Monday, October 6, 2008

THR

Hari raya kemarin seperti juga tahun-tahun sebelumnya.
Diwarnai aktifitas nukar uang ke pecahan lima ribuan, sampai lima puluh ribuan. Dengan berbagai istilah mulai angpau, sangu, buat beli es, buat beli permen, buat beli bensin, buat jajan, (meski tidak tidak dapat dilarang juga bila buat beli mercon atau kembang api), dan jarang juga kita bilang buat ditabung. Dari mulai tamu2anak2 kecil keponakan, famili, dan seterusnya sesuai "kelompok umur" & jauh dekatnya di sisi jarak dan kedekatan emosional, semacam sering tidaknya kontak.
Sebagian anak2 kecil tersebut rupanya juga mengenal istilah THR yg tentu mereka belum tentu tahu singkatan dan artinya adalah Tunjangan Hari Raya, yang biasa ditemukan di dunia kerja atau industrial, berupa tambahan pendapatan/insentif untuk pegawai negeri atau swasta, karyawan perusahaan, buruh pabrik dan lain sebagainya.
Tidak terkecuali Niven. Sejak keinginannya minta telor naga atau telor dino tempo hari dapat kami persuasi dengan argumen2, -"coba gimana kalo belinya pake uang kakak sendiri, nanti lebaran kakak dapet dari wak Doni sekian, dari nenek sekian, nanti kalo kurang, ditambahin dr papa atau mama."- Sejak itu dia selalu bersemangat nagih "THR" ke uwaknya & ke neneknya.
Sampai kemudian "pesta" lebaran mulai usai dan famili2/saudara2 kembali ke habitat masing2. Dan Niven mulai menghitung total THR-nya. 65 ribu rupiah, setelah 13 ribu sebelumnya terkurangi buat beli mainan pistol. Kalau telor naga itu 99 ribu, maka masih ada kekurangan 34 ribu, kalau Batman yg pakai sayap pasangan kurang 55 ribu, lalu kalau jenis yang lebih bagus masih kurang 135 ribu.
Dalam momen ini kami ingin menguji-nya, sebagai seorang anak yang mulai tumbuh agak gedhe, tepat 7 tahun pada 6 Oktober ini yang memang tidak pernah dirayakan, kelas 2 SD dan sebentar lagi bisa jadi masanya tiba, dimana ber-akrab2 dengan teman-temannya lebih menyenangkan bila dibandingkan dengan ber-akrab2 dengan keluarganya.
Kurang manusiawi juga kalo kami tidak memberikan "gambaran2 jalan keluarnya", beberapa diantaranya :
1. Ngapalin kurang2an bilangan <= 10, dgn cepat, tanpa mikir dulu, gak pake: nganu, berapa ya? apa? bila sdh cepat dapet 10 rebu
2. Mijitin papa, 15 menit 5 rebu
3. Ngerjakan soal kurang2an gunggung sungsun, 5 soal ringan, semua 10 ribu lagi
4. Mau sering dapet tambahan, sering2lah menawarkan diri mijitin papa

Kemudian juga, untuk "memperbuas" keterlibatan si Rakhekniven ini sebagai obyek yg diuji, terpaksa buka2 lembaran masa lalu. Cerita padanya soal kemiskinan saat kuliah dulu, krn kiriman jelas pasti kurang, ditambah keinginan yang sudah banyak buat nongkrong, ngopi, sekali-sekali beli rokok, akhirnya sempat nyuci mobil angkot-nya tetangga kos, buat ndapetin 1000 rupiah di tahun 95an, setara dengan sekali makan. Sebagai pendapatan lain-lain selain ngutang, yang beberapa diantaranya baru terbayar beberapa tahun kemudian.
Saya teringat tulisan seorang kawan saya :
Saya pikir penting untuk membentuk budaya, entah di organisasi atau di dalam keluarga sekalipun, dimana menciptakan kondisi sedemikian rupa orang-orang yang ada di dalamnya di bawah tekanan (agak). Berikan perlakuan pada sisi psikologisnya dengan memberikan sedikit rasa takut, agak cemas akan kekurangan dan kehilangan alias untuk menghindarkan mereka dari zona nyaman. Karena pada prinsipnya, setiap orang tidak enak dalam situasi demikian, sehingga ia akan berusaha untuk mencari cara untuk memperoleh keseimbangan yang baru.
Ya, pelan-pelan saya sadari juga, bahwa saya mulai "memperlakukan" orang lain dengan standard-standard saya. Dengan hal itu saya berharap, dia "menyepakati" sebuah konsep hidup, diantara berbagai konsep yang telah dan akan ada. Yaitu soal usaha atau perjuangan mencapai keinginan. Setidaknya hari ini, baru konsep itu yang dapat kami berikan dan tawarkan, memang semua ini tentu dipengaruhi bagaimana riwayat dulu mendapatkan pandangan hidup atau filosofi hidup yang kemudian menjadi panduan dalam menghadapi berbagai lika-liku sebagai manusia. Ditambah polesan dari self learning manusia dalam beradaptasi & belajar, trial & error, mengevaluasi rencana dan pencapaian, atau interaksi dengan lingkungan, buku, alam raya, manuasia-manusianya. Semua-nya mestinya selalu dinamis, benar salah tepat dan tidaknya, waktu juga nanti yang kelak memberikan beritanya.

3 comments:

Artika sari said...

Mari kita sedikit berteori.. ;)

15 menit = 5 ribu

artinya jika si kakak mau memijit 1 jam maka, ia akan meraih 20 ribu
dari kantong papa -nya, waktu boleh diakumulasikan tentunya,
misal . . .

10 menit ketika nonton tv +
25 menit sebelum tidur +
10 menit ketika santai +
waktu - waktu lainnya,

jika satu hari dihabiskan untuk memijit selama 2 jam maka
ia bisa mendapat 40 ribu rupiah,

wowww maka....
Dalam 1 bulan akan menjadi...

40.000 x 30 = 1.200.000

dan selera mainan akan berubah tentunya,
tidak lagi Telor Naga ataupun pistol-pistolan
tapi jadi " Sepeda Gunung" atau mungkin " PSP "

benar - benar peluang bisnis yang menjanjikan,
walau saya tahu bahwa pesan yang disampaikan disini
adalah untuk melatih si anak agar dapat lebih mandiri,
tapi tidak ada salahnya sekalian mempelajari ilmu bisnis


Ayooo kakak......

Anonymous said...

Meski belum pernah ketemu Niven, tapi dari ceritanya, jagoan kecil itu cerdas, sehingga dipastikan pandai membaca situasi dan menangkap peluang. Setuju dengan Artika nih. Jadi, buat sang ayah hati-hati juga menerapkan prinsip No Pain No Gain-nya itu. Saya jadi ingat teori perilaku. Reward akan menguatkan perilaku, tapi takutnya kalau ternyata kecanduan akn rewardnya ntar ortunya kewalahan juga he..he..Jadi ortu susah-susah gampang. Keep trial and error!^_^

Anonymous said...

sah2 saja ada reward
termasuk juga jika ada punishmentnya
misalnya janji mijit 15 menit tp sudah brenti di menit ke-10, kenakan denda... hehe...
tapi bukan itu esensinya

tanggung jawab akan orientasi
bisa jadi itu kata kuncinya.

jangan sampai orientasinya berubah dari sekedar proyek mainan menjadi sesuatu yang kontinu, bisnis massage misalnya :-)
bagus sih, terutama jika tantangannya ditingkatkan. tapi dalam konteks trial & error ini, akan menyimpang dari tujuannya jika masalahnya jadi melebar. tanggung jawab tetap fokus ke tujuannya.