Tuesday, May 12, 2009

Dari Jendela


Dari jendela restorasi KA, pagi itu saat berhenti, tertangkap mata dua anak kecil yang sedang beristirahat dari meminta-minta, duduk di rel kereta api di sebuah setasiun kecil di ujungnya tanah priangan. Tidak jelas apakah dia dipekerjakan ataukah terdesak keadaan atau dengan alasan yg tidak pernah kita pikirkan.
Alam indonesia yang indah dan kaya raya yang tampak dari jendela, sawah-sawah yang menghampar hijau kuning, bangunan sekolah yang kadang2 terbaca papan namanya sepanjang perjalanan rupa-rupanya tidak selalu mempunyai arti kecukupan sandang pangan pendidikan bagi penduduknya.

Dari jendela pesawat kelas satu, siang itu tampak hamparan awan rendah di bawah dan strato cumulus di sisi yang lain, sungai besar yang berliku-liku & lalu pantai antah berantah yang terintip di sela-sela awan. Di depan sebuah pantai noktah putih, barangkali sebuah perahu nelayan yang sedang mencoba peruntungannya hari itu di tengah musim barat yang terkadang ganas, harapannya tentu masih ada ikan yang tersesat di jaring jalanya untuk menyambung hidup yg seperti tidak pernah terasa mudah buatnya.

Dari jendela bordes KA eksekutif yang sepi, tak ada kawan atau lawan yang berdesakan mencari tempat duduk, tidak ada bakul nasi telor yang melintas. Seperti di kereta di sebrang sana, KA pergulatan, dimana manusia2 besar kecil mempertahankan atau memenuhi kebutuhan hidupnya, di bordes-bordes dekil, di jendela2 kaca kusam, di bangku2 tegak yg membuat encok makin parah, otak mencoba membuai dengan pemakluman kepada ketidaknyamanan, pemakluman pesing WC yg tak terawat, pemakluman cap "ekonomi", pemakluman peng-kelas-an golongan untel-untelan, pemakluman bau obat gosok dukun yg dipercaya menyembuhkan sakit kepala tetapi memualkan penumpang yg lain, pemakluman atas "tidak ada pilihan".

Dari jendela pesawat udara ekonomis, jauh di bawah sana sepertinya anak krakatau, yang leluhurnya dulu konon pernah mengguncangkan dunia ketika kemudian memisahkan dua budaya dan dua tanah besar. Batas-batas pulau adalah lautan yang biru, kaki langit batas cakrawala, sebagian dari kita telah melewati batas-batas yang dulu cuma ada di alam mimpi.

Dari jendela ruang kerja, bayangan-bayangan datang silih berganti,
ada anak-anak kecil yang naik sepeda di pematang sawah,
ada dua orang tua yang sedang bercakap-cakap,
ada anak-anak sedang bersendau gurau,
ada wajah-wajah wanita,
ada juga tentang cinta,
konon menggenggam cinta seperti menggenggam pasir, ketika terlalu kuat, maka dia akan lolos lepas dari sela-sela jari-jari,
dia hanya bertahan ketika tangan tersusun menangguk mewadahinya menahan efek gravitasi, dan membebaskan sisi lainnya,
lalu aku bertanya pada diriku sendiri? apakah terlalu kuatkah atau tanganku sudah menangguk mewadahi dengan wajar ?
Aku merenung. secangkir kopi dan sebungkus biskuit kanak2 mencoba menenangkanku yg gundah ingin memperbaiki keadaan.





Read More......