Monday, March 24, 2008

Tentang Kita

Bang, ingatkah pada saat sebelum Mike Tyson bertanding melawan Frank Bruno, lalu diperdengarkan lagu kebangsaan "Amerika Raya", semua kepala tegak meski lagu tersebut dinyanyikan vokalis cewek dengan gaya yang tidak formal, seperti hal yg tidak wajar karena dulu kita biasa diajarkan berdiri tegak saat menyanyikan Indonesia Raya. Tapi esensinya Bang, sampai hari ini bangsa Amerika yang 90% kita kiblati masih sempat berdiri tegak saat ini bila lagu tanah airnya dikumandangkan.
Tentu bukan masalah formal dan tidak formal, itu cuma soal citarasa asin atau manis, pedas atau gurih. Tentu juga bukan masalah lagu kebangsaan saja, yang sama-sama kita punyai. Masih susah kita mendefinisikan tentang kita saat ini. Lalu tiba-tiba kita sudah menjadi sosok yang sama sekali baru, bahkan lebih baru dari sosok yang selama ini kita jadikan kiblat yang selalu kita idolakan, bahkan yang aslipun kalah asli kalah persis.

Ingat tidak Bang saat sang idola digambarkan sebagai sang Winnetou pemburu praire yang masyur, maka di pinggang kita ada kantung Victorinox yang dikasih bulu burung elang yang kita dapatkan di puncak Tikukur. Ingat tidak waktu kita pikir bahwa dengan piawai main gitar atau gabung jadianak band maka cewek2 akan datang sendiri ngantri, lantas kita ramai-ramai main musik. Lalu saat demam AADC dan Soe Hok Gie, kita serbu itu toko-toko buku atau bioskop-bioskop, kita haru, menangis, geram atau bahkan tertawa-tawa lalu merasa tersadar perlu untuk menjadi bagian dari aktivis kayak Soe atau romantis tapi cuek kayak mas Rangga.
Yang mutakhir Bang, ibu-ibu di kantor dalam beberapa kesempatan menjadikan sebuah tulisan2 "orang sekantornya" sebagai buah bibir karena tak dinyana-nyana sastra memperoleh tempat, lalu memacu minat untuk belanja buku ini itu. Masih banyak lagi Bang, tergantung musim. Musim religiusitas, musim nasionalisme, musim cinta, musim marketing, atau musim managemen. Lalu dengan detail kita bisa terangkan SWOT, PDCA atau apalah, lalu semakin hari kita makin pandai bicara dengan bahasa para intelektual. Lalu kita lupa bahwa di sekitar kita ada bahasa buruh, tenaga lepas atau orang biasa. Lalu kita ramai-ramai berpikir bahwa dengan menempatkan diri di jajaran kasta intelek dan selalu berteriak soal hak asasi itulah kita kelak akan jadi pemimpin dari masyarakat yang makmur sejahtera. Ingat tidak Bang waktu kita ramai-ramai pikir bahwa harus salahkan keadaan A, atau kepemimpinan B, atau situasi C, setelah lama baru kita sadari ternyata mencetak komentator bola lebih mudah daripada mencetak sebuah tim yang juara. Ya, dalam intelektualisme (isme) kita memang juara.
Masih ingat taun 98 Bang? Ingat tidak idealisme yang ada di stensilan lalu dikopi banyak-banyak dan disebarkan sebagai selebaran-selebaran. Bang sepuluh tahun sejak hingar bingar 98 yang kita yakini benar saat itu, ingat tidak Bang kita lari menyelamatkan diri di gang sebelah kampus saat saling lempar batu sama aparat di tikungan yang berhadap-hadapan antara UNISBA dan UNPAS? Saat itu kita sama2 dengar dengung medan pertempuran yang dibawa ke jalan raya dihadapkan ke mahasiswa. Ingat tidak kita nongkrong di Posko ITB di sebrang Kebon Bibit. Sejak itu sudah banyak prestasi yang kita raih : beras sudah tembus angka 5000, minyak goreng telah tembus 16000, kedelai juara lompat tinggi, gorengan tempe sudah 10 kali harga waktu itu, anak-anak mudi kita pusarnya sudah turun (atau bajunya yg kekecilan), tidak jelas lagi apakah kita masih bisa juara Tomas Cup, tidak jelas lagi apakah kita masih bisa menang main bola lawan Thailand. Ibu-ibu dan remaja putri lebih pandai menceritakan kasus-kasus selebritis daripada apa2 yang sebenarnya dibutuhkan anak-anaknya atau lingkungannya. Kalo ada yang protes mengapa iklan2 yang tidak wajar ditonton anak-anak bisa ditayangkan bebas, lantas kita akan belokkan ke pro kontra UU Pornografi atau bahkan demokrasi. Dan kita makin ahli pakai bahasa yang susah-susah.
Dalam saat yang bersamaan kita meraih pengakuan internasional yang kita idam-idamkan, the most democratic country in the world, negara yang paling menghormati Hak Asasi Manusia & kebebasan media, bersamaan dengan peringkat negara terkorup yang tidak makin baik dan anggaran pendidikan yang juga tidak semakin besar. Bang coba tengok Bang biaya sekolah makin mahal, yang punya akses terhadap uang lebih saja yg mendapat hak memperoleh "pengajaran yang baik" yang rupa-rupanya juga bersinggungan dengan kapitalisasi dunia pendidikan. Ini fakta Bang bukan cerita, tapi entahlah bila masih akan berlanjut, karena kebodohan sebuah komoditas? Bang bukankah pendidikan bermutu yang murah juga sebuah wujud dari HAM disamping soal2 benang kusut lain yang sama-sama kita tahu yang juga menjadi komoditas politik? Bang, apakah kira-kira ini bukan sebuah skenario?
Ntar ntar Bang, SMS siapa ini Bang?

Read More......

Tuesday, March 11, 2008

Pengumuman PDW 2008

Pendidikan Dasar Wanadri 2008
Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri, kembali menyelenggarakan kegiatan penerimaan anggota baru. Kegiatan penerimaan tersebut diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Dasar Wanadri yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 Juli – 10 Agustus 2008.

Tempat Pendaftaran & Pusat Informasi Sekretariat Wanadri:
Bandung, Jl.Aceh No.155 Bandung 40114 Tlp/Fax (022) 4206440
Jakarta, Jl. Pahlawan No. 12 A Kalibata 12760 Telp/fax : (021) 791 84 012
e-mail: wanadri@centrin.net.id
info selengkapnya http://pdw.web.id

Read More......

Monday, March 10, 2008

Soal seni

Sajak Sebatang Lisong
WS Rendra
...........
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Aku pernah membaca, bahwa seorang staff sebuah perusahaan telekomunikasi "terkemuka" di tanah air telah terkagum-kagum kepada bosnya dalam suatu rentetan kekaguman, kekaguman dengan cara-cara pengambilan keputusan, pidato atau apapun, salah satunya lantaran sang bos adalah seorang pemain musik yang ulung, temtu dengan referensi bacaan2 yang mutachirlah lalu disimpulkannya bahwa inilah the real bos, seorang bos haruslah mempunyai "darah seni", dan inilah yang "menjadikannya" seorang bos yang "piawai".

Mengamati bahwa si perusahaan telekomunikasi yang "terkemuka" tersebut secara umum sedang sakit "panas dalam" atau "menderita penyakit dalam", entah akibat salah makan pola makan tidak sehat), salah obat, atau salah urat yang selama ini berlangsung berlarut-larut, sepertinya kekaguman-kekaguman yang muncul perlu dilirik lagi untuk dievaluasi.

Read More......

..... remain a mistery


Yang pertama kali perlu engkau ajarkan kepada anakmu adalah sejarah.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/30/0901.htm
> OPINI

Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit
Oleh BERSIHAR LUBIS

JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD)-- kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966 silam.

Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981, dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung. Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham. "Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik. Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengudeta kepemimpinan Presiden Soekarno, tetap kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto. Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara. Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu. Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. "Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya," kata Ilham. Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. "Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps," kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya. Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu ..................

Penulis, wartawan tinggal di Depok.

Read More......