Monday, August 3, 2009

A day in a life


Malam itu di sebuah punggungannya gunung Tikukur, Tjiwidej, demikian tulisan di peta AMS (US Army Map Service) tahun 40an yg diperbaharui tahun 63, pohon-pohon kayu di sekitar kami. Pepohonan itu antara menyerap dan membiarkan asap, seperti kata buku IPA soal fotosintesis, yang kadang-kadang tipis dan kadang tebal memedihkan, dari unggun api kami yang selalu kami jaga nyalanya agar konstan, setidaknya sampai kantuk masih dapat kami kalahkan.
Roll yang dihasilkan oleh perpaduan sela-sela pepohonan,asap, dan api yang menerangi juga sekitar tenda kami belum dapat kami abadikan dalam kanvas elektrik maupun seluloid. Semua cuma kami rekam dalam ingatan. Jalan-jalan dan daun-daun hutan yg setengah basah, rawa-rawa yang tidak pernah benar2 kering, dan kawan-kawan yang seperjalanan.
Obrolan di seputar api unggun lebih soal dunia maya dan dunia nyata dalam perspektif mahasiswa ikatan dinas yang sudah DO atau baru terancam DO, dua angkatan yaitu kakak2 dan adik2 kelas, yang kemudian mereaksi antara masa bodoh atau mempersiapkan mental menemui dunia nyata, dunia kerja, dunia harapan orang tua atau dunia konsekuensi meski tidak benar-benar sebuah pilihan hitam putih.
Cuma lalu kuingat bahwa malam itu memonumental beberapa ingatan. Malam itu dulu juga pernah kutulis, yang sepertinya mampu mewakili sebuah sikap pilihan hidup, kenikmatan dari secangkir kopi. Dan ketika bibir kita pernah terslomot cangkir aluminium koboi yg kutemukan di pasar loak jatayu, setidaknya kita telah membuktikan bahwa alumunium adalah penghantar panas yang baik.
Kudefinisikan di hatiku, bahwa kenikmatan hiduplah ketika kita masih dapat menyeruput secangkir kopi hitam yang pahit dan menghargainya sebagai sebuah anugerah luar biasa, dimanapun itu, di tengahnya rimba raya, diantara pepohonan & semak, di pinggirnya sungai yg kita arungi, di sebuah tempat bermalam di pantai sepi yang sumuk, dan lalu otak memodifikasi memakluminya ketika di tengah ramainya pasar di singapore, di sebuah cafe di pattaya, dan barangkali suatu saat di jalanan birmingham atau dover yang aku ingin tongkrongi.
Cukup kopi saja yang pahit, sedangkan hidup biarlah dia terus manis meski dengan berbagai pergulatannya.
Sayup2 terdengar dari radio mono yg kita gantung di tiang tenda, one day in your live-nya michael jackson. Sebuah lagu yg kala itu sama mendiamkan mulut2 kita, lagu yang sebelumnya cukup akrab di telinga kala itu tanpa tahu penyanyinya (aku baru tahu penyanyinya siapa dr isnanto besar). Mulut2 kita sama2 terkunci, barangkali krn saat itu pikiran kita terbang ke angkasa kita masing2 melalui masa2 yang lewat & masa depan yang misteri. Lalu, situasi resonansi antara bau kulit kayu yg terbakar, aroma daun2 basah, titik2 bara yang terbawa angin, dingin udara gunung, dan sayup sayup suara radio mono pun menyenangkan telinga2 kita.
Sekian tahun kemudian dalam kepenatan kerja sebagai orang gajian yang belum dapat memerdekakan diri dari disuruh-suruh, kutatap layar laptopku, lagu one day in your life-nya MJ yg jadi sering terdengar sejak kepergiannya, beberapa kali ku replay sampai bosan. Masih kupegang idealisme yg tidak berubah, idealisme secangkir kopi, dan mulutku terkunci, pikiran mengembara ke angkasa masa depan yang separo cita2 dan separonya adalah misteri, yang semuanya menghendaki ditempuh dengan keyakinan. Dan lalu, sayup-sayup suara sederhana dari radio mono malam itu seperti terdengar kembali untuk menenangkan.






Read More......