Monday, September 29, 2008

Zaman sudah berubah

Dulu di pojok sana ada grapari telkomsel
Memang kemudian transisi jadi semacem showroom.
Tapi bila malam kita tahu keadaan berubah.
Lepas isak biasanya kita "dinner" di sana.
Sempat kucocokkan di laci2 otak dan kenyataan,
mobil pengangkut dari "warung dalam" ke "warung luar"
masih juga kijang kaplet itu.
Ibu yang tuannya warung masih awet wajahnya.
Dulu, rasanya untuk parkir motor tersedia tempat khusus,
di dekat got itu. Lalu tikar2 digelar sampai depan showroom itu.
Lalu juga di sebelah "dapur lapangan" sebelahnya gerobak makanan.
Kalo masih kebagian, kita memilih yang di depan showroom,
posisi yang lebih tinggi dan setrategis.
Berbondong-bondong kita berenam bertujuh,
jalan dari warnet yang belum pernah untung itu.
Membuka lingkaran manusia dan forum diskusi.
"Kebijakan2 negara" keluar mengalir dari perdebatan kita.
Sambil menunggu telor dadar, tempe atau bakwan yg dipanasi.
Untuk menemani nasi sayur lodeh terong.
Menu yang sederhana, tapi itu sudah cukup.
Untuk selera lidah dan selera kantong yang memang tidak tinggi.
Tapi malam itu tidak seperti 4-5 tahun yang lalu.
Ketika kita di ujungnya 2008.
Tepat di ujungnya jalan, ditengahnya jalan Kaliurang.
sda baliho besar warna biru operator seluler.
Dan warung pojok itu demikian sepi, bila ingat masa lalu itu.
Sampai-sampai timbul raguku soal orientasi medan dan koordinat.
Niatan membawa ke situasi gelombang pikiran yang sama pun terbentur kenyataan.
Rupanya osilator pembangkit frekuensi gelombang itu pun sudah berubah, tidak seperti bayangan di otakku lagi, 5 tahun yang lewat.
Besoknya dalam perkiraan waktu yg tepat, saya lewat tempat itu lagi, dan sepi masih menyelimutinya.
"Halo Jat, kowe sik neng Kupang? kowe kelingan neng Jogja, warung bu'e sing nggon pojok cedak mesjid mujahidin kae ra? Saiki kok sepi banget"
"Nganu Ndan, mungkin mergo saiki cah-cah kuliah lagi do preinan" Moga-moga.

Tapi kawan saya yang sedang di Jogja punya pembacaan lain.
Sejak kampus menjadi badan usaha, seperti juga warung, toko, mall atau bank plecit.
Anak-anak dari keluarga mampu-lah yang "boleh" sekolah.
Untuk menjamin lulusan yang sesuai setandar internasional.
Maka input pun harus jelas, siapa2 yang dapat menopang roda "administrasi" laboratorium atau perpustakaan, karena itu semua perlu biaya.
Dan kita sudah tidak di zaman "cah pinter" boleh mokondo.
Kalo sudah mampu nyumbang biaya sekolah yang demikian besar.
Sudah tidak usum lagi style kere, yg semampunya & nyari murah itu.
Mungkin itu sebabnya, beberapa cafe & warung setik di ring 3 ring 4 UGM selalu ramai dikunjungi, oleh mahasiswa juga.
Dan warung-warung makan murahan, sudah tidak terlalu diminati.
Zaman sudah berubah.
Dan dalam hati muncul juga sebuah rasa kawatir.
Kalau seleraku juga mulai berubah "tinggi".
Sudah tidak nikmat lagi "madang" di warung2 sembarangan.
Sudah tidak nikmat lagi ngopi di warung pinggir jalan.
Sudah tidak menarik lagi bicara realitas kehidupan jalan2 desa.
Dan lidah membiasakan diri dengan koki resto atau hotel.
Karena zaman memang sudah berubah dan musim telah berganti.
Dan lalu kita merenungi itu dalam nikmat segelas kopi,
di sebuah cafe yang berkelas, merasakan encok dan mengenang nostalgia.

Read More......

Thursday, September 25, 2008

Kelingan Pa'e

Sore beberapa saat lalu, belanja di sebuah toko londo.
Ngajak niven sama kukhri, lewatlah konter mainan.
Kukhri minta senapan mainan yg diisi batu batre.
Nanti bisa bunyi suara tembakan & lampu2nya nyala2.
Mainan yang sudah sering dibeli & tentu juga cepat bosan & rusak, anak-anak.
Niven beda lagi, minta telor naga atau telor dino, seperti iklan di tivi.
Memang belum pernah dibelikan yang seperti itu.
Kedua makhluk ini kami pesuasi, ini itu.
Reaksi keduanya juga berbeda2, ada marah2 atau kecewa,
dan lalu minta ganti yg lain atau minta beliin kapan2.
Bukan masalah harga tentunya.
Lebih soal tanda tanya, benarkah yg sudah kami lakukan?
Benarkah untuk selalu mewujudkan sebuah permintaan mereka "real time"? Seperti apa tolok ukur jarak antar atau masa pakai mainan "dianggap tepat"? Dipakai selama 1, 2, 3 hari atau seminggu atau? Bahasa terangnya, apakah tepat bila kita selalu belikan/turuti apa yang dia minta?
Harus seperti apakah pengaturan atau penjadwalan,
atau jenis prmintaan apa yg perlu/tidak dipenuhi?
Naluri orang tua tentu ingin selalu menyenangkan anaknya.
Saya inget, ketika suatu hari saya minta dibelikan robot2an.
Hampir tiap hari saya merengek terus, sampai mungkin Pa'e menyerah, dan saya diajak ke toko mainan, dan saya digiring untuk beli piring terbang, bukan robot2an. Entahlah, mungkin soal pertimbangan harga. Hari itu setidaknya terpuaskan, dapat mainan baru. Satu dua hari kemudian, ingatan robot muncul lagi,
rupanya memang tidak tergantikan piring terbang UFO.
Saya merengek kembali.
Saya inget sekali, sampai beberapa hari, setiap Pa'e pulang,
selalu saya tanyakan "janji" beliau buat beliin robot2an.
Beberapa hari kemudian, setelah penantian yang panjang,
saat Pa'e pulang kerja, sesuatu tercantol dilampu sen motor honda benly S110-nya, sebuah kantong kresek, berisi robot2an biru metalik datang.
Saya senang sekali.
Permintaan "serius" ini memaksanya memutar otak untuk mewujudkan keinginan anaknya.
Tapi beberapa waktu kemudian yg sangat singkat, salah satu tangan atau kakinya si robot patah.
Beberapa puluh tahun kemudian saya masih inget fragmen itu.
Ya, Pa'e yg "cuma" pegawai negeri "rendahan", sepertinya berjuang sekuat tenaga memenuhi permintaan saya, salah satu dari sekian permintaan anak2nya dan tuntutan hidup kala itu.
Mungkin juga Pa'e sempat kecewa atau sedih, ketika mainan baruku itu patah dalam waktu singkat, tidak sebanding dengan proses panjang perwujudannya dan perjuangan beratnya. Entahlah.
Dan hari ini masih saja kami bertanya-tanya, seperti apakah seharusnya. Apa resiko atau dampaknya kelak?
Dengan dendam kemiskinan masa lalu yang tanpa sadar mempengaruhiku,
dan kekagumanku yg cukup terlambat buat Pa'e.

vocabulary :
kelingan pa'e = inget bapak

Read More......

Thursday, September 18, 2008

naik kereta api

rumah persis di pinggir rel kereta api dan jarak cuma sekitar 2 km dari stasiun poncol rupanya mengakrabkan kami dengan sosok yg dinamai kereta api.
sejak kecil kami berinteraksi dengan berbagai cara,
memasang paku buat dilindas roda2 kereta, dan lalu dibuat pisau yg tidak tajam, melempari kereta barang yang lewat dengan batu,
menempelkan telinga di rel kereta buat mendengarkan suara-suara,
atau cuma melatih keseimbangan dengan jalan di atas rel.
sampai suatu hari waktu masih ingusan, sekeluarga naik kereta dengan loko hitam, -yang setelah dewasa kutahu perjalan dari semarang ke ngawi-, tempat nenek, saya cuma ingat matahari pagi yang bulat nyata dan kereta yg terlalu sering berhenti. sampai saya sering mengumpat akan "menembak kondekturnya", kekesalan anak2.

lalu lepas SMA saya kuliah ke bandung. liburan adalah sesuatu yg sangat ditunggu-tunggu dan saya selalu menyukai menggunakan kereta api turun di jogja atau solo, menggelandang satu dua hari, baru kemudian pulang ke semarang. ada dua kereta yang paling membekas karena saking seringnya "berinteraksi".
badrasurya jurusan bandung surabaya pp dan kahuripan bandung kediri pp. sampai-sampai hapal dengan mas2 petugas resto KA ekonomi siang tersebut.
mengamati arus ekonomi mikro di atas kereta,
mengamati simbiosis antara rakyat & KA,
mengamati pemandangan berupa hamparan padi menguning di sawah,
mengamati petani atau anak-anak desa bersepeda ke sekolah,
mengamati kabut yg kadang masih mengintip di pinggiran hutan batas sawah,
mengamati jajaran perbukitan yang tak bernama,
mengamati jajara kebun tebu yg menyiman tragedi seputar 48 atau 65,
atau sesekali yang lain mencoba menerka-nerka, sekeras apakah rodi membangun bentangan rel yg sedang kami injak atau melubangi terowongan ijo,
dan tentunya sesekali mengamati mahluk manis yang "tersesat" tertangkap pandangan,
sambil ditemani segelas kopi khas restorasi KA ekonomi,
itu semua adalah pengalaman hidup yg "tiada tara".

kereta api yang kunaiki waktu itu selalu disebut "ekspres", meski di dalam hati selalu bertanya kolerasi ekspres dengan seringnya ngalah saat "kres" dan memberi jalan KA dengan kasta lebih tinggi buat lewat, ada argolawu, argo dwipangga, argo wilis dll, untuk membedakan dengan "argosabar", istilah Pak Bariman.
minggu lalu saya berkesempatan reuni lagi dengan kereta api meski "terpaksa" harus naik kereta non ekonomi, biasa disebut eksekutif. malam itu dari bandung ke yogyakarta, tentu tak lupa dengan ditemani segelas kopi.
film di kepala diputar lagi ke beberapa tahun yang lewat, ketika perjalanan dengan kereta api menjadi demikian mengesankan. sampai2 suatu saat saya pernah bercita-cita, akan melakukan perjalanan dgn KA ekonomi keliling jawa, bila telah lulus kuliah. Namun, cita2 tersebut belum pernah serius saya perjuangkan dan belum terwujud sampai hari, 10 tahun sejak pintu kelulusan.
Entahlah, bahkan saya selalu tidak jelas untuk berpendapat, apakah cita2 seperti itu menjadi tidak berarti buat diperjuangkan bila dibandingkan cita2 "serius" lainnya?
Ketika kita mulai mempunyai pakem soal manfaat & guna.

Read More......

Wednesday, September 17, 2008

lagu itu

Take my hand for a while
(Buffy Sainte-Marie)

Take my hand for a while, explain it to me once again
Just for the sake of my broken heart
Look into my eyes and maybe I will understand
How love I counted on was never there

You see, I thought that you might love me
So you caught me, it seems off balance with a heart that’s full
Of love and pretty dreams that two should share

And so, I know but please before you go
Take my hand for a while, explain it to me once again
Just for the sake of my broken heart


http://www.youtube.com/watch?v=HNLYTY2G1sw







Read More......

kawan lama

Bantar Caringin, 12 September, 01.30

12 bertemu kembali
12 tahun lalu kami berada di tempat ini
kalau ada SD SMP SMA, maka di sini SO
sebut saja begitu, sekolah dasar olahraga arus deras (arung jeram)
beberapa kilometer di depan sana, Rajamandala, SDPT
sebut saja begitu, sekolah dasar panjat tebing
segelas kopi, beberapa kerat martabak telor & martabak manis
saur di dapurnya wak ude
sayur capcay
sayur lodeh tempe, terong & ikan asin
kami percaya,
pengembaraan di gunung dan hutan rimba,
jurang-jurang yang dalam, tebing-tebing terjal,
bergulat dengan jeram-jeram di sungai,
akan memberikan pengaruh kepada bentuk karakter seseorang,
mengapa anak-anak yang tinggal di rumah tidak merasakan hidup yg seperti ini?

disalin dari komunikator lethek yg setia, ditulis saat di desa pinggirnya Citarum




Read More......

Monday, September 15, 2008

Ngapel


Untuk kesekian kalinya dalam kunjungan kenegaraan ke Yogyakarta.
Masih dapat menyisihkan waktu buat ngapel.
Tengah malam tadi, menjelang back home ke negeri andalas ini.
Tidak ada yang istimewa saat ngapel semalem itu.
Semuanya setandar seperti masa-masa yg lewat.
"Cuma" kenikmatan segelas teh melati gula batu
dan beberapa kerat jadah bakar.
Sesekali terdengar jenggleng2 kereta api dari arah setasiun tugu.
Tanda perpindahan manusia ke negeri timur atau negeri barat.
Ngapel Pak Man & Lik Min malam itu, saksimata Yogyakarta.

Dan di sebelahku seorang pemuda ngamen.
Sebuah lagu cah enom yang meluncur cukup sering kudengar,
tapi tanpa tahu apa itu.
Ku-request lagu2nya Bang Iwan Fals atau Mas Ebiet.
Sayang tak banyak perbendaharan, Ebiet nihil, Iwan cuma ada dua.
Belum ada judul? Gak apal liriknya.
Senja tugu pancoran? Gak tahu yang mana.
Memang aneh, biasanya dua itulah pakem pengamen jalanan.
Ya, sudah, terserah mau nyanyi apa kami dengarkan.
Kukeluarkan uang lima ribu rupiah, anggap saja satu lagu seribu.
Mase merespon dengan dua lagu lagi, lagu cah enom, Dewa 19
dan Ungu, yang reff-nya -maafkan aku, menduakan cintamu-.

Teh melati mulai dingin, maksud hati tentu ingin bertahan.
Tapi kalau umpama pesta, malam tadi harus berakhir.
Karena harus jaga kondisi, setelah beberapa malam dalam mode yang sama.
Agar angin malam tidak terus merongrong membawa mengguk di tenggorokan, katanya.
Dan hari ini adalah dunia nyata. Ketika dari sudut jendela, tampak merapi, merbabu dan lalu gunung sindoro & sumbing, lalu sepertinya di belakang sana gunung perahu, lalu lautan yang benar-benar biru. Beberapa detik kemudian awan-awan tipis yang tersebar luas menutup pemandangan. Bangun dari mimpi-mimpi.





Read More......

Monday, September 8, 2008

Pendidikan kelas dunia


Baca berita, konon 60.000 dari 120.000 dosen tidak layak. Lantaran banyak dosen yang masih S1. Padahal konon standard menjadi pengajar di PT harus memiliki ijazah magister (S2). Untuk menuju perguruan tinggi kelas dunia, dibutuhkan dosen berkualitas tinggi, kata seorang pejabat tinggi Dikti Depdiknas. Untuk itu semua dosen nanti harus menjalani sertifikasi, dan yang lulus akan mendapat tunjangan profesi, yang untuk dosen biasa berarti 3-3,5 juta. Mana-mana PT yang boleh melakukan sertifikasi pun sudah ada ketentuannya.
Kata sertifikasi membuat ingatan melayang saat masih jadi mahasiswa & PT tempat saya kuliah belum memperoleh "persamaan", dan tiap 6 bulan atau 1 tahun kami mesti menjalani "ujian negara" di Kopertis. Ujian yang mbayar sekaligus menjengkelkan itu. Ya, memilih PTS swasta di bawah sebuah instansi itu saya pilih, diantara pilihan lain dimana saya juga lolos seleksi- UMPTN di Undip & Sekolah Penerbang di Curug-, lebih karena orang tua cuma punya uang terbatas untuk membayar administrasi awal dan prospek ikatan dinas.
Ujian negara yang hampir dapat dianalogikan dengan ujian SIM (surat izin macem2) atau keur kendaraan bermotor, merupakan momok bagi mahasiswa PTS, minimal buat saya, bukan masalah sulitnya soal, tetapi lebih dari sistem penilaian yang tidak jelas. Mengapa kami katakan demikian? Pengalaman yang saya alami, ada satu atau dua mata kuliah dimana saya merasa "dapat" menjawab soal, tetapi nilai yang keluar tetap D atau E. Saya menempuh satu-dua kali ujian, sampai batas ketelatenan habis, lantas pada sebuah ujian berikutnya saya memilih menulis lirik "belum ada judulnya" Iwan Fals, dan, ajaib, saya lulus.
Lalu muncullah pertanyaan2, standard sertifikasi apakah sebenarnya yg menjadi acuan dalam pendidikan kita? Apakah juga mirip dengan ujian SIM yang kita bisa nembak, yang penting setelah itu dapat izin nyetir angkot atau mobil buat ngompreng secara legal?
Dan kemudian, bila sudah melewati sertifikasi-sertifikasi itu, apakah lantas memberikan jaminan perbaikan keadaan, menjadi kelas dunia. Dan bila kemudian dosen-dosen S1 kita telah bersertifikasi S2, maka anak didiknya akan menjadi kelas dunia? Semoga saja.
Saya berharap sekali agar alumni-alumni S1-nya kemudian akan menjadi change agent, yang membawa perubahan-perubahan progresif dan revolusioner di segala bidang. Bukan menciptakan generasi pengeluh yang cuma menyalahkan keadaan tanpa langkah nyata untuk mulai memperbaikinya, dalam hal yang paling sepele sekalipun. Yang mencetak anak-anak muda yang handal yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk membuat "kesempatan" dan bukan hanya menunggu kesempatan datang. Yang mentriger terbentuknya manusia-manusia sosial tanpa kehilangan jati dirinya di dalam kelompok, dan bukan manusia-manusia elite yang terhormat dan terus-menerus terkunggung oleh aroma ganja intelektualitas. Yang mengajak anak didiknya untuk sempat menengok sekeliling, lalu menyampaikan pesan berantai, bahwa semua kesuksesan itu dicapai bukan cuma lantaran kecakapannya dalam menguraikan teori-teori, menghapalkannya dan lalu membuat teori-teori baru, tetapi juga bahwa itu adalah hasil dari sebuah interaksi atau team work yang kadang tidak kasat mata dan terlalu rumit atau tidak menarik untuk diurai (yang tim tugasnya tim, yang work tugasnya work). Yaitu, kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20%, sebagian didapatkan dari restribusi mak-mak sayur di pasar tradisional, dari pa'e sol sepatu, restribusi warung kopi, utang luar negeri, atau pajak berganda ekonomi mikro lainnya. Dan, tidak harus mereka menerima kembali "manfaat" setorannya. Dan tentu, pendidikan kelas dunia, yang mampu membuat key person-nya mampu memutuskan, mana yang lebih penting antara membangun sekolah rusak di desa-desa atau di kota atau mensubsidi SPP pendidikan dasar dimana untuk mendapat keringanan saja dengan persyaratan yang demikian rumit itu, bila dibandingkan dengan akumulasi tunjangan buat dirinya. Dan lalu, tentu saja sertifikasi, yang efek dominonya menelorkan anak-anak muda dinamis, yang sanggup memberikan energinya yang serius untuk kedaulatan tanah airnya, alam dan lingkungannya, tanpa kehilangan sisi manusianya untuk sesekali berbicara soal cinta atau keindahan, dalam arti yang seluas-luasnya. Ya, bagi saya, yang penting adalah yang menggerakkan itu semua terwujud satu persatu, tidak penting lagi apakah dia berlatar belakang S1 atau telah S2 & lulus sertifikasi.

Bandung, 8 September, nunggu sahur

Read More......

Saturday, September 6, 2008

inspirated by

Hari ini kedatangan tamu, seorang kawan, kakak atau senior, yang sudah cukup lama "membeku" di rimba sumatra. Obrolan mengalir, diceritakannya soal politik karena melihat langsung euforia demokrasi yang eksesnya menyebalkan, lalu sosial, budaya, lalu konsep corporate social responsibility londo yang didapat dari tempatnya bekerja, harapan-harapannya, dampak-dampaknya.
Disampaikannya pendapat-pendapatnya soal pulau-pulau terluar Indonesia, soal listrik pedesaan, soal karakter sebagian manusia Indonesia menyikapi tender, soal garam & terigu kita yang benar2 disetir oleh londo Singapur. Lalu soal konsep pemuda tanggap bencana yg muncul dari interaksi dengan kementrian pemuda dan olahraga.
Banyak hal yang dapat saya dengarkan, dan banyak hal menginspirasi saya, mungkin makin banyak cita-cita & harapan dari persinggungan dengan orang seperti ini. Energinya dia, kalau berwarna oranye, akan bertemu energi oranye saya yang membuat energi itu makin besar.

Hari ini bertemu dengan seorang wartawan senior. Yang pernah di majalah yang sangat tersohor di orde Baru dan lalu dibredel, pernah jadi pengacara, dan saat ini menjadi senior di salah satu koran. Bila semula pembicaraan beralur formal, sebagai lazimnya pelayan & yang dilayani, lambat laun kami berbicara soal minat, perjalanan, harapan dan kenyataan kami masing-masing. Banyak hal yang dapat saya dengarkan & pikirkan. Dari soal menulis, idealisme, karir, hukum sampai soal ngopi. Kalau saya baru mempunyai cita2 soal menulis desa-desa & manusia nelayan di pantai-nya Sumatra, maka ibu ini sudah memotret kejadian-kejadian di sana sejak hampir 17 tahun yang lewat. Persinggungan dengannya menimbulkan energi dan harapan yang makin besar, untuk menyempatkan atau mencuri waktu & kesempatan, untuk melihat dan mengamati. Dan normal saja memang tidak cukup.

Memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan berbagai jenis manusia tentu sebuah anugerah Tuhan, kalau hal itu kemudian menggerakkan kita untuk mempunyai cita-cita atau harapan baru itu sebuah anugrah yang lain, dan kalau hal itu menggerakkan kita untuk memulai langkah-langkah, tentulah itu bonus yang tidak tentu didapat oleh semua orang.
Hari ini, kemarin, besok, atau lusa, kita telah dan mungkin akan bertemu orang-orang yang menarik perhatian. Ya, persinggungan dengan orang-orang tertentu menyalakan energi yang berbeda-beda. Dengan berbagai kemungkinan deretan warna.

Palembang, nunggu saur


Read More......

Tuesday, September 2, 2008

Foto2 bulan Agustus

Wahyu kemerdekaan

Bendera

Arahan Senior

Ramah Lingkungan

Abot Sanggane








Read More......

Monday, September 1, 2008

In the heart of Sumatra


Segelas kopi manis di Jambi,
bagian tanah air Indonesia yang sedemikian luas
konon dari Sabang sampai Merauke
ingat-ingat di buku rangkuman pengetahuan umum ketika SD dulu
konon ekonomi di sana menggeliat semenjak otonomi daerah,
dibandingkan waktu terpusat
tapi ekonomi seperti apakah
karena badak sumatra yang ada di taman nasional kerinci seblat
akhirnya dinyatakan punah koran hari ini
karena rupanya hutan primer sudah banyak berubah
jadi hutan sawit atau hutan produksi pabrik kertas
dan tentu suku anak rimba yang kita temui tempo hari
sudah "diperadabkan", karena dia sudah berbaju & bercelana
sebuah land rover long chasis tua melintas,
dengan sabar memikul beban sawit yang hampir overload
segelas kopi pahit di muara tebo,
apakah ini dipetik oleh para petani dari kaki-kaki G Kerinci?
suatu tempat yang masih menjadi imaginasi
tapi benarkah justru imaginasi lebih penting dari ilmu pengetahuan?

Segelas kopi pahit dan dua kerat gorengan di muara bungo,
jalan beraspal telah menghubungkannya dengan Sumbar dan Jambi
di kanan kiri jalan, hutan dan rawa-rawa
sesekali jalan akses yang entah menembus kemana, di jantungnya Sumatra
yang jelas dipisahkan lembah di depan kami tampak bukit gundul
ending sebuah proses pembukaan hutan yang "praktis & efisien"
dan di seberang yang satu lagi kebun sawit yang gemuk-gemuk
apakah kemajuan ekonomi harus sejalan dengan tingkat degradasi lingkungan?
lalu bau busuk menyengat, di sebelah kiri jalan bangkai babi hutan yang tertimpa sial
apakah investasi atau penanaman modal
harus didefinisikan berpindahnya kemakmuran dari isi hutan ke kota
titik segitiga hitam di GPS menunjukkan posisi

Segelas teh manis aroma panili di kota kecil Sarolangun
karakternya yang sedemikian kuat
dan ingatanku melayang ke teh aroma melati
di angkringan lor stasiun tugu Yogyakarta
dan malam tanpa bintang
sebuah pasar malam ramai dikunjungi pasangan muda mudi
kita berbincang-bincang dengan sebuah keluarga
makan malam dengan satu bagian kecil masyarakat Indonesia
Sebelum ini, pertigaan sebelumnya, Bangko,
arah jalan ke danau Kerinci,
tempat dihasilkannya daun-daun teh dan biji kopi terbaik,
karya tangan-tangan petani kita
yang cuma kita kenal statistiknya
lalu kita hapalkan bahwa negeri kita negeri agraris,
dan kita tidak pernah bertanya kepada guru-guru kita

Segelas kopi pahit di lubuk linggau
Sepiring lontong sayur dengan kuah santan & labu siam
Mengingat kembali waktu pagi-pagi di Jogjakarta,
menu makanan ini yang dulu sempat kucibir
Akhirnya kunikmati juga, di tengahnya Sumatra
sajian di sebuah warung pasangan transmigran asal Jawa

Aku bersyukur, menjadi orang yang beruntung
Melihat masyarakat Indonesia dari dekat, suka dan dukanya
Menghirup harum aroma hutan dan rawa-rawa yang ditimpa hujan
Melihat hijaunya sayuran di pasar tradisional
Melihat merahnya sisa daun yang terjilat panasnya api pembakaran hutan, hot spot katanya
Melihat warna-warni umbul-umbul demokrasi, yang terkaanku dihasilkan dari uang yang tidak sedikit, sebagai sebuah bukti "kemajuan" berpikir.
Melihat warna-warni antrean panjang kendaraan karena pom bensin telah kehabisan BBM.
Dan sekilas sebuah tayangan TV, rakyat di sebuah kota besar berjubel-jubel antre beras, supermi & minyak goreng gratis
Yang tidak mirip antrean panjang para penggemar fanatik musik di negri dongeng sana, yang setia menunggu sampai toko kasetnya buka

Dan lalu kuceritakan padamu.
Meski cuma ini dan dengan cara ini.
Happy Romadlon!

Read More......