Monday, March 10, 2008

..... remain a mistery


Yang pertama kali perlu engkau ajarkan kepada anakmu adalah sejarah.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/30/0901.htm
> OPINI

Pertemuan Sarwo Edhie-Ilham Aidit
Oleh BERSIHAR LUBIS

JANTUNG anak muda berumur 22 tahun itu berdebar. Sebentar lagi ia akan bertatapan mata dengan Jenderal Pur. Sarwo Edhie, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD)-- kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia tahu siapa Sarwo Edhie dalam gemuruh aksi pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966 silam.

Tentu saja ia tahu setelah dewasa, karena saat tragedi berdarah itu ia masih berumur enam tahun. Kisah ini terjadi pada 1981, dan anak muda itu adalah seorang di antara kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung. Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.
Ilham berada di baris kedua, dan beberapa detik lagi gilirannya berhadapan langsung dengan Sarwo Edhie. Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham. "Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo. Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.
Saya kira, peristiwa antara Sarwo dan Ilham adalah sejenis rekonsiliasi antara dua anak bangsa. Karena dengan nama Sarwo dan DN Aidit orang akan ingat tragedi Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan beberapa jenderal TNI AD terbaik. Orang akan ingat pengumuman Dewan Revolusi yang mengudeta kepemimpinan Presiden Soekarno, tetap kemudian berhasil diamankan oleh Jenderal Soeharto. Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang peristiwa itu adalah PKI, seperti versi pemerintah RI. Namun sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan dan menambah pengetahuan publik tentang masa lalu yang hitam itu.
Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara. Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu. Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.
Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin. "Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya," kata Ilham. Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri. "Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps," kata Ilham.
Kisah barusan tak banyak diketahui publik. Mungkin, hanya faktor Dewi Fortuna saja jika Ilham berkenan menceritakannya kepada majalah tempat saya bekerja, Medium yang tidak lagi terbit sejak awal 2006 lalu. Sebagian dari bahan dan catatan tersisa, saya tulis lagi mungkin siapa tahu ada gunanya. Mengenang sejarah tentu penting, walaupun lebih penting lagi bagaimana menyelesaikan bengkalai sejarah itu ..................

Penulis, wartawan tinggal di Depok.

1 comment:

Artika sari said...

sebuah berita yang benar - benar merupakan berita.
kalau tidak salah, hamka pernah menulis "KEPANDAIAN MANUSIA MEMILIKI BATAS NAMUN KEBENARAN TIDAK"
Entah siapa yang benar ya bung? tapi yang jelas saya masih percaya bahwa Tuhan selalu benar..

tabik,