Friday, June 6, 2008

Semoga menyesatkanmu

Semoga menyesatkanmu,
untuk sempat singgah di rumah seorang jagawana atau polisi hutan di desa torean kaki gunung rinjani. Lalu menyempatkan diri menjenguk ada apa di dapur rumahnya karena sepertinya memang tidak ada apa-apa disana untuk disuguhkan. Aku berharap tangan2 dinginmu segera mengambil inisiatif membuka sisa bekal perjalanan kita. Kopi, teh, gula, biskuit, ikan asin atau sardin. Agar sejenak kemudian akan terhidang di hadapan kita makan pagi yang cukup standar bagi kita orang kota, tetapi hidangan pesta bagi keluarga mereka. Sebelum bila matahari mulai meninggi dan kita beranjak dari rumah itu, menuju pangkalan ojek yang membawa kita ke peradaban. Semalaman mimpi kita diayunkan di balai-balai dingin, yang dihangatkan dengan persahabatan dan aura alam raya.
Semoga menyesatkanmu,
untuk sempat singgah di warung wedi ombo. Permulaan jalan setapak yang mengantarkan kita ke tebing-tebing karang. Lalu semalaman kita bergelut dengan dingin malam sambil mencoba peruntungan kail-kail yang kita pasang di tebing-tebing lemah abang. Menunggu ikan-ikan yang tersesat menyongsong umpan-umpan kita, lalu kita akan berpeluh dan bersitegang agar buruan dapat kita amankan. Paginya akan kita susuri kembali jalan setapak, lalu singgah di warung itu. Lalu kita akan belajar bagaimana rakyat kita bertahan hidup, di tengah kekurangan air, minimnya modal memilih sebuah usaha,dan alam yang keras. Dan disana kita mulai mempercayai kebenaran sebuah firman yang bercerita tentang burung-burung. Gorengan dengan minyak jelantah dan secangkir kopi yang biji-bijinya tertumbuk kasar, memberikan cafein yang memompa darah ke otak kita dengan lancar, lalu otak kita menerawang jauh menembus ruang dan waktu, menemui masa-masa terbaik kita.
Semoga ini menyesatkanmu,
sebuah jalan setapak yang berdebu, yang mengantarkan kita kepada keluarga seorang pemburu tulen di kaki bukit tunggul. Seorang buruh penggarap kebun sayur yang handal. Mungkin kami tidak akan bertemu lagi, tetapi kata hercules dalam sebuah film, sebagian dari dirinya akan terus hidup. Semoga saja hari ini jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Singgahlah langsung ke dapur, di sudut paling kanan ada tempat air dan disebelahnya ada tungku dan sebelahnya lagi ada semacam meja atau lemari. Taruh saja kopi, gula, teh, ikan asin dan beras di sana. Kita berharap siang itu akan menjadi hari yang menyenangkan, sambil mengenangkan pengalaman pahit di masa lalu, 10 tahun yang telah lewat. Saat badai krisis moneter memporak-porandakan keceriaan kampung ini. Dan kita cuma punya kopi encer untuk dinikmati warga kampung itu serta sebungkus rokok kretek, ya cuma itu yang kita punya kala itu. Siang ini seharusnya berbeda, aroma kopi yang kita bawa dari kota, yang dipanen petani dari bukit-gunung di flores, aceh, bengkulu, sidikalang, kalimantan atau toraja. Aroma kopi dari tempat-tempat terbaik di tanah air itu biarlah bertemu aura bukit tunggul. Jangan kawatir, dinginnya geger sunten dan kebun kina akan memberikan kekuatan, seperti para highlander.
Semoga membantu menyesatkanmu,
puisi-puisi terbaik yang menghembuskan angin kekuatan untuk bertahan hidup, atau lagu-lagu yang menyanyikan kemanusiaan dan alam tanpa harus terdengar menggurui. Atau petuah-petuah para pengembara, pemburu praire, penjelajah sudut-sudut dunia yang kata-kata dalam kalimatnya tentu timbul dari pengalaman hidup, pahit dan manisnya, yang terceritakan dari gurat-gurat wajahnya, ya ini racun empedu yang mengaktifkan imun kita.
Dan kalaupun sesekali berbicara soal cinta, mestinya dia menjadi sesuatu yang mengalir saja seperti angin gunung yang membawa daun2 jatuh di tepian hutan dan tidak cengeng diucapkan, biarlah sederhana saja, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu. Atau seperti kata yang tak sempat diucapkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Ya, semoga membantu menyesatkanmu.

1 comment:

Artika sari said...

sulit bung untuk tersesat..ketika mencintai seseorang dengan sederhana..rasanya sukar untuk terjebak ketika memiliki dengan sederhana..
ya..seperti kata yang diucapkan api kepada kayu ketika menjadikan nya abu..[ sapardi djoko damono]