Thursday, May 29, 2008

Quo vadis idealisme pendidikan nasional


Masih inget buku-buku pelajaran terbitan balai pustaka saat kita SD dulu?
Mungkin itu layak menjadi buku-buku terbaik sepanjang masa.
Buku-buku membekali fundamental thing sejak ini ibu budi.
Di belakangnya atau di depannya selalu ada tulisan dalam kotak kecil semacam peringatan di bungkus rokok, merokok merugikan kesehatan itu.
Di kotak itu ada tulisan, "Rawatlah baik-baik buku ini, tahun depan adikmu yang akan memakainya." Dari situ saja sudah bicara soal meneruskan hal-hal yang baik kepada 'adik' yang belum tentu dikenalnya.
Konon di negara yang peradabannya sudah maju sana, buku-buku macem keluaran balai pustaka inilah yang masih digunakan dari primary school. Niven beruntung dapet buku2 bagus seperti itu buat kelas satunya, kebetulan kurikulum campuran nasional sama interkontinental. Di sana sini ada ilustrasi yang lucu dan menarik yang memudahkan kita memainkan kemampuan luas semua sisi otak kita. Kalau kita gambarkan sebagai arus sungai, maka buku2 fundamental seperti itulah arus utamanya, di luar arus utama sungai kita akan ketemu arus samping, eddies dll buat kita istirahat saat berperahu. Pada arus2 non utama itulah peminatan dimunculkan, ada musik cara bermain gitar, arsitektur komputer, TCP/IP, komunikasi satelit atau sastra jawa kuno atau sekedar Bank Soal penyelesaian model2 soal Ebtanas, Siap EBTA, Siap Pra EBTA, Siap semesteran, Siap UMPTN dll. Coba kita tengok materi setandar untuk para penerus kita, anak-anak atau adik-adik kita dari awal sudah dijejali soal2 instan macem cara cepat tembus Ebtanas tadi. Mungkinkah main flow masalah dapat ditangkap oleh mereka, karena waktu mereka hanya habis mengerjakan soal-soal bukan bagaimana mengatasi persoalan. Bukan konsep yang coba ditangkap, tapi jadi hapalan menyelesaikan kasus, pola pikir yang terpola(?). Ostosmatis tiap tahun belanja buku anak-anak sekolah untuk hal-hal yang tidak membentuk pemahaman konsep akan makin besar karena makin beragam.
Keadaan berlanjut, beberapa hari di tivi, pada awal2 tahun ini dalam ulangan umum, sekolah-sekolah saling berebut pamor atau mempertahankan supremasi salah satu caranya dengan menyebarluaskan kunci jawaban kepada anak didiknya, para guru secara terorganisir mengkondisikan nilai yang harus dicapai untuk melewati passing grade. Jual beli kunci jawaban menjadi hal yang wajar, dan dilegalkan di bawah meja. Benang kusut tanah air akhirnya masuk juga ke relung dunia pendidikan kita yang selalu kita anut idealismenya. Lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang dulu kita nyanyikan dengan haru untuk mengiringi kepindahan salah seorang guru kami pada satu dua dasawarsa berikutnya menemui ironi.Ya, irama hidup sepertinya semakin ketat dan cepat laksana hurricane atau tornado yang menjadi pokok bahasan diskusiku dengan Niven dalam perjalanannya ke sekolah pagi tadi. Untuk penguasaan sumber-sumber daya, kantong-kantong ekonomi, eksistensi, simbol status atau aktualisasi. Hanya pilihan cara bertahanlah yang sepertinya berbeda-beda, apakah ini juga sebuah berkah fatamorgana demokrasi yg dulu kita impikan bersama-sama di jalanan?

2 comments:

Unknown said...

Artikel di blog anda bagus. Coba pasang widget infogue.com seperti punyaku. Bisa nambah traffik lho padahal blogku belum berumur satu minggu.
Nich blogku:
http://padhepokananime.blogspot.com/
artikel anda di:
http://pendidikan.infogue.com/quo_vadis_idealisme_pendidikan_nasional

Anonymous said...

buku jaman eto mendidik siswa untuk jadi leader bukan sperti buku sekarang, yang mendidik siswa cuma jadi tukang itung, tukang baca, tukang catet..so makanya sekarang kita krisis leader