Monday, June 25, 2007

Melawat ke Singapura


Beberapa waktu lalu yang baru lalu saya berkesempatan melawat ke Singapura, negeri kecil atau negara pulau yang mungkin bagi sebagian kita tidaklah asing -nasi sayur lah-. Tapi bagi saya hal ini sama sekali baru. Kalo ngebayangin Singapore, selalu teringat iklan di TV "siang ini saya di singapore, sore kembali ke Jakarta," atau adegan2 di sinetron yang sangat digemari remaja putri dan ibu Indonesia itu, "Farel, kamu beli kaos oblong di Kuala lumpur ya? Kalo aku beli di Singapore." Kira-kira demikian reka-reka soal Singapore.
Pukul 8 Pagi, dalam cuaca yang teduh karena matahari belum muncul juga, saya berangkat bersama kawan yang dari Purwokerto dan Pekalongan yang sama-sama nol puthul soal negri yang ngeyelan tapi menangan itu, dengan ferry dari pelabuhan Batu Ampar, Batam.
Sepanjang jalan nampak banyak kapal dari berbagai ukuran dan warna, mengingatkan masa kecil waktu suka ngikut ayah saya yang kebetulan kerja di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, -pelabuhan internasional yang diresmikan Soeharto pada tahun 80-an-, dimana kadang kami memancing, atau sekedar merenungkan bahwa lautan yang dihadapan kami selalu menghubungkan bangsa-bangsa dengan dunia luarnya.
Dari handphone kudengarkan lagu Pak Ebiet, Bang Iwan Fals, dan Abah Iwan yang memang kujadikan satu folder lagu indo dan dimainkan oleh program secara acak. Perjalanan yang kira-kira cuma satu jam dalam ruangan ber AC, dalam situasi yang lebih "nyaman" dan modern.
Tapi bukan berarti lantas akan menggusur ingatanku pada tahun-tahun lalu saat kami duduk2 berjejer di deck kapal ferry dalam 4 jam penyeberangan Selat Lombok dari pelabuhan Lembar, Bali ke Padang Bai, Lombok, dengan belaian langsung angin lautan dan sesekali karbonmonoksida keluaran cerobong kapal dan cuma bincang-bincang lah hiburan kami.
Lalu sekitar 2/3 dari perjalanan sebelum Harbour Front Bay, sebuah rangkaian kapal menarik perhatianku, semacam tongkang yang berbentuk segi empat yang cukup besar, dengan muatan yang tak dapat kurekam dengan kamera besar gara-gara batre drop, tapi cuma dari kamera HP 1.2 Megapixel saja. Ditarik oleh kapal yang jauh lebih kecil, setidaknya perbandingan ukuran benda yang ditarik dan yang menarik.
Ya eksport pasir, tanah atau batu2an ke negeri yang haus daratan itu jalan teruusss. Kalau mereka seorang atlet yang sedang mempersiapkan diri buat olimpiade, kita cukup setia menjadi pemasok minumannya, karena air minum di kami murah, setidaknya sampai saat ini. Karena pulau-pulau kami buanyak, jangan kawatir, 17000 pulau, hilang 1 masih 16999, malah bagus, bukankah banderol harga di Mall angka belakangnya selalu 99.
Saat mataku mengamati dan otakku mengotak-atik kejadian ini, ditelingaku mengalun sebuah lagu mars, yang terdengar keras dan kelupaan kukeluarkan dari playlist :
...panji buana- bagi nusa dan bangsa- pengawal tujuan kita- membela keadilan- siap siaga waspada- majulah maju.... majulah maju serentak, bhayangkari negara....
Sentimenku soal nasionalisme bercampur aduk kacau balau diterpa kenyataan, bahwa komitmen-aturan-idealisme kadang hanya dapat digambarkan hitam putihnya di atas meja lalu dialirkan ke jalan-jalan lewat demonstrasi atau dilempar ke publik lewat media. Sementara kenyataan hidup, baik bisnis, lalu lintas orang dan barang, trend, konsumerisme, jauh lebih lebih kompleks melampaui kanal-kanal hitam putih yang dibuat itu, dan bahkan tidak mempermasalahkan apalagi peduli soal itu.
Lima belas menit kemudian kapal kami merapat di pelabuhan Harbour Front, ada kereta gantung dan kemudian pemeriksaan paspor. Lalu biar nggak terlalu "rugi" sudah bayar fiskal kami mengeksplorasi lagi beberapa perhentian. Tak ada preman, tak ada warung kopi atau angkringan, tak ada sawah di kiri kanan jalur kereta.

No comments: