Tuesday, July 1, 2008

Bangka Belitung : berlabuh membawa nikmat


Senin kemarin pagi-pagi sekali saya sudah di angkasa Selat Bangka untuk kembali ke dunia nyata Palembang, itu adalah penerbangan pertama bagi kawan saya dik Nikon D80. Setelah sebentar mengabadikan beberapa momen lalu berkesempatan juga baca inflight magazine-nya Sriwijaya Air, lalu di hadapan saya tersajilah sebuah halaman dan foto, soal Jogjakarta, dengan transportasi barunya, TransJogja. Kucoba menebak-nebak lokasi tempat foto itu diambil. Tidak ketemu juga, biarlah menjadi sebuah misteri kecil.
Tepat setahun lebih sedikit sejak kuterima sepucuk surat dari para dewa yang mengharuskan kami move to dan berlabuh di Andalas. Untuk beranjak dari balai-balai nyaman Jogjakarta Hadiningrat. Meninggalkan segala harmoni yang mengikutinya : ketegaran, ketenaran dan gejolak Merapi, liku-liku Pegunungan Seribu yang bukit2 purbanya selalu menyimpan misteri yang tak pernah terucapkan lalu pantai2nya dan seleksi alamnya yang demikian khas hingga sesekali terdengar di koran demikian beratnya desak kesulitan hidup sehingga harus mengakhiri sendiri hidup yang demikian berharga, hamparan Perbukitan Menoreh yang menyimpan sejarah panjang peradaban manusia yang di lembah-lembah selatan-nya terhampar sawah yang menghijau di suatu musim yang akan teramati dari jendela kereta api ekonomi, belaian angin dan ombak laut selatan yang mengirimkan hawa murni yang demikian kecil molekul-molekulnya sampai dapat melewati sel-sel otak dan memberikan kesegaran, lalu tentu angkringan yang selalu aura panas kopi-nya melambungkan mimpi-mimpi soal kemerdekaan, demokrasi atau soal wanita. Tak lupa kampung Condong Catur yang nyaman permai. Tapi itulah hidup, ada juga waktunya dimana posisi tawar kita sedemikian lemah lalu tidak dapat memilih atau kuasa menolak, atau justru tidak berani mengambil resiko.

Waktu berjalan, alhamdulillah pelan-pelan muncul juga semangat "bertahan hidup" untuk lolos seleksi alam sambil sesekali memainkan otak untuk menikmati pengalaman2 baru. Mengembara, menemui tempat-tempat baru, adalah pengalaman yang gilang gemilang. Itu menambah kekuatanmu. (Scouting for Boys, Lord Badden Powell) Tumbuh kembali semangat mengexplorasi, mengamati, mencatat, mendokumentasikan, menulis dan menggerakkan(?).
Ya, bagaimana pun, untung saja tidak terus berdiam di Jogjakarta
yang nyaman. Untunglah kami didekatkan dengan hal-hal yang sdh sejak lama dicita-citakan. Melihat keindahan Indonesia dan masyarakatnya dari dekat. Pelan-pelan kunikmati juga iramanya bagian barat Indonesia ini. Ya, belaian angin Laut Cina Selatan yang demikian berenergi mengusap kita langsung tanpa perantara yang kemudian bertemu dengan hembusan angin laut Jawa yang tenang dan berwibawa, serta angin daratan dari punggungan panjang Bukit Barisan tulang belakangnya Sumatra yang bertemu kawan-nya yang datang dari kontinen Kalimantan. Betapa energi-energi itu bersepakat bertemu di satu tempat di Kepulauan Bangka Belitung. Negeri dengan pantai-pantai yang indah seperti yang diceritakan menjadi tempatnya dewa-dewi kayangan, tempat bertemunya dewi bumi dan dewa laut. Tempat nelayan yang bersandar di dermaga Toboali atau Koba, atau kuli-kuli panggul dan Tardi, penjual bakso perantauan asal Wonogiri, yang bertahan hidup di pelabuhan Pangkalbalam berharap rezeki dan kesehatan dan atau berdo'a akan hasil laut yang menggembirakan atau jualan yang laris, agar derap "ekonomi mikro" dan pendidikan generasi berikutnya tetap terpelihara.
Meski saat ini bensin di SPBU cuma berdinas sampai jam 3 sore karena stok terbatas, meski truk-truk pengangkut kebutuhan pokok harus antri 24 jam untuk mendapatkan jatah solar, konon sayup2 terdengar bahwa solar lebih menguntungkan dijual ke Singapore, dan lalu ikan ketarap yg kita cuma boleh menikmati sup kepalanya krn daging badannya sdh juga ke negeri sebrang. Meski konon ada seorang Dewi Sandra atau Andrea Hirata yang mengangkat negeri ini untuk menjadi populer dan "diterima pasar". Meski sebenarnya bisa saja itu tidak penting, toh tanpa itu pun akhirnya "barang bagus" akan tersiar kabarnya juga, atau warung yang enak akan termasyur meski berada di gang-gang sempit. Soal waktu saja. Dan tidak baik kita mengkarbit durian petruk galur unggulan, karena hanya untuk memenuhi selera pasar, karena toh akan matang juga dengan citarasa yg tepat. Biar saja pantai-pantai itu menjadi pantai-pantai rakyat dengan warung kopi sederhana tanpa harus menjadi simbol menangnya pemilik modal, yg terpenting adalah bagaimana rakyat kita menjadi terdidik untuk membuang sampah pada tempatnya karena ini juga akan berarti rakyat kita sudah menaruh atensi ke lampu traffic light.
Empat hari bergerak dari Mentok, PangkalPinang, Sungai Liat, Koba dan Toboali dan beberapa bulan sebelumnya beberapa hari di Pulau Belitung, waktu yang sangat minimal untuk sebuah explorasi yang lengkap. Cuma harapku semoga aku telah benar memperoleh sari pati-mu. Ya, Bangka Belitung telah memikatku. Semoga satu hari nanti aku berkesempatan menjelajah lebih dalam, dengan seorang dua kawan, salah satunya harus motor trail-ku, yang akan kuajak berlayar lalu sejurus kemudian bersama menemui sudut2mu, lalu kita ukir bersama catatan-catatan kita untuk kita sampaikan kepada dunia dan sahabat-sahabat kita.


1 comment:

Anonymous said...

kunjungi http://forum.up-with.com