Thursday, January 24, 2008

Melawat ke negeri gajah putih

Waktu aku kecil ada sebuah pepatah yang sampai hari ini masih kuingat. "Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang". Tidak ada pikiran atau referensi untuk membantah atau membenarkan pepatah itu, apalagi sambil menduga-duga sebab musabab dari munculnya sebuah pepatah. Seingatku juga waktu itu di layar televisi sering muncul film-film perjuangan kemerdekaan, perwira ksatria, atau edisi londo-nya serial combat, lalu yang agak baru tour of duty. Di seputar tugumuda Semarang masih diperingati pertempuran 5 hari di semarang dengan dentuman-dentumannya, dan pawai 17an di jalan-jalan protokol kota adalah atraksi ya dinanti-nanti.
PSSI digdaya lalu berjaya di Subgrup 3 Asia untuk piala dunia dan pernah juara Sea Games, meski pernah dicukur Arab Saudi 8-0, tapi kami PSSI adalah kebanggan kami. Nama-nama pahlawan hijau kami masih kuingat, Rulli Nere, Ronny Patti Nassarani, Dede Sulaiman, Ajat Sudrajat, Hermansyah, Bambang Nurdiansyah, Marzuki Nya'mat. Sampai-sampai saat kami bertemu dengan orang Bangladesh di negeri orang yang kuingat adalah 'pertempuran' PSSI lawan Bangladesh dimana secara agregat kita menang. Kemudian petaka datang ketika merah putih dilibas 4-0 dan 2-1 di Senayan oleh ras kuning dari negeri ginseng lalu kita tidak lolos ke piala dunia, tanpa terasa air mata menetes. Ya kala itu Korealah yang mengalahkan kita, tidak Thailand, Myanmar apalagi Vietnam. Negeri kami pernah berswasembada beras dan bayang-bayang bahwa Vietnam, Kamboja masih tercium bau mesiu perang sekali-sekali mampir ke indera kami. Kami lumbung beras, bukan Thailand.Lalu terasa musim berganti,kemarau kami makin panjang dan bila hujan datang justru padi di sawah jadi rusak karena banjir. Kami dengar gula, kedelai dan beras telah diimpor. Sedikit kuingat kami pernah sepakat bahwa kami kenyang dulu, baru kami bicara teknologi, kami swasembada pangan dulu, baru mengembara di dunia maya. Tapi kesepakatan itu telah lewat bersama lalunya angin pancaroba, yang konon membawa batuk, mengguk atau influensa. Tapi kami masih mengeksport pasir laut, TKW, minyak industri dan tentu minyak CPO. Sentimen masa jaya sempat dibangkitkan dengan menanam jarak yang kemudian segera mati suri.
Suatu hari yang cerah setelah panjangnya masa recovery gempa Jogja kami melawat ke Thailand atau negeri gajah putih, melalui pintu Swarna Bhumi. Satu perjalanan kami melewati kantor negara pengelolaan Satelit yg mencolok sekali dijaga militer loreng-loreng. Setelah kudeta tak berdarah oleh tentara itu, konon asset2 negara yang telah dijual ke asing semasa Taksin diusahakan dinasionalisasi kembali. Disepanjang jalan dominan mobil dobel cabin. Aroma pertanian, perkebunan atau kehutanan sangat kental. Agrikultur yang kita pilih tinggalkan di persimpangan jalan, ternyata adalah anugrah yang diyakini dipelihara oleh Thailand. Wajar sekali bila satu saat di tanah arab kami temui beras berlabel "Raja Lili (bukan raja lele)Pandan Wangi", tapi bukan dari Klaten, Salatiga, Cianjur atau Belitang, tapi dari sebuah tempat di sudut Thailand. Pertanian adalah denyut nadi. Sang Raja memang sejak awal bersama rakyat sudah bersepakat sama-sama kenyang, dan komitmen dan konsitensi yang seperti itulah yang rupanya membuat negeri ini bertenaga. Petani adalah 'orang penting', dan pertanian telah menjadi roh bangsa ini dan membangkitkan patriotisme. Pernah kita sama-sama tercebur di dalam kubangan zaman, tapi mental, moral, dan spriritual yang tampaknya kuat menolong menemukan jalan keluar. Mereka terus mengekspor beras, candu, buah-buahan dan selanjutnya memenangkan sepakbola. Disaat nasionalisme, patriotime justru sudah terasing di negara kami. Dan sebagian besar asset bangsa telah diperdagangkan terasa atau tidak terasa, karena kita memilih yang serba bule, termasuk bangga bila telah listing di pasar saham. Beberapa hari lalu di tanah air Indonesia seorang provost dari sebuah satuan tentara di sebuah jalan menyetop kami dengan ragu-ragu, saat itu Merah Putih sedang naik.

Read More......