Sunday, November 11, 2007

dewa dan prajurit


(judul ini mengutip judul di selingan majalah tempo tahun 90an, tapi isinya ndak ngutip)
sewaktu aku masih kecil, sebuah kenangan yang manis ketika saat kartini-an pa'e membelikanku baju tentara. Warna hijau lengkap dengan pangkat-pangkatnya. Maklum tahun-tahun sebelumnya keinginan seperti itu cuma jadi keinginan lantaran bapak belum bersedia (sempat/mampu?) membelikanku. Tak kuingat lagi rengekan jenis apa yang akhirnya membuat bapak luluh juga membelikan baju itu. Saking senangnya baru sebentar baju & aksesorisnya sudah rusak, dan temtu tidak dapat kupakai lagi buat kartinian berikutnya. Tapi waktu kecil itu ingin sekali rasanya benar-benar jadi tentara.Lalu beranjak lulus SMA, entah mengapa justru bapak kurang setuju aku masuk atau ndaftar sekolah atau pendidikan kemiliteran. Kala itu aku inget pengin sekali jadi penerbang transport atau military airlift, nyupiri hercules. .

Pernah aku lontarkan keinginan masuk ikatan dinas pendek (IDP) TNI AU, lagi-lagi bapak tidak sepakat, tapi bapak sepakat kalau ndaftar akademi kepolisian. Sebagai seorang anak, aku belum cukup peka keinginan bapak yang sepertinya sangat bijaksana dan berlandaskan "prospek ekonomi" yang wajar. Mimpi menjadi penerbang tempur ataupun transport tidak pernah diuji, tapi pada tahun itu juga kubuktikan bahwa aku telah berhasil menembus saringan menjadi penerbang sipil, meski kesempatan itu kulewatkan dengan memilih jadi engsinyur atau sarjana. Tapi itulah jalan hidupDi saat kuliah kira-kira jalan 2/3, saya berkesempatan dapat "mainan" baru meskipun tidak baru-baru amat, soal-menyoal penjelajahan hutan, gunung, tebing atau penjelajahan lain yang di tanah air ini mau tak mau kita akui dipelopori baju hijau karena berdasar persinggunganku dengan pramuka waktu aku SD, pramuka belum mengarah ke sana. Lalu disanding dengan fantasi-fantasi wild west tentang penjelajahan benua Amerika yang perawan lewat buku-buku Karl May, yang mulai kubaca semenjak SD, maka lengkap sudah. Indian, dayak, komando, baju hijau. Ya, itu cuma sekelumit nostalgia ingatanku ke baju hijau.
Prajurit, pada suatu saat lewat film-film baik settingan hollywood maupun buatan bumi eropa suatu saat dipuja setinggi langit sebagai dewa yang lalu mengalir ke mimpi anak-anak untuk bercita-cita, atau minimal mimpiku kala itu.
Lalu pigura zaman berganti mulai 98, sepertinya mirip juga dengan film yang temtu tergantung settingan setudio hollywood atau setudio yang lain, musim telah berganti dan lalu jamak kita baca pemberitaan di koran-koran atau di media lain, soal pelanggaran HAM tentara di timor, atjeh, papua lalu maluku, lalu yang mutakhir kuingat alas tlogo pasuruan saat marinir diberitakan memburu dan menembaki penduduk secara mendatar (bukan rekoset) karena rebutan lahan.Yang jelas telah jatuh korban dari warga sipil (meski >50 sekian persen aku tidak percaya berita "perburuan" ini). Dari kasus itu kalau kembali ke analogi film sudah tidak ada pilihan peran lagi buat sedadu selain jadi bandit.
Prajurit yang tadinya adalah pahlawan yang gagah berani atau dewa dari golongan putih, opini terhadapnya seratus delapan puluh derajat berubah menjadi jin setan peri perayangan golongan hitam. Lalu media memang harus sok tahu dan selalu memihak kepada deadline yang memikat. Obyektifitas, azas perimbangan sumber berita nanti saja.
Tapi ternyata bandit, lakon, pak haji, tukang sihir jahat, cah lugu, cah goblok, bawang merah, bawang putih cuma ada di sinetron-sinetron khas Indonesia. Yang jahat, jahat terus, yang pak haji suci terus, bawang merah harus judes, bawang putih harus baik tapi bloon, hitam dan putih. Dua orang mba'e yang membantu di rumah gemar sekali nonton jenis yang ini.
Opiniku, tentara orang biasa juga, yang selalu punya segi-segi yang rumit tidak cukup segi tiga, empat atau delapan sekalipun.
Satu saat kudengar derap langkah bersama sepatu larsnya menyibak pagi dengan lantunan lagu-lagu mars yang selalu terdengar sumbang.
Satu pagi yang lain kubaca di koran mereka nongkrong di pantai Ambalat untuk pertahankan pulau itu dengan modal TB1, TB2, konserven atau ransum lain yang kueras dan rasanya sama semua itu, jauh dari keluarga mereka, di bawah naungan bivak ponco. Konsekuansi pilihan profesi memang, tapi tokh sepertinya jauh lebih mulia daripada "pak kiyai" yang menipu kawanku seorang mu'alaf kabarnya sampai 500 jt rupiah, atau daripada petugas pajak yang kong kalikong sama wajib pajak, tahu sendirilah, kos-kosan atau rumah yang diatasnamakan ibunya atau bapaknya di Jogja sebenarnya dapat untuk membangun 3-4 bangunan sekolah di desa-desa.
Satu saat yang lain entah sengaja atau tidak, entah rekoset atau tidak, peluru muntah di alas tlogo memakan korban. Termasuk seorang Chairul bocah balita yang sepertinya juga selalu mengelu-elukan tentara yang kelihatan gagah melintas di kampungnya.
Satu saat yang lain merekalah yang mewakili Indonesia mendahului negara ASEAN lain menginjakkan kaki di Puncak Everest atap dunia.
Kemudian 98, terjadi penculikan-penculikan aktivis, pelenyapan sebagian dari mereka, penembakan-penembakan terhadap demonstran, pemerkosaan masal, tentara dianggap paling bertanggung jawab. Kalo lantas ada kabar CIA di sana melakukan penggalangan-penggalangan, susah dibuktikan, karena mereka temtu tidak berseragam, apalagi pake kaos CIA.
Suatu pagi yang hiruk pikuk di bantul 1-2 jam setelah gempa besar 2006, terlihat baju hijau lalu lalang mengevakuasi warga, membuat dapur umum, membuat rumah sakit darurat, hari-hari selanjutnya verifikasi data tingkat kerusakan atau membuat tenda-tenda darurat sekolah supaya Cahyo, Tini atau Rizal bisa ujian. Atau pun mendistribusikan bantuan sembako dan lain-lain yang tahu-tahu sudah menumpuk di kesatrian mereka.
Tanpa hendak mempermasalahkan obyektif atau tidaknya berita yang ditulis di koran-koran atau diperdengarkan di TV dan radio, rakyat negriku menyaksikan peranan yang rumit yang dimainkan prajuritku.
(Ditulis mulai malam HUT TNI ke 62 tgl 5 Oktober, dianggap selesai 11 November 2007)

Read More......