Monday, May 26, 2008

100 tahun Harkitnas dan penggantian banderol kios minyak

Masih dekat-dekat dengan 100 tahun kebangkitan nasional.
Tiga hari sebelumnya sebuah perayaan besar di Senayan.
Ada tarian, ada pertunjukan seni, ada pembacaan puisi lalu ada ikrar.
Soal 100 tahun itu kalau sebuah company maka survivability jangan ditanya lagi. Kalau pun pohon jati atau maoni, maka kualitas kayunya juga jangan ditanya lagi. Kita memaknainya dengan bermacam-macam kegiatan Toh makna akan cuma jadi sekedar makna bila cuma tersimpan di catatan saja. Sebagaimana selalu kita ulangi yang sudah-sudah.
Kita selalu demam apa saja, kita gumunan dan saat ini demam memaknai.
Kita demam memanggil siapa saja yang kata pasar adalah obat.
Para Motivator, Para Kiyai, Achli Ekonomi, Komentator, pengarang buku atau buku-buku bacaan best seller. Bukankah obat itu akan tinggal sebagai obat bila dia menetap di etalase ego kita?

Karena perjuangan adalah perwujudan kata-kata, keyakinan dan logika. Karena bila tidak kita cuma akan menjadi produsen komitmen.
Ya dan jangan lupa, disamping obat kita juga harus menyempatkan diri olah raga gerak badan. Ya karena kebiasaan kita mengamati alam raya, ekonomi atau rakyat dari restoran bintang lima bagaimana pun tetap membuat tumpukan lemak bila tidak diolah menjadi kalori. Biar lemak-lemak yang membuat paha kita di bawah selangkangan beradu dapat dikikis. Biar lemak di perut kita yang menyimbolkan kemakmuran jangan terlalu tebal. Dan lemak yang menumpuk di dalam darah atau di bawah kulit bila tidak kita atur bisa jadi penyakit. Akhirnya buat apa pengetahuan yang tinggi, intelektualitas yang menawan bila fisik & psikis justru dirundung sakit? Lalu kita tidak dapat berbuat banyak buat lingkungan.
23 Mei 2008 malam hari akhirnya diumumkan juga penggantian banderol kios bensin.
Kalau ongkos angkutan naik, ongkos produksi pupuk naik, bahan makanan di pasar naik, biaya melaut para nelayan naik, lalu apakah para petani & negara nelayan sebagai simbol negara maritim & agraris dapat mengkompensasi dampak kenaikan harga-harga. Petani & nelayan juga butuh minyak goreng, sampoo, obat nyamuk dan obat sakit kepala. Toh akhirnya mereka juga tidak mungkin bertahan hidup dengan makan beras atau ikan saja. Bisa jadi terpeliharalah kasta-kasta miskin yang memang tidak cukup ditutup dengan 100 ribu, yang sejak demokrasi kita menangkan, 100 rebu diyakini tidak menutup laju dampak kenaikan harga.
Hujan emas di negeri orang lebih baik dari hujan batu di negeri sendiri? Konon di Arab sana dari tahun 80an, 90an, 2000an sampai sekarang teh susu segelas 1 real. Saat ini di warung nasi becak paling murah, teh manis sudah menembus Rp 1000 dari Rp 50 yang pernah terrekam di memori "belum lama ini"
23 Mei 2008 itu semua setasiun TV ada siaran langsung.
Beberapa soal perubahan banderol bensin beberapa lagi reality show pemilihan bintang idola.
Kata siapa rakyat bersedih karena harga-harga naik, buktinya rakyat tetap bergembira mendukung idola-idolanya.
Penonton pengumuman mentri adalah para pengusaha pemilik modal yang sedang menghitung kalkulasi kompensasi kenaikan harga, apakah PHK buruh, apakah menaikkan harga produk, apakah penghematan kompensasi tanggungan kesehatan buruh, sejauh mungkin margin keuntungan jangan turun. Toh margin keuntungan yang tetap saja sudah dikompensasi nilai pasar yang makin tinggi.
Penonton reality show notabene kebanyakan adalah rakyat yang perlu mimpi dan lamunan yang tergantung di etalase toko-toko dan dialirkan deras dalam semua setasiun televisi, untuk sekedar semalam melupakan desak kesulitan tantangan hidup. Entah apalah yang akan mereka kompensasi?Apakah biaya dan kualitas sekolah, kualitas gizi anak mereka, atau masa-masa terbaik anak-anak yang seharusnya dihabiskan di lapangan bola sekolah, di danau rawa tempat mereka memancing, atau di tengah2 hutan saat mereka menjerat burung dengan getah. Apakah waktu2 terbaik mereka harus dialihkan ke pabrik plastik, perempatan jalan atau ke tengah lautan menempuh bahaya membantu bapak, om atau pakdhe mereka? Agar mereka dapat memperoleh tambahan rupiah untuk belanja kopi susu sachetan dan mengecas aki. Kopi agar ada sedikit kafein yang masih menyemangati hidup, susu agar minimal ada asupan gizi protein hewani & lemak. Lalu tak lupa charge aki agar tiap hari masih dapat dinikmati mimpi-mimpi yang dipajang di kuis-kuis, sinetron atau pentas idola, ya sebagai pengobat luka yang sama-sama diketahui tak pernah menyembuhkan.

3 comments:

Anonymous said...

aku jadi terharu nih, bagus banget tulisanmu mas.2 thumbs Up!
Refleksi yang bikin aku tambah miris dengan negeriku sendiri.Aku sampai gak mau nonton berita di TV, gara-gara tiap hari ada yang mati karena alasan... lapar.Alasan jaman dulu, tapi masih berlaku.
Wuaaaah aku kesaal, sebaaal, dan maluuu. Kapan semuanya akan berakhir happy ending...
Tidak hari ini, mungkin besok..semoga.

Anonymous said...

idealis dan jujur. SIP!!!!

Christ Widya Utomo said...

negoro sugih, rakyate kere.
negoro kere, opo meneh rakyate.
pengen ra kere,
jo dadi rakyat.