Monday, July 21, 2008

Jogjakarta, stranger in the homeland


Bahkan tak sempat kami menyapa tanah perdikan condongcatur yang nyaman damai yang tersimpan dalam memori kami dalam sebuah album emas. Hari demikian cepat bergulir, ya, memang demikian sepertinya kalau kita sedang menjalani perjumpaan dengan yang kita kasihi. Definisi detik, menit atau jam bahkan tidak menjadi penting lagi, karena toh tahu-tahu batas waktu sudah menyampaikan aba-aba.
Tapi dalam hatiku masih jauh bersyukur, karena telah kami rancang perjumpaan bahagia selanjutnya, dalam alam yang bebas merdeka. Soal waktu saja, serta izin Tuhan. Karena belumlah dapat menawar tugas kami. Jauh lebih memberikan pengharapan bila dibandingkan ex tapol PKI yang terasingkan di tanah Pulau Buru atau bahkan di tanah Eropa. Bagi sebagian tidak banyak waktu dan kesempatan untuk menjenguk kembali tanah yang dicintanya. Sebuah tragedi, dimana revolusi telah memakan anaknya sendiri.
Tapi kisah kami bukan tragedi dan tidaklah istimewa, cuma cerita manis romantisme perjumpaan dan perpisahaan, layaknya kisah percintaan dua makhluk yang terpaksa terpisahkan oleh jarak dan waktu. Lalu jantung kami berdegub haru saat kami merasakan getar perjumpaan, roda2 mulai menggulirkan kami memasuki Salam, Jembatan Krasak, Tempel, Sleman dan selanjutnya Jogjakarta. Alam, manusia dan lingkungan dimana kami pernah menikmati masa-masa terbaik kami.

Bahwa kemudian harus menyerah pula kepada waktu, tapi masih sempat kuucapkan cintaku, di Stasiun Tugu, Malioboro, Prapatan Kantor Pos, Kusumanegaran, Kotabaru, Pugeran dan tak lupa jalan Godean. Sabar sayang, jatah kali ini tidak banyak, karena soal waktu saja, dan izin Tuhan. Dan konon kerinduan dua sahabat akan memunculkan sejumlah energi, yang memberikan aura pendewasaan dan penghargaan. Meski jarak dan waktu juga sepertinya laten memaklumkan inkonsistensi, setidaknya selama pengembaraan, karena semua dengan justifikasi bertahan hidup. Dan justifikasi itulah yang melahirkan ekspansi dan penjajahan bangsa-bangsa, melewati batas explorasi.

Pagi dinihari itu, kopi pahit di gelas belimbing sampai ke ampas juga, dan teh melati manis pekat mengguyur biji-biji kopi hitam dari sela-sela gigi. Biar saja mereka menemukan harmoni. Dan tak surut cintaku padamu, meski sebuah operasi sandi telah melukiskan relung-relungmu dan menelanjanginmu lalu jalan-jalan setapak di tanah air kita. Setidaknya sampai hari ini, menunggu kembali waktu perjumpaan.





2 comments:

Anonymous said...

"Love the moment that comes into your life, so the energy of that moment will spread beyond all boundaries."

Anonymous said...

,,,,Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa terobati,,,,
Kangeeeeeeeennn.....pengen pulang ke jogja yang selalu berhati nyaman