Thursday, October 23, 2008

kemumu argamakmur


Lha wong ini tidak ada sketsanya.
Muncul tiba-tiba karena berita kawan.
Mengapa tidak coba ke sana?
Sekian kilometer dari pusat kota argamakmur.
Tepatnya baca saja di peta bakosurtanal.
Tentu tidak ada di atlas persada dan dunia.
Atau baca lagi trek dan koordinatnya di GPS.
Sudah kuplot waypointnya, gambar pohon cemara.
Tidak susah menemukannya.
Hanya perlu ada bagi-bagi tugas.
Antara ngegas dan bagian kompas cocot.
Jalanan menanjak halus menuju daerah kemumu.
Yang akan ngos-ngosan kalo nyepeda onthel.
Di kanan kirinya sawah menguning.
Seperti tanjakan dari jl rajawali condongcatur sleman ngalor.
Agak jauh ke sana bukit2 yang hujau kebiru-biruan.
Di sawah ada rumah gubuk, pohon pisang, sapi dan tentu pak tani.
Persis dengan ingatan kita semasa kecil.
Yang suatu pagi pernah kita gambar di kertas manila.
Apakah kamu pernah ngopi atau wedangan di gubuk-gubuk seperti itu?
Di sana ada kesederhanaan, harapan hidup, dan juga nasib.
Tempat parkir sepi, tapi datang juga pasangan-pasangan muda mudi.
Seperti kisah cintanya dian dan bambang.


Yang coba diabadikan pelakunya di pagar deket karcis retribusi.
Lalu suara-suara alam mulai terdengar jelas.
Ada yang mirip garengpung, ada ulat bulu, kadal dan ada yang lain.
Serangga, burung2an dan mamalia.
Orientasi medan, banyak pohon-pohon besar.
Ada pakis ekor monyet, ada pohon besar dipanjat pohon menjalar.
Ciri khas hutan primer, kata buku IPA dulu.


Lalu deburan suara air terjun palak siring, mbuh artine opo.
Air sungai yang meluncur deras dari hulunya sungai yang kuyakini mata airnya di lembah curam bukitmu di arah atas sana.
Harapku sungai itu terus ada, yang artinya pohon2mu di bukit2 itu belum jadi mebel rumah-rumah mewah berselera tinggi atau papan2 rumah petani yang mulai tidak dapat bertani.


Sehingga air terjun yang gagah, meski tidak sebesar airterjun tawangmangu, persis di bawahnya jembatan belanda itu juga terus ada.
Mengisi jalur2 irigasi yang dibangun dengan rodi.
Mengairi sawah-sawah yang membentuk gradasi.
Aku bersyukur, kutemui juga alam yang masih seimbang di sebuah sudutnya Bengkulu.
Ia asing di telinga, tapi harmoni-nya sperti pernah kujumpai di lombok, jogja, kepulauan riau, bangka belitung atau jawa barat. Deja vu.
Hujan pagi ini saat kulongok dari jendela ketika kutulis kembali ingatan padamu.






Read More......

Tuesday, October 21, 2008

Bicara Pantai Bengkulu

Belum ke Bengkulu kalau belum ke pantainya, Bengkulu sebagai propinsi memiliki pantai yang memanjang dari Selatan ke Utara. Boleh juga disebut sebaliknya. Konon batas selatannya dari simpul2 Bintuhan-Manna-Bengkulu kota, masih kusebut konon, karena segmen itu belumlah diberi kesempatan oleh yang maha kuasa buat menjelajahinya. Lalu simpul-simpul utaranya Bengkulu kota-Lais-Ketahun-Ipuh-Muko2. Hampir 90%nya perjalanan segmen tersebut adalah perjalanan penyusuran pantai baratnya Sumatra. Dapat ditebak gambaran yang indah itu, jalan raya, pohon2, tiang2 listrik, mobil dari arah berlawanan, rumput2 tinggi di sisi sebelah dan pantai yang menghadap samudra luas di sisi yang satunya.
Demikian juga kalo kita zoom Bengkulu kota. Dari tengah kota, harum bayu & belaian angin laut sudah terasa. Tidak banyak kota yang menghadap samudra lepas seperti Bengkulu ini. Menghadap Samudra Hindia. Wajar bila kemudian dapat dilihat sampai dengan sekarang, benda2 saksi mata datangnya penjelajah-penjelajah samudra seperti Londo Inggris & Londo Belanda yang konon kemudian karena sebuah perjanjian perdagangan terjadi tukar menukar, antara Bengkulu & Singapore. Dan kemudian pendatang yang lain tentu etnis China.
Ke arah utara Pelabuhan Lama kita temui Pantai Panjang. Hamparan pasir putihnya khas, butiran-butiran pasir putihnya kecil-kecil atau halus kecoklatan, pertanda bahwa proses yang alam yang terjadi di sana sudah sangat purba. Dasarnya cuma membandingkan karakteristik pasir putih kecoklatan di Pantai Panjang ini dengan butiran-butiran pasir putih yang juga di beberapa tempat ditemui di pantai-pantai selatan Jawa yang juga menghadap ke samudra lepas, yang butirannya cenderung kasar, proses alam yang "masih muda", seperti di sepanjang pantai Wonosari Gunung Kidul DIY mulai dari Baron-Krakal-Kukup-SUndak-Siung-WediOmbo-Sadeng. Atau beberapa ditemui diantara pantai-pantai Jawa Barat mulai Karang Nini-Pengandaran-Cipatujah-Leuweung Santjang-Cibaluk-Cijeruk-Pameungpeuk.
Ombak yang besar yang seharusnya muncul sebagai konsekuensi dari pantai samudra, tidak kita temui di Pantai Panjang ini. Hal ini terjadi karena Bengkulu merupakan semacam teluk, sehingga pantainya terlindungi oleh sebuah daratan atau semenanjung yang menjorok ke laut. Vegetasi di Pantai Panjang ini cukup unik, bukan pohon kelapa seperti biasanya, tetapi pohon2 cemara, yang belum dapat kami temukan awal-mula kejadiannya. Lebih ke depan pantai semak-semak liar dan bunga-bunga rumput lazim ditemui di pejajahan lain di Indonesia ini. Ombak pantai yang kecil bersahabat yang didorong angin laut lepas yang kadang nakal dan kadang berwibawa. Adakalanya dia datang menghembuskan udara ke otak kita yang menstimulir ingatan soal sejarah masa lalu manusia dan daerahnya, adakalanya dia menstilulir kesyukuran atas perjalanan-penjelajahan yang telah dilalui saksi mata atas tanah air Indonesia, adakalanya dia akan menstimulir ingatan soal keindahan wanita dan momen2 yang terhubung dengannya.
Lalu langkahmu ke utara akan membentur kokohnya Fort Marlborough. Dengan posisi yang sangat strategis, meriam dan lubang2 pengintaiannya juga menghadap langsung ke lautan lepas. Dan di gerbang tertuliskan memori pendudukan masa lalu yang terpahat di pintu baja. Dan tentu di sana ada kamar serdadu, gudang mesiu dan penjara. Sebelah kirinya benteng ada Pecinan, melihat tata letak dan aristektur bangunannya, sepertinya gelombang manusia itu datang bersama armada kapal-kapal Inggris atau Belanda. Itu jalan Tengiri, dan disana ada pasar, di depan pojoknya pasar ada warung makan, meski lebih mirip ke Warung Padang tapi aku anggap saja warung Bengkulu. Ikan laut bakar bumbu kuning, sambel tempoyak dgn udang & pete, oseng terong campur jengkol, sambel ijo. Dan jangan lupa segelas kopi, dari biji2 kopi terbaik di tanah air.
Balik lagi ke Benteng, utara Benteng ada Tapak Padri. Dua buah arah pembicaraan memecahkan perhatianku, satu arah bicara soal sejarah Tapak Padri ini, satu arah bicara soal Wanita. Hal yang kedua lebih menarik perhatianku, sehingga penjelasan kawan penunjuk jalan cuma lalu saja di telinga.
Sore hari yang lain duduk di pantai utaranya Tapak Padri, di dekatnya perahu-perahu nelayan, menunggu sunset. Rupanya keberuntungan momen hari itu belum berpihak ke kami. Sunset yang kami tunggu tertutup mendung yang pekat. Hanya sekali saja ia mengintip di sela awan, itupun cuma 4-5 detik. Penghiburanku sore itu memperhatikan anak-anak nelayan yang bermain bola di pantai pasir itu. Lebar lapangan cuma dibatasi perahu nelayan, beton penahan ombak, gawang dari dua kayu ditancapkan dan diberi bendera, serta lidah gelombang yang dinamis maju mundur. Keceriaan anak-anak, yang bebas dari politik dan politisasi. Keceriaan yang polos & indah, yang sepertinya akan berubah seiring dengan kontaminasi gemerlapnya trend dan gaya hidup yang dipajang di etalase TV-TV. Lalu mulailah muncul kebutuhan HP, tidak cukup dengan surat-suratan. Akan muncul kebutuhan sepeda motor, tidak nikmat lagi sepeda onthel atau jalan kaki. Bapaknya yang sedang tidak melaut akan mulai diminta memutar otak buat beli voucer telpon genggam.Ya, itu proses kebudayaan yang tak juga kuasa kita lawan karena mayoritas kita tanpa sengaja mendukungnya. Setidaknya sore itu, meski satu dua orang menjadi tidak polos lagi krn pengin difoto, kegembiraan anak-anak itu benar murni dan lingkungan yang ada masih sanggup untuk mencukupinya.
Sore itu, andai saja matahari menjelang sunset bersinar terang, karakter aktifitas sore itu akan makin hidup & terpancar kuat. Apa boleh buat? Lalu kepikir juga, andaikan ada keindahan bunga rumput, keindahan sunset & barangkali kehindahan wanita. Mestinya sore itu menjadi momen yang terbaik, diantara momen2 terbaik yang pernah ada di dalam hidup kita.

nulise dicical cicil selagi mood




Read More......

Thursday, October 16, 2008

Mengapa mengembara

Setiap orang yang mengalami pengembaraan akan memiliki alasan-alasan awal tersendiri. Di samping itu, apa yang diperolehnya pun, akan berbeda buat masing-masing individu.
Mengembara berarti menjadi saksi mata.
Pulang perjalanan dari Bengkulu, sebuah berita koran menarik pandanganku.


Le Clezio, seorang pengembara Perancis, memperoleh hadiah Nobel Sastra.

...
"He's a gentle writer," says his biographer, Jennifer Waelti-Walters. "He never became one of those trendy French writers that the French all read, but [he was] always present in the literary mileau."
...
For Le Clezio, storytelling means melting into the background. In an interview on the Nobel Web site, he says, "A writer is not a prophet, is not a philosopher, he's just someone who is witness to what is around him."

Meski belum pernah membaca satu pun tulisannya, tapi auranya dapat mempengaruhi jiwa kita.






Read More......

Monday, October 13, 2008

Sunduk mentul


Nining Konyik adik saya yang mula sekali menyebutnya,
demikian dan terdengar di telingaku : sunduk mentul.
Mungkin buat menamainya yang mentul-mentul bila ditiup angin.
Rupanya memang demikian namanya, menurut boso jowo pada umumnya.
Saya dulu sempat berpikir bahwa itu bukan nama sebenarnya dari kembang rumput itu, tapi nama itu muncul karena asal sebutnya seorang kanak-kanak.
Akhirnya kami tahu bahwa rupanya memang karena pakem guru di kelas yang sempat menyebut demikian dan lalu dari pergaulan anak-anak dalam sebuah acara kartinian, saat seorang macak kebayak dengan sanggul konde palsu.
Dan di sanggul tadi akan tampak sunduk mentul, yang tentu buatan.
Tidak seperti bunga mawar, melati atau euphorbia yang memilih media atau jenis tanah tertentu buat tumbuh.
Sunduk mentul tumbuh liar dimana-mana, sampai suatu hari pandangan mata kita dapat terbentur olehnya,
yang mungkin sebelumnya kita anggap tidak penting.
Tapi konon Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu tanpa guna.
Sunduk mentul tumbuh subur dimana-mana.
Ia tumbuh di rel kereta api depan rumah kami di Semarang.
Ia tumbuh di sela-sela lantai beton carport di belakang kantor Kentungan Jogja.
Ia tumbuh di halaman gudang Prambanan.
Ia tumbuh di pantai2 antara Koba & Tobolali Bangka.
Ia tumbuh di halaman sebuah hotel yang menghadap Tanjung Tinggi Belitung.
Ia tumbuh di dasar-dasar tebing di Padalarang.
Rupa-rupanya ia juga tertangkap mataku di Pantai Panjang Bengkulu.
Mungkin ia juga tumbuh di Madagaskar.
Mungkin ia juga tumbuh di Sangir Talaut.
Mungkin ia juga tumbuh di Christmas Island.
Entahlah, mungkin ia tumbuh2 dimana2 di sana di daerah tropis, lha wong belum pernah ke sana.
Keberadaannya bisa jadi tidak penting bagi kita sampai kita menanggapinya.
Mengada-adakan maknanya, atau sekedar kawan menumpahkan kekawatiran.
Apakah ia hanya penting bagi juru potret amatiran buat belajar?
Tidak juga, banyak hal yang dapat diceritakannya.
Apakah soal bagaimana sebuah mahluk bertahan hidup di dalam derap hidup dan lingkungan yang kompleks.
Apakah soal relativitas soal penting dan tidak penting.
Apakah soal buat mengabarkan keadaan yang murah & indah.
Apakah soal minat melihat detail2 alam dan masyarakatnya dari dekat.
Atau apakah mewakili cinta yg manis dan tangguh, yang tetap dapat tumbuh liar mekar, di sela2 bantalan rel KA maupun di sebuah pantai yang indah permai.
Atau apakah soal mendudukkannya sebagai saksi sebuah peristiwa, siklus hidup tumbuhnya manusia termasuk kisah kasih yang rumit atau pertemuan & perpisahan.
Sunduk mentul yang "remeh" itu makin mewakili keberhasilan sebuah mahluk menjalani pergolakan hidupnya, minimal sepanjang umur dari kanak-kanak hingga saat ini dia telah tersebar luas tidak menuju kepunahan atau tidak menuju kehilangan.
Setiap mahluk seperti sunduk mentul ini akan kita hubungkan dengan sebuah peristiwa, di belahan bumi yang lain mungkin bunga matahari (i gilasori-ita, sunflower-eng), yang juga mengingatkan manusia atas peristiwa yang berbeda.

ditulis semalem, diupload disaat mengistirahatkan pikiran di rapat

Read More......

Monday, October 6, 2008

THR

Hari raya kemarin seperti juga tahun-tahun sebelumnya.
Diwarnai aktifitas nukar uang ke pecahan lima ribuan, sampai lima puluh ribuan. Dengan berbagai istilah mulai angpau, sangu, buat beli es, buat beli permen, buat beli bensin, buat jajan, (meski tidak tidak dapat dilarang juga bila buat beli mercon atau kembang api), dan jarang juga kita bilang buat ditabung. Dari mulai tamu2anak2 kecil keponakan, famili, dan seterusnya sesuai "kelompok umur" & jauh dekatnya di sisi jarak dan kedekatan emosional, semacam sering tidaknya kontak.
Sebagian anak2 kecil tersebut rupanya juga mengenal istilah THR yg tentu mereka belum tentu tahu singkatan dan artinya adalah Tunjangan Hari Raya, yang biasa ditemukan di dunia kerja atau industrial, berupa tambahan pendapatan/insentif untuk pegawai negeri atau swasta, karyawan perusahaan, buruh pabrik dan lain sebagainya.
Tidak terkecuali Niven. Sejak keinginannya minta telor naga atau telor dino tempo hari dapat kami persuasi dengan argumen2, -"coba gimana kalo belinya pake uang kakak sendiri, nanti lebaran kakak dapet dari wak Doni sekian, dari nenek sekian, nanti kalo kurang, ditambahin dr papa atau mama."- Sejak itu dia selalu bersemangat nagih "THR" ke uwaknya & ke neneknya.
Sampai kemudian "pesta" lebaran mulai usai dan famili2/saudara2 kembali ke habitat masing2. Dan Niven mulai menghitung total THR-nya. 65 ribu rupiah, setelah 13 ribu sebelumnya terkurangi buat beli mainan pistol. Kalau telor naga itu 99 ribu, maka masih ada kekurangan 34 ribu, kalau Batman yg pakai sayap pasangan kurang 55 ribu, lalu kalau jenis yang lebih bagus masih kurang 135 ribu.
Dalam momen ini kami ingin menguji-nya, sebagai seorang anak yang mulai tumbuh agak gedhe, tepat 7 tahun pada 6 Oktober ini yang memang tidak pernah dirayakan, kelas 2 SD dan sebentar lagi bisa jadi masanya tiba, dimana ber-akrab2 dengan teman-temannya lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan ber-akrab2 dengan keluarganya.
Kurang manusiawi juga kalo kami tidak memberikan "gambaran2 jalan keluarnya", beberapa diantaranya :
1. Ngapalin kurang2an bilangan <= 10, dgn cepat, tanpa mikir dulu, gak pake: nganu, berapa ya? apa? bila sdh cepat dapet 10 rebu
2. Mijitin papa, 15 menit 5 rebu
3. Ngerjakan soal kurang2an gunggung sungsun, 5 soal ringan, semua 10 ribu lagi
4. Mau sering dapet tambahan, sering2lah menawarkan diri mijitin papa

Kemudian juga, untuk "memperbuas" keterlibatan si Rakhekniven ini sebagai obyek yg diuji, terpaksa buka2 lembaran masa lalu. Cerita padanya soal kemiskinan saat kuliah dulu, krn kiriman jelas pasti kurang, ditambah keinginan yang sudah banyak buat nongkrong, ngopi, sekali-sekali beli rokok, akhirnya sempat nyuci mobil angkot-nya tetangga kos, buat ndapetin 1000 rupiah di tahun 95an, setara dengan sekali makan. Sebagai pendapatan lain-lain selain ngutang, yang beberapa diantaranya baru terbayar beberapa tahun kemudian.
Saya teringat tulisan seorang kawan saya :
Saya pikir penting untuk membentuk budaya, entah di organisasi atau di dalam keluarga sekalipun, dimana menciptakan kondisi sedemikian rupa orang-orang yang ada di dalamnya di bawah tekanan (agak). Berikan perlakuan pada sisi psikologisnya dengan memberikan sedikit rasa takut, agak cemas akan kekurangan dan kehilangan alias untuk menghindarkan mereka dari zona nyaman. Karena pada prinsipnya, setiap orang tidak enak dalam situasi demikian, sehingga ia akan berusaha untuk mencari cara untuk memperoleh keseimbangan yang baru.
Ya, pelan-pelan saya sadari juga, bahwa saya mulai "memperlakukan" orang lain dengan standard-standard saya. Dengan hal itu saya berharap, dia "menyepakati" sebuah konsep hidup, diantara berbagai konsep yang telah dan akan ada. Yaitu soal usaha atau perjuangan mencapai keinginan. Setidaknya hari ini, baru konsep itu yang dapat kami berikan dan tawarkan, memang semua ini tentu dipengaruhi bagaimana riwayat dulu mendapatkan pandangan hidup atau filosofi hidup yang kemudian menjadi panduan dalam menghadapi berbagai lika-liku sebagai manusia. Ditambah polesan dari self learning manusia dalam beradaptasi & belajar, trial & error, mengevaluasi rencana dan pencapaian, atau interaksi dengan lingkungan, buku, alam raya, manuasia-manusianya. Semua-nya mestinya selalu dinamis, benar salah tepat dan tidaknya, waktu juga nanti yang kelak memberikan beritanya.

Read More......

Friday, October 3, 2008

Nota bene: Aku Kangen

Oleh : W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi







Read More......