Monday, March 2, 2009

Jang koewat jang kalah 2


Bayangan kota Medan tengah kota dalam jumpa pertamaku tahun lalu, aku ingat Bandung, kota tua yg sudah "established" sejak beberapa abad lampau, banyaknya pohon2 besar yang rindang dan banyaknya perempatan jalan yang kebetulan semrawut, ya mungkin itu, yang lalu mempermiripkan dengan Bandung.
Sore hari itu dalam perjalanan kedua saya ke medan itu ditemani Irphan "Bonteng", senior saya di Astacala, yg sudah berbaik hati yg kesekian kalinya buat saya, dari ngutangi sampai ngantar-jemput di Bandara, dlsb. Sore itu mengalir obrolan-obrolan khas unggun api yg dulu biasa kita percakapkan di saat pendidikan dasar rekruit baru pencinta alam, atau di saat penjelajahan-penjelajahan, yg serius maupun yg santai-santai. Meski yang dianggap serius pun sebenarnya juga santai-santai.
Sore itu kami mampir makan menu Sibolga, -Sibolga adalah salah sebuah kota di pantai barat Sumatra, masuk propinsi Sumatra Utara. Syarat awal sebelum makan: pokok-nya ikan. Ekspektasi tentu minimal seperti tahun lalu saat ke sana, dimana kami menikmati nyamannya ikan kakap bakar dan jus terong belanda, dan ditutup dengan segelas kopi hitam. Sore kemarin dulu itu memang over ekspektasi, ketika kami "cuma" dapat menemukan ikan sardin (semarang =pindang), dan daging ikan pari yang kremus2
karena mengandung tulang rawan. Kawan2 cukup tanggap menerangkan keadaan, dimana katanya mahluk yg bernama ikan laut itu sedang susah diperoleh di pasaran, sehingga ikan sardin yg seingat saya harganya di kisaran 10 ribuan atau paling mahal 12 ribu sekilonya tembus 30-50 ribu! Mengapa sampai terjadi krisis ikan laut? Dan Irphan kembali memberikan ceritanya, soal musim yg makin tidak menentu dan degradasi lingkungan. Kegemaran memancingnya yg telat baru timbul, rupa-rupanya sedang ketemu musim yg tidak tepat. Ikan yang konon biasanya banyak nongkrong di muara entah lari kemana. Tambak-tambak udang pasang surut yg dulu sempat menjadi sandaran ekonomi sudah mati diam, cuma menyisakan tiang telpon dan tarikan kabel, yang menandakan bahwa tempat itu pernah menjadi pertemuan hajat hidup orang banyak. Jangankan itu, tambak alam yg dulu suka disinggahi ikan mujair tanpa repot menebar benih pun tinggal cerita.
Bagaimana dengan kaum nelayan yang gagah berani "menjemput bola" mengarungi ombak, yang sesekali diintip sang maut yang dibawa badai sang "barat"? Seperti juga cerita para american indian yg berjuang seperti ksatria melawan kulit putih, akhirnya mereka menyerah kepada keadaan. Banyak hal tidak dapat dilawan hanya dengan kegagahan. Kalau dulu hasil laut yang dapat dipanen bisa 2-3 drum besar, sekarang tinggal setengah drum kurang. Cerita hasil laut yang melimpah ruah di pelabuhan ikan "Bagan Siapi-Api", cuma jadi legenda di buku rangkuman pengetahuan umum SD dulu. Kejayaan bahari seperti menjadi secarik guntingan kliping koran kenangan, yg tertempel di salah satu lemari kaca museum.
Apakah alam benar-benar tidak mau berdamai? Cerita Bonteng masih berlanjut, soal limbah pengolahan minyak dan limbah pengolahan CPO berada di daerah penyangga kota, yg dibuang ke laut sebagai tempat sampah raksasa itu, menyumbang masalah lingkungan disamping menjadi solusi kebutuhan akan sumber daya, lapangan kerja dan pendapatan niaga.
Perasaan "ditinggalkan" oleh alam belumlah berlangsung lama dirasakan, baru 2-3 tahun, dan kita menerka, dampak yang baru dirasakan itu mungkin terjadi oleh proses yang kita lakukan jauh lama beberapa tahun sebelumnya. Pengulangan atas kesadaran-kesadaran yg terlambat?
Sore itu daun ubi tumbuk yg ada rasa sirihnya, khas Sibolga, menemani sisa ikan pari yg dibakar meluncur ke kerongkongan, tidak ada kopi sidikalang, cuma ada jus terong belanda yg siang itu terasa asing.
Menjelang magrib itu kami mampir ke senior saya yang lain di astacala, Slamet Ambon. Obrolan kembali mengalir ditemani kopi londo dan sejurus kemudian "perintah" makan malam turun, dengan sayur bayam dan ikan lele. Kalau konsumen yg mempunyai uang pembelanja, dapat memilih jenis ikan pengganti ikan laut, apakah para nelayan yang sudah dibesarkan oleh zaman menjadi nelayan juga mempunyai pilihan yang mudah buat
mencari alternatif ekonomi buat berteduh disamping ngutang ke rentenir dan bahkan mengijon-kan anak-anaknya?
Musim berganti, gambar mereka kaum nelayan banyak diangkat buat pemenangan demokrasi. Dan semoga kemudian kisah riang lagu nelayan bukan cuma tinggal kenangan di rekaman elektronik yang anak-anak minta sebelum tidur mereka, buat mengiringi mereka melompat mengekpresikan gerakan ikan sebagai sisa energi mereka hari itu menjelang lelap.

Lihat-lihat nelayan rentang jala pukat
Tarik-tariklah tambang, umpan sudah lekat
Ikannya melompat-lompat 2x, riang riaaa…

Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik, kadang turun, dimainkan oleh ombak
Badai laut biru

Gulagalugu suara nelayan, berayun2 laju, berayun2 laju…
Gulagalugu suara nelayan, berayun2 laju, berayun2 laju…

Berayun ayun laju perahu Pak Nelayan
Laju memecah ombak perahu Pak Nelayan
Buih-buih memercik di kiri-kanan 2x, perahuuuu…

Jauh di kaki langit terbentang layarmu
Kadang naik, kadang turun, dimainkan oleh ombak
Badai laut biru


Gulagalugu suara nelayan, ber-ayun2 laju ber-ayun2 laju
Laylaylaylaylaylaylaylaylaylay laylaylay


http://www.youtube.com/watch?v=-dT4RYbHBfc&feature=related





Read More......