita hubungkan dengan sebuah peristiwa, di belahan bumi yang lain mungkin bunga matahari (i gilasori-ita, sunflower-eng), yang juga mengingatkan manusia atas peristiwa yang berbeda.

ditulis semalem, diupload disaat mengistirahatkan pikiran di rapat

Read More......

Monday, October 6, 2008

THR

Hari raya kemarin seperti juga tahun-tahun sebelumnya.
Diwarnai aktifitas nukar uang ke pecahan lima ribuan, sampai lima puluh ribuan. Dengan berbagai istilah mulai angpau, sangu, buat beli es, buat beli permen, buat beli bensin, buat jajan, (meski tidak tidak dapat dilarang juga bila buat beli mercon atau kembang api), dan jarang juga kita bilang buat ditabung. Dari mulai tamu2anak2 kecil keponakan, famili, dan seterusnya sesuai "kelompok umur" & jauh dekatnya di sisi jarak dan kedekatan emosional, semacam sering tidaknya kontak.
Sebagian anak2 kecil tersebut rupanya juga mengenal istilah THR yg tentu mereka belum tentu tahu singkatan dan artinya adalah Tunjangan Hari Raya, yang biasa ditemukan di dunia kerja atau industrial, berupa tambahan pendapatan/insentif untuk pegawai negeri atau swasta, karyawan perusahaan, buruh pabrik dan lain sebagainya.
Tidak terkecuali Niven. Sejak keinginannya minta telor naga atau telor dino tempo hari dapat kami persuasi dengan argumen2, -"coba gimana kalo belinya pake uang kakak sendiri, nanti lebaran kakak dapet dari wak Doni sekian, dari nenek sekian, nanti kalo kurang, ditambahin dr papa atau mama."- Sejak itu dia selalu bersemangat nagih "THR" ke uwaknya & ke neneknya.
Sampai kemudian "pesta" lebaran mulai usai dan famili2/saudara2 kembali ke habitat masing2. Dan Niven mulai menghitung total THR-nya. 65 ribu rupiah, setelah 13 ribu sebelumnya terkurangi buat beli mainan pistol. Kalau telor naga itu 99 ribu, maka masih ada kekurangan 34 ribu, kalau Batman yg pakai sayap pasangan kurang 55 ribu, lalu kalau jenis yang lebih bagus masih kurang 135 ribu.
Dalam momen ini kami ingin menguji-nya, sebagai seorang anak yang mulai tumbuh agak gedhe, tepat 7 tahun pada 6 Oktober ini yang memang tidak pernah dirayakan, kelas 2 SD dan sebentar lagi bisa jadi masanya tiba, dimana ber-akrab2 dengan teman-temannya lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan ber-akrab2 dengan keluarganya.
Kurang manusiawi juga kalo kami tidak memberikan "gambaran2 jalan keluarnya", beberapa diantaranya :
1. Ngapalin kurang2an bilangan <= 10, dgn cepat, tanpa mikir dulu, gak pake: nganu, berapa ya? apa? bila sdh cepat dapet 10 rebu
2. Mijitin papa, 15 menit 5 rebu
3. Ngerjakan soal kurang2an gunggung sungsun, 5 soal ringan, semua 10 ribu lagi
4. Mau sering dapet tambahan, sering2lah menawarkan diri mijitin papa

Kemudian juga, untuk "memperbuas" keterlibatan si Rakhekniven ini sebagai obyek yg diuji, terpaksa buka2 lembaran masa lalu. Cerita padanya soal kemiskinan saat kuliah dulu, krn kiriman jelas pasti kurang, ditambah keinginan yang sudah banyak buat nongkrong, ngopi, sekali-sekali beli rokok, akhirnya sempat nyuci mobil angkot-nya tetangga kos, buat ndapetin 1000 rupiah di tahun 95an, setara dengan sekali makan. Sebagai pendapatan lain-lain selain ngutang, yang beberapa diantaranya baru terbayar beberapa tahun kemudian.
Saya teringat tulisan seorang kawan saya :
Saya pikir penting untuk membentuk budaya, entah di organisasi atau di dalam keluarga sekalipun, dimana menciptakan kondisi sedemikian rupa orang-orang yang ada di dalamnya di bawah tekanan (agak). Berikan perlakuan pada sisi psikologisnya dengan memberikan sedikit rasa takut, agak cemas akan kekurangan dan kehilangan alias untuk menghindarkan mereka dari zona nyaman. Karena pada prinsipnya, setiap orang tidak enak dalam situasi demikian, sehingga ia akan berusaha untuk mencari cara untuk memperoleh keseimbangan yang baru.
Ya, pelan-pelan saya sadari juga, bahwa saya mulai "memperlakukan" orang lain dengan standard-standard saya. Dengan hal itu saya berharap, dia "menyepakati" sebuah konsep hidup, diantara berbagai konsep yang telah dan akan ada. Yaitu soal usaha atau perjuangan mencapai keinginan. Setidaknya hari ini, baru konsep itu yang dapat kami berikan dan tawarkan, memang semua ini tentu dipengaruhi bagaimana riwayat dulu mendapatkan pandangan hidup atau filosofi hidup yang kemudian menjadi panduan dalam menghadapi berbagai lika-liku sebagai manusia. Ditambah polesan dari self learning manusia dalam beradaptasi & belajar, trial & error, mengevaluasi rencana dan pencapaian, atau interaksi dengan lingkungan, buku, alam raya, manuasia-manusianya. Semua-nya mestinya selalu dinamis, benar salah tepat dan tidaknya, waktu juga nanti yang kelak memberikan beritanya.

Read More......

Friday, October 3, 2008

Nota bene: Aku Kangen

Oleh : W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi







Read More......

Monday, September 29, 2008

Zaman sudah berubah

Dulu di pojok sana ada grapari telkomsel
Memang kemudian transisi jadi semacem showroom.
Tapi bila malam kita tahu keadaan berubah.
Lepas isak biasanya kita "dinner" di sana.
Sempat kucocokkan di laci2 otak dan kenyataan,
mobil pengangkut dari "warung dalam" ke "warung luar"
masih juga kijang kaplet itu.
Ibu yang tuannya warung masih awet wajahnya.
Dulu, rasanya untuk parkir motor tersedia tempat khusus,
di dekat got itu. Lalu tikar2 digelar sampai depan showroom itu.
Lalu juga di sebelah "dapur lapangan" sebelahnya gerobak makanan.
Kalo masih kebagian, kita memilih yang di depan showroom,
posisi yang lebih tinggi dan setrategis.
Berbondong-bondong kita berenam bertujuh,
jalan dari warnet yang belum pernah untung itu.
Membuka lingkaran manusia dan forum diskusi.
"Kebijakan2 negara" keluar mengalir dari perdebatan kita.
Sambil menunggu telor dadar, tempe atau bakwan yg dipanasi.
Untuk menemani nasi sayur lodeh terong.
Menu yang sederhana, tapi itu sudah cukup.
Untuk selera lidah dan selera kantong yang memang tidak tinggi.
Tapi malam itu tidak seperti 4-5 tahun yang lalu.
Ketika kita di ujungnya 2008.
Tepat di ujungnya jalan, ditengahnya jalan Kaliurang.
sda baliho besar warna biru operator seluler.
Dan warung pojok itu demikian sepi, bila ingat masa lalu itu.
Sampai-sampai timbul raguku soal orientasi medan dan koordinat.
Niatan membawa ke situasi gelombang pikiran yang sama pun terbentur kenyataan.
Rupanya osilator pembangkit frekuensi gelombang itu pun sudah berubah, tidak seperti bayangan di otakku lagi, 5 tahun yang lewat.
Besoknya dalam perkiraan waktu yg tepat, saya lewat tempat itu lagi, dan sepi masih menyelimutinya.
"Halo Jat, kowe sik neng Kupang? kowe kelingan neng Jogja, warung bu'e sing nggon pojok cedak mesjid mujahidin kae ra? Saiki kok sepi banget"
"Nganu Ndan, mungkin mergo saiki cah-cah kuliah lagi do preinan" Moga-moga.

Tapi kawan saya yang sedang di Jogja punya pembacaan lain.
Sejak kampus menjadi badan usaha, seperti juga warung, toko, mall atau bank plecit.
Anak-anak dari keluarga mampu-lah yang "boleh" sekolah.
Untuk menjamin lulusan yang sesuai setandar internasional.
Maka input pun harus jelas, siapa2 yang dapat menopang roda "administrasi" laboratorium atau perpustakaan, karena itu semua perlu biaya.
Dan kita sudah tidak di zaman "cah pinter" boleh mokondo.
Kalo sudah mampu nyumbang biaya sekolah yang demikian besar.
Sudah tidak usum lagi style kere, yg semampunya & nyari murah itu.
Mungkin itu sebabnya, beberapa cafe & warung setik di ring 3 ring 4 UGM selalu ramai dikunjungi, oleh mahasiswa juga.
Dan warung-warung makan murahan, sudah tidak terlalu diminati.
Zaman sudah berubah.
Dan dalam hati muncul juga sebuah rasa kawatir.
Kalau seleraku juga mulai berubah "tinggi".
Sudah tidak nikmat lagi "madang" di warung2 sembarangan.
Sudah tidak nikmat lagi ngopi di warung pinggir jalan.
Sudah tidak menarik lagi bicara realitas kehidupan jalan2 desa.
Dan lidah membiasakan diri dengan koki resto atau hotel.
Karena zaman memang sudah berubah dan musim telah berganti.
Dan lalu kita merenungi itu dalam nikmat segelas kopi,
di sebuah cafe yang berkelas, merasakan encok dan mengenang nostalgia.

Read More......

Thursday, September 25, 2008

Kelingan Pa'e

Sore beberapa saat lalu, belanja di sebuah toko londo.
Ngajak niven sama kukhri, lewatlah konter mainan.
Kukhri minta senapan mainan yg diisi batu batre.
Nanti bisa bunyi suara tembakan & lampu2nya nyala2.
Mainan yang sudah sering dibeli & tentu juga cepat bosan & rusak, anak-anak.
Niven beda lagi, minta telor naga atau telor dino, seperti iklan di tivi.
Memang belum pernah dibelikan yang seperti itu.
Kedua makhluk ini kami pesuasi, ini itu.
Reaksi keduanya juga berbeda2, ada marah2 atau kecewa,
dan lalu minta ganti yg lain atau minta beliin kapan2.
Bukan masalah harga tentunya.
Lebih soal tanda tanya, benarkah yg sudah kami lakukan?
Benarkah untuk selalu mewujudkan sebuah permintaan mereka "real time"? Seperti apa tolok ukur jarak antar atau masa pakai mainan "dianggap tepat"? Dipakai selama 1, 2, 3 hari atau seminggu atau? Bahasa terangnya, apakah tepat bila kita selalu belikan/turuti apa yang dia minta?
Harus seperti apakah pengaturan atau penjadwalan,
atau jenis prmintaan apa yg perlu/tidak dipenuhi?
Naluri orang tua tentu ingin selalu menyenangkan anaknya.
Saya inget, ketika suatu hari saya minta dibelikan robot2an.
Hampir tiap hari saya merengek terus, sampai mungkin Pa'e menyerah, dan saya diajak ke toko mainan, dan saya digiring untuk beli piring terbang, bukan robot2an. Entahlah, mungkin soal pertimbangan harga. Hari itu setidaknya terpuaskan, dapat mainan baru. Satu dua hari kemudian, ingatan robot muncul lagi,
rupanya memang tidak tergantikan piring terbang UFO.
Saya merengek kembali.
Saya inget sekali, sampai beberapa hari, setiap Pa'e pulang,
selalu saya tanyakan "janji" beliau buat beliin robot2an.
Beberapa hari kemudian, setelah penantian yang panjang,
saat Pa'e pulang kerja, sesuatu tercantol dilampu sen motor honda benly S110-nya, sebuah kantong kresek, berisi robot2an biru metalik datang.
Saya senang sekali.
Permintaan "serius" ini memaksanya memutar otak untuk mewujudkan keinginan anaknya.
Tapi beberapa waktu kemudian yg sangat singkat, salah satu tangan atau kakinya si robot patah.
Beberapa puluh tahun kemudian saya masih inget fragmen itu.
Ya, Pa'e yg "cuma" pegawai negeri "rendahan", sepertinya berjuang sekuat tenaga memenuhi permintaan saya, salah satu dari sekian permintaan anak2nya dan tuntutan hidup kala itu.
Mungkin juga Pa'e sempat kecewa atau sedih, ketika mainan baruku itu patah dalam waktu singkat, tidak sebanding dengan proses panjang perwujudannya dan perjuangan beratnya. Entahlah.
Dan hari ini masih saja kami bertanya-tanya, seperti apakah seharusnya. Apa resiko atau dampaknya kelak?
Dengan dendam kemiskinan masa lalu yang tanpa sadar mempengaruhiku,
dan kekagumanku yg cukup terlambat buat Pa'e.

vocabulary :
kelingan pa'e = inget bapak

Read More......

Thursday, September 18, 2008

naik kereta api

rumah persis di pinggir rel kereta api dan jarak cuma sekitar 2 km dari stasiun poncol rupanya mengakrabkan kami dengan sosok yg dinamai kereta api.
sejak kecil kami berinteraksi dengan berbagai cara,
memasang paku buat dilindas roda2 kereta, dan lalu dibuat pisau yg tidak tajam, melempari kereta barang yang lewat dengan batu,
menempelkan telinga di rel kereta buat mendengarkan suara-suara,
atau cuma melatih keseimbangan dengan jalan di atas rel.
sampai suatu hari waktu masih ingusan, sekeluarga naik kereta dengan loko hitam, -yang setelah dewasa kutahu perjalan dari semarang ke ngawi-, tempat nenek, saya cuma ingat matahari pagi yang bulat nyata dan kereta yg terlalu sering berhenti. sampai saya sering mengumpat akan "menembak kondekturnya", kekesalan anak2.

lalu lepas SMA saya kuliah ke bandung. liburan adalah sesuatu yg sangat ditunggu-tunggu dan saya selalu menyukai menggunakan kereta api turun di jogja atau solo, menggelandang satu dua hari, baru kemudian pulang ke semarang. ada dua kereta yang paling membekas karena saking seringnya "berinteraksi".
badrasurya jurusan bandung surabaya pp dan kahuripan bandung kediri pp. sampai-sampai hapal dengan mas2 petugas resto KA ekonomi siang tersebut.
mengamati arus ekonomi mikro di atas kereta,
mengamati simbiosis antara rakyat & KA,
mengamati pemandangan berupa hamparan padi menguning di sawah,
mengamati petani atau anak-anak desa bersepeda ke sekolah,
mengamati kabut yg kadang masih mengintip di pinggiran hutan batas sawah,
mengamati jajaran perbukitan yang tak bernama,
mengamati jajara kebun tebu yg menyiman tragedi seputar 48 atau 65,
atau sesekali yang lain mencoba menerka-nerka, sekeras apakah rodi membangun bentangan rel yg sedang kami injak atau melubangi terowongan ijo,
dan tentunya sesekali mengamati mahluk manis yang "tersesat" tertangkap pandangan,
sambil ditemani segelas kopi khas restorasi KA ekonomi,
itu semua adalah pengalaman hidup yg "tiada tara".

kereta api yang kunaiki waktu itu selalu disebut "ekspres", meski di dalam hati selalu bertanya kolerasi ekspres dengan seringnya ngalah saat "kres" dan memberi jalan KA dengan kasta lebih tinggi buat lewat, ada argolawu, argo dwipangga, argo wilis dll, untuk membedakan dengan "argosabar", istilah Pak Bariman.
minggu lalu saya berkesempatan reuni lagi dengan kereta api meski "terpaksa" harus naik kereta non ekonomi, biasa disebut eksekutif. malam itu dari bandung ke yogyakarta, tentu tak lupa dengan ditemani segelas kopi.
film di kepala diputar lagi ke beberapa tahun yang lewat, ketika perjalanan dengan kereta api menjadi demikian mengesankan. sampai2 suatu saat saya pernah bercita-cita, akan melakukan perjalanan dgn KA ekonomi keliling jawa, bila telah lulus kuliah. Namun, cita2 tersebut belum pernah serius saya perjuangkan dan belum terwujud sampai hari, 10 tahun sejak pintu kelulusan.
Entahlah, bahkan saya selalu tidak jelas untuk berpendapat, apakah cita2 seperti itu menjadi tidak berarti buat diperjuangkan bila dibandingkan cita2 "serius" lainnya?
Ketika kita mulai mempunyai pakem soal manfaat & guna.

Read More......

Wednesday, September 17, 2008

lagu itu

Take my hand for a while
(Buffy Sainte-Marie)

Take my hand for a while, explain it to me once again
Just for the sake of my broken heart
Look into my eyes and maybe I will understand
How love I counted on was never there

You see, I thought that you might love me
So you caught me, it seems off balance with a heart that’s full
Of love and pretty dreams that two should share

And so, I know but please before you go
Take my hand for a while, explain it to me once again
Just for the sake of my broken heart


http://www.youtube.com/watch?v=HNLYTY2G1sw







Read More......

kawan lama

Bantar Caringin, 12 September, 01.30

12 bertemu kembali
12 tahun lalu kami berada di tempat ini
kalau ada SD SMP SMA, maka di sini SO
sebut saja begitu, sekolah dasar olahraga arus deras (arung jeram)
beberapa kilometer di depan sana, Rajamandala, SDPT
sebut saja begitu, sekolah dasar panjat tebing
segelas kopi, beberapa kerat martabak telor & martabak manis
saur di dapurnya wak ude
sayur capcay
sayur lodeh tempe, terong & ikan asin
kami percaya,
pengembaraan di gunung dan hutan rimba,
jurang-jurang yang dalam, tebing-tebing terjal,
bergulat dengan jeram-jeram di sungai,
akan memberikan pengaruh kepada bentuk karakter seseorang,
mengapa anak-anak yang tinggal di rumah tidak merasakan hidup yg seperti ini?

disalin dari komunikator lethek yg setia, ditulis saat di desa pinggirnya Citarum




Read More......

Monday, September 15, 2008

Ngapel


Untuk kesekian kalinya dalam kunjungan kenegaraan ke Yogyakarta.
Masih dapat menyisihkan waktu buat ngapel.
Tengah malam tadi, menjelang back home ke negeri andalas ini.
Tidak ada yang istimewa saat ngapel semalem itu.
Semuanya setandar seperti masa-masa yg lewat.
"Cuma" kenikmatan segelas teh melati gula batu
dan beberapa kerat jadah bakar.
Sesekali terdengar jenggleng2 kereta api dari arah setasiun tugu.
Tanda perpindahan manusia ke negeri timur atau negeri barat.
Ngapel Pak Man & Lik Min malam itu, saksimata Yogyakarta.

Dan di sebelahku seorang pemuda ngamen.
Sebuah lagu cah enom yang meluncur cukup sering kudengar,
tapi tanpa tahu apa itu.
Ku-request lagu2nya Bang Iwan Fals atau Mas Ebiet.
Sayang tak banyak perbendaharan, Ebiet nihil, Iwan cuma ada dua.
Belum ada judul? Gak apal liriknya.
Senja tugu pancoran? Gak tahu yang mana.
Memang aneh, biasanya dua itulah pakem pengamen jalanan.
Ya, sudah, terserah mau nyanyi apa kami dengarkan.
Kukeluarkan uang lima ribu rupiah, anggap saja satu lagu seribu.
Mase merespon dengan dua lagu lagi, lagu cah enom, Dewa 19
dan Ungu, yang reff-nya -maafkan aku, menduakan cintamu-.

Teh melati mulai dingin, maksud hati tentu ingin bertahan.
Tapi kalau umpama pesta, malam tadi harus berakhir.
Karena harus jaga kondisi, setelah beberapa malam dalam mode yang sama.
Agar angin malam tidak terus merongrong membawa mengguk di tenggorokan, katanya.
Dan hari ini adalah dunia nyata. Ketika dari sudut jendela, tampak merapi, merbabu dan lalu gunung sindoro & sumbing, lalu sepertinya di belakang sana gunung perahu, lalu lautan yang benar-benar biru. Beberapa detik kemudian awan-awan tipis yang tersebar luas menutup pemandangan. Bangun dari mimpi-mimpi.





Read More......

Monday, September 8, 2008

Pendidikan kelas dunia


Baca berita, konon 60.000 dari 120.000 dosen tidak layak. Lantaran banyak dosen yang masih S1. Padahal konon standard menjadi pengajar di PT harus memiliki ijazah magister (S2). Untuk menuju perguruan tinggi kelas dunia, dibutuhkan dosen berkualitas tinggi, kata seorang pejabat tinggi Dikti Depdiknas. Untuk itu semua dosen nanti harus menjalani sertifikasi, dan yang lulus akan mendapat tunjangan profesi, yang untuk dosen biasa berarti 3-3,5 juta. Mana-mana PT yang boleh melakukan sertifikasi pun sudah ada ketentuannya.
Kata sertifikasi membuat ingatan melayang saat masih jadi mahasiswa & PT tempat saya kuliah belum memperoleh "persamaan", dan tiap 6 bulan atau 1 tahun kami mesti menjalani "ujian negara" di Kopertis. Ujian yang mbayar sekaligus menjengkelkan itu. Ya, memilih PTS swasta di bawah sebuah instansi itu saya pilih, diantara pilihan lain dimana saya juga lolos seleksi- UMPTN di Undip & Sekolah Penerbang di Curug-, lebih karena orang tua cuma punya uang terbatas untuk membayar administrasi awal dan prospek ikatan dinas.
Ujian negara yang hampir dapat dianalogikan dengan ujian SIM (surat izin macem2) atau keur kendaraan bermotor, merupakan momok bagi mahasiswa PTS, minimal buat saya, bukan masalah sulitnya soal, tetapi lebih dari sistem penilaian yang tidak jelas. Mengapa kami katakan demikian? Pengalaman yang saya alami, ada satu atau dua mata kuliah dimana saya merasa "dapat" menjawab soal, tetapi nilai yang keluar tetap D atau E. Saya menempuh satu-dua kali ujian, sampai batas ketelatenan habis, lantas pada sebuah ujian berikutnya saya memilih menulis lirik "belum ada judulnya" Iwan Fals, dan, ajaib, saya lulus.
Lalu muncullah pertanyaan2, standard sertifikasi apakah sebenarnya yg menjadi acuan dalam pendidikan kita? Apakah juga mirip dengan ujian SIM yang kita bisa nembak, yang penting setelah itu dapat izin nyetir angkot atau mobil buat ngompreng secara legal?
Dan kemudian, bila sudah melewati sertifikasi-sertifikasi itu, apakah lantas memberikan jaminan perbaikan keadaan, menjadi kelas dunia. Dan bila kemudian dosen-dosen S1 kita telah bersertifikasi S2, maka anak didiknya akan menjadi kelas dunia? Semoga saja.
Saya berharap sekali agar alumni-alumni S1-nya kemudian akan menjadi change agent, yang membawa perubahan-perubahan progresif dan revolusioner di segala bidang. Bukan menciptakan generasi pengeluh yang cuma menyalahkan keadaan tanpa langkah nyata untuk mulai memperbaikinya, dalam hal yang paling sepele sekalipun. Yang mencetak anak-anak muda yang handal yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk membuat "kesempatan" dan bukan hanya menunggu kesempatan datang. Yang mentriger terbentuknya manusia-manusia sosial tanpa kehilangan jati dirinya di dalam kelompok, dan bukan manusia-manusia elite yang terhormat dan terus-menerus terkunggung oleh aroma ganja intelektualitas. Yang mengajak anak didiknya untuk sempat menengok sekeliling, lalu menyampaikan pesan berantai, bahwa semua kesuksesan itu dicapai bukan cuma lantaran kecakapannya dalam menguraikan teori-teori, menghapalkannya dan lalu membuat teori-teori baru, tetapi juga bahwa itu adalah hasil dari sebuah interaksi atau team work yang kadang tidak kasat mata dan terlalu rumit atau tidak menarik untuk diurai (yang tim tugasnya tim, yang work tugasnya work). Yaitu, kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20%, sebagian didapatkan dari restribusi mak-mak sayur di pasar tradisional, dari pa'e sol sepatu, restribusi warung kopi, utang luar negeri, atau pajak berganda ekonomi mikro lainnya. Dan, tidak harus mereka menerima kembali "manfaat" setorannya. Dan tentu, pendidikan kelas dunia, yang mampu membuat key person-nya mampu memutuskan, mana yang lebih penting antara membangun sekolah rusak di desa-desa atau di kota atau mensubsidi SPP pendidikan dasar dimana untuk mendapat keringanan saja dengan persyaratan yang demikian rumit itu, bila dibandingkan dengan akumulasi tunjangan buat dirinya. Dan lalu, tentu saja sertifikasi, yang efek dominonya menelorkan anak-anak muda dinamis, yang sanggup memberikan energinya yang serius untuk kedaulatan tanah airnya, alam dan lingkungannya, tanpa kehilangan sisi manusianya untuk sesekali berbicara soal cinta atau keindahan, dalam arti yang seluas-luasnya. Ya, bagi saya, yang penting adalah yang menggerakkan itu semua terwujud satu persatu, tidak penting lagi apakah dia berlatar belakang S1 atau telah S2 & lulus sertifikasi.

Bandung, 8 September, nunggu sahur

Read More......

Saturday, September 6, 2008

inspirated by

Hari ini kedatangan tamu, seorang kawan, kakak atau senior, yang sudah cukup lama "membeku" di rimba sumatra. Obrolan mengalir, diceritakannya soal politik karena melihat langsung euforia demokrasi yang eksesnya menyebalkan, lalu sosial, budaya, lalu konsep corporate social responsibility londo yang didapat dari tempatnya bekerja, harapan-harapannya, dampak-dampaknya.
Disampaikannya pendapat-pendapatnya soal pulau-pulau terluar Indonesia, soal listrik pedesaan, soal karakter sebagian manusia Indonesia menyikapi tender, soal garam & terigu kita yang benar2 disetir oleh londo Singapur. Lalu soal konsep pemuda tanggap bencana yg muncul dari interaksi dengan kementrian pemuda dan olahraga.
Banyak hal yang dapat saya dengarkan, dan banyak hal menginspirasi saya, mungkin makin banyak cita-cita & harapan dari persinggungan dengan orang seperti ini. Energinya dia, kalau berwarna oranye, akan bertemu energi oranye saya yang membuat energi itu makin besar.

Hari ini bertemu dengan seorang wartawan senior. Yang pernah di majalah yang sangat tersohor di orde Baru dan lalu dibredel, pernah jadi pengacara, dan saat ini menjadi senior di salah satu koran. Bila semula pembicaraan beralur formal, sebagai lazimnya pelayan & yang dilayani, lambat laun kami berbicara soal minat, perjalanan, harapan dan kenyataan kami masing-masing. Banyak hal yang dapat saya dengarkan & pikirkan. Dari soal menulis, idealisme, karir, hukum sampai soal ngopi. Kalau saya baru mempunyai cita2 soal menulis desa-desa & manusia nelayan di pantai-nya Sumatra, maka ibu ini sudah memotret kejadian-kejadian di sana sejak hampir 17 tahun yang lewat. Persinggungan dengannya menimbulkan energi dan harapan yang makin besar, untuk menyempatkan atau mencuri waktu & kesempatan, untuk melihat dan mengamati. Dan normal saja memang tidak cukup.

Memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan berbagai jenis manusia tentu sebuah anugerah Tuhan, kalau hal itu kemudian menggerakkan kita untuk mempunyai cita-cita atau harapan baru itu sebuah anugrah yang lain, dan kalau hal itu menggerakkan kita untuk memulai langkah-langkah, tentulah itu bonus yang tidak tentu didapat oleh semua orang.
Hari ini, kemarin, besok, atau lusa, kita telah dan mungkin akan bertemu orang-orang yang menarik perhatian. Ya, persinggungan dengan orang-orang tertentu menyalakan energi yang berbeda-beda. Dengan berbagai kemungkinan deretan warna.

Palembang, nunggu saur


Read More......

Tuesday, September 2, 2008

Foto2 bulan Agustus

Wahyu kemerdekaan

Bendera

Arahan Senior

Ramah Lingkungan

Abot Sanggane








Read More......

Monday, September 1, 2008

In the heart of Sumatra


Segelas kopi manis di Jambi,
bagian tanah air Indonesia yang sedemikian luas
konon dari Sabang sampai Merauke
ingat-ingat di buku rangkuman pengetahuan umum ketika SD dulu
konon ekonomi di sana menggeliat semenjak otonomi daerah,
dibandingkan waktu terpusat
tapi ekonomi seperti apakah
karena badak sumatra yang ada di taman nasional kerinci seblat
akhirnya dinyatakan punah koran hari ini
karena rupanya hutan primer sudah banyak berubah
jadi hutan sawit atau hutan produksi pabrik kertas
dan tentu suku anak rimba yang kita temui tempo hari
sudah "diperadabkan", karena dia sudah berbaju & bercelana
sebuah land rover long chasis tua melintas,
dengan sabar memikul beban sawit yang hampir overload
segelas kopi pahit di muara tebo,
apakah ini dipetik oleh para petani dari kaki-kaki G Kerinci?
suatu tempat yang masih menjadi imaginasi
tapi benarkah justru imaginasi lebih penting dari ilmu pengetahuan?

Segelas kopi pahit dan dua kerat gorengan di muara bungo,
jalan beraspal telah menghubungkannya dengan Sumbar dan Jambi
di kanan kiri jalan, hutan dan rawa-rawa
sesekali jalan akses yang entah menembus kemana, di jantungnya Sumatra
yang jelas dipisahkan lembah di depan kami tampak bukit gundul
ending sebuah proses pembukaan hutan yang "praktis & efisien"
dan di seberang yang satu lagi kebun sawit yang gemuk-gemuk
apakah kemajuan ekonomi harus sejalan dengan tingkat degradasi lingkungan?
lalu bau busuk menyengat, di sebelah kiri jalan bangkai babi hutan yang tertimpa sial
apakah investasi atau penanaman modal
harus didefinisikan berpindahnya kemakmuran dari isi hutan ke kota
titik segitiga hitam di GPS menunjukkan posisi

Segelas teh manis aroma panili di kota kecil Sarolangun
karakternya yang sedemikian kuat
dan ingatanku melayang ke teh aroma melati
di angkringan lor stasiun tugu Yogyakarta
dan malam tanpa bintang
sebuah pasar malam ramai dikunjungi pasangan muda mudi
kita berbincang-bincang dengan sebuah keluarga
makan malam dengan satu bagian kecil masyarakat Indonesia
Sebelum ini, pertigaan sebelumnya, Bangko,
arah jalan ke danau Kerinci,
tempat dihasilkannya daun-daun teh dan biji kopi terbaik,
karya tangan-tangan petani kita
yang cuma kita kenal statistiknya
lalu kita hapalkan bahwa negeri kita negeri agraris,
dan kita tidak pernah bertanya kepada guru-guru kita

Segelas kopi pahit di lubuk linggau
Sepiring lontong sayur dengan kuah santan & labu siam
Mengingat kembali waktu pagi-pagi di Jogjakarta,
menu makanan ini yang dulu sempat kucibir
Akhirnya kunikmati juga, di tengahnya Sumatra
sajian di sebuah warung pasangan transmigran asal Jawa

Aku bersyukur, menjadi orang yang beruntung
Melihat masyarakat Indonesia dari dekat, suka dan dukanya
Menghirup harum aroma hutan dan rawa-rawa yang ditimpa hujan
Melihat hijaunya sayuran di pasar tradisional
Melihat merahnya sisa daun yang terjilat panasnya api pembakaran hutan, hot spot katanya
Melihat warna-warni umbul-umbul demokrasi, yang terkaanku dihasilkan dari uang yang tidak sedikit, sebagai sebuah bukti "kemajuan" berpikir.
Melihat warna-warni antrean panjang kendaraan karena pom bensin telah kehabisan BBM.
Dan sekilas sebuah tayangan TV, rakyat di sebuah kota besar berjubel-jubel antre beras, supermi & minyak goreng gratis
Yang tidak mirip antrean panjang para penggemar fanatik musik di negri dongeng sana, yang setia menunggu sampai toko kasetnya buka

Dan lalu kuceritakan padamu.
Meski cuma ini dan dengan cara ini.
Happy Romadlon!

Read More......

Wednesday, August 27, 2008

Legend of the fall

Seorang Tristan kembali dari pengembaraannya ke tanah-tanah yang jauh di pelosok-pelosok dunia, untuk ayahnya sang kolonel Ludlow -yang sangat mencintainya, meskipun secara lahiriah banyak memberikan tekanan dan hal-hal yg tidak menyenangkan dari kaca mata normal- yg mengalami stroke saat anaknya pergi, dihadiahkannya kenang-kenangan suvenir dari pelosok-pelosok dunia.
Dan untuk kawan karib-pembantu ayahnya yang setia yang sekaligus gurunya, seorang American Indian, One Stab, dihadiahkannya sesuatu yang sangat spesial, kalung yang terbuat dari untaian taring babi hutan, kenang-kenangan dari prajurit Jawa! Ya, adegan yg terakhir itu membuat darah saya berdesir dan merinding. Meski sebagian kisah adalah fiksi.
Saya senang krn kemasyuran prajurit Jawa sempat menjadi perbincangan di dunia (de Graff, Runtuhnya Mataram), sambil menyadari di sisi lain adalah sebuah "ironi", mengapa pioneer-pioneer dalam sejarah dengan bukti-buktinya bukan dari ras sawo matang. Ras kita. Kita sebagai ras yang "dikunjungi", obyek, dari berbagai hal. Dan dalam dasawarsa ini mengapa ras-ras lain unggul & "menguasai dunia", putih, kuning. Mengapa mereka merajai olimpiade? Apakah cuma olahraga saja? Rupanya tidak, mereka juga merajai ekonomi, teknologi, hukum, kebudayaan, media dan lain-lain. Lalu mengapa seperti itu? Nasibkah? Garis tangan dari Tuhan? Jenis sel penyusun tubuh yang berbeda?
Apakah ini bukan mungkin karena sejarah budaya masa lalu mereka yang sangat kuat dengan keinginan tahuan & explorasi, lalu menuai buah-nya sampai hari ini? Petualangan baik di sisi mind maupun fisik. Penjelajahan, penaklukan, explorasi, penelitian dan pengembangan mereka yang terus berevolusi & berrevolusi dalam metoda & bentuk terus memanen hasilnya sampai hari-hari ini. Dan kita tentu tidak lupa, bahwa hampir selama 400 tahun kita memang mengakui supremasi ras putih dan kuning itu, atas ras kita. Kita cukup puas menjadi pasar produk-produk ekonomi, hukum, literatur, media dan budaya mereka. Kalau itu sebuah "default value", semoga itu tidak terus-menerus kita pertahankan, meski tanpa kita sengaja.
Dan saya, dengan segala subyektifitas sehingga menyimpulkan hal-hal di atas, lalu kadang secara naluri berusaha mempengaruhi siapa pun yang saya temui, karena saya berharap, racun atau protagonisnya =value yg saya rasakan akan tertularkan. Seperti iklan rokok marlboro beberapa tahun yang lalu, ketika seorang koboi tua sedang menghirup kopi dari cangkir logam dengan senyuman, sambil dia memperhatikan seorang koboi muda, -boleh jadi itu anaknya-, ketika si yang muda telah melewati ujian menjinakkan kuda liar, seperti yg pernah dilakukannya beberapa tahun yang lewat dan diajarkannya.

Read More......

Tuesday, August 26, 2008

Be Prepared?

Beberapa kali kami memperbincangkan soal "be prepared" ini. Sebenarnya lebih kepada suatu monolog, krn dalam perbincangan itu saya belum sempat menyampaikan soal be prepared dalam persepsi saya, yang tentunya sangat dipengaruhi hal-hal yang menjadi pendewasaan saya, dan tiap orang tentu berbeda-beda.
Ya sudahlah, hari ini baru berkesempatan saya menyampaikan pikiran saya soal itu. Dimana saya mengutip dari bukunya Scouting For Boys, Lord Badden Powell of Gilwell. Dalam terjemahan cetakan tahun2 70an yang saya baca waktu kuliah, dari perpustakaan Astacala, dijuduli "Memandu untuk Putra." Buku itu begitu mempengaruhi jiwa saya, tentu krn juga bertemu lingkungan sekitar tempat saya tumbuh yang kemudian menyatukan auranya.
Kalau kita artikan dalam terjemahan langsung para ahli bahasa landa inggris, maka akan diartikan sebagai bersiap-siap, mengantisipasi atau berjaga-jaga segala kemungkinan yang terjadi dll yang senada dengan itu. Tapi bagaimana menurut Bapak Pandu Dunia itu?
Be prepared juga diartikan sebagai "bersedia!" atau "siap sedia". Dalam salah satu kalimatnya kurang lebih begini : Seorang Pandu sejati dipandang oleh orang lain sebagai seorang yang dapat dipercaya & diandalkan, seorang yang tidak akan mengecewakan saat menjalankan kewajiban-kewajibannya seberapa pun besar resiko & bahayanya, seorang yang selalu riang & gembira seberapa pun besar kesukaran yang dihadapinya. Dalam kalimat yang lain, selalu siap sedia dalam tataran mental & fisik. Dan sang penulis buku, menuliskan apa-apa yang dirasakan & dialaminya dalam sepenggal perjalanan hidupnya.
Be prepared atau bersedia atau bersiap sedia dalam arti yang luas sebagaimana yang kami kutip dari jiwanya kepanduan (lawan kata arti di kamus) itu, dengan petualangan dan pengembaraan adalah sesuatu yang berjalan beriringan. Seorang yang menginginkan pengembaraan akan mempersiapkan dirinya, dan setelah itu melakukan pengembaraan.
Hal yang berbeda dengan memposisikan diri kita sebagai bersiap-siap, mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi, lalu berjaga-jaga dan selanjutnya kita berlindung di balik nyamannya cotton-wool (meminjam istilah Roosevelt), tanpa pernah muncul minat apalagi mengalami langsung penjelajahan atau petualangan.
Lalu bagaimana mencapai hal itu? "Mengembara, ke tempat yang jauh dari rumah, menemui tempat baru, adalah pengalaman yang gilang gemilang. Itu menambah kekuatan & keuletanmu, sehingga engkau tidak peduli dengan angin & hujan, panas dan dingin. Kamu terima itu semua ketika mereka datang, menyadari akan kesanggupanmu itu, yang membuatmu mampu menghadapi setiap kesukaran lama, dengan senyuman, dengan keyakinan bahwa pada akhirnya engkau akan menang."
Dan mengapa atau dengan tujuan apa mengembara? Bahkan Magellan dari Portugis atau Laksamana Zheng He, meskipun memperoleh perintah yang jelas rajanya untuk "mencari sumber rempah2" tidak pernah mendefinisikan itu sebagai tujuan pengembaraan, karena dalam hati mereka hanya ada keinginan yang kuat untuk menjelajahi dunia baru, dan lalu mungkin mengabarkan kepada dunia apa yang mereka jumpai, suka dan dukanya, meskipun diam-diam mereka menyadari bahwa tidak ada jaminan mereka akan kembali pulang. Entah karena sebuah kecelakaan, entah karena dimana pun berada adalah rumahnya.



Read More......