Monday, July 14, 2008

Revolusi


Sabtu itu, 12 Juli 2008, tepat pukul 8.30 upacara pembukaan PDW 2008 di halaman gedung sate. Sebuah upacara yang sederhana, tidak ada ledakan, seperti kala itu tahun 96 yg lewat. Ledakan, yang tak wajar kita dengarkan di dunia nyata yang beradab, karena ledakan cuma ada di film, atau perang dan konflik sesungguhnya, sehingga satu yang kujanjikan ke Niven yang kuajak hadir, untuk diperdengarkan dalam upacara itu tidak menjadi kenyataan.
Masih dengan derap yang sama, 117 calon siswa, dan aroma yang sama siang itu: masih ada waktu untuk mundur Tuan! dan Senin ini adalah hari untuk diingatkan, bahwa masih ada 29 hari lagi untuk ditempuh!
Mengapa repot-repot melakukan hal-hal yang tidak enak? melewatkan malam di tengah hujan deras di gunung atau di hutan, dingin yang menembus sumsum atau "kemerdekaan" yang "tergadai" selama proses pendidikan. Ya, 12 tahun lalu dalam pendidikan yang sama, di kampung nelayan blanakan, pantai utara jawa, titik start rawa laut, kami seakan-akan merasakan betapa nyaman & sejahtera-nya para nelayan dibandingkan dengan kami para siswa yang hidup dalam simulasi tekanan. Yang nyaman tentu tidur di rumah atau di hotel, dan sangat wajar bila para pemuda pemudi kita lebih memilih gemerlap kota, karena kota menjanjikan segala kesenangan dan kenyamanan. Bapak kost-ku yang purnawirawan TNI saja berkomentar: wong legan kok golek momongan (sedang longgar nyaman kok mau repot). Hanya orang gila saja yang memilih membuat sendiri ujian-ujiannya.
Lalu, mengapa seperti itu. Pada saat mengikuti proses pendidikan itu, si siswa mengikuti dengan berbagai alasan atau ekspektasi, dan selesai pendidikan-pun akan memperoleh pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman perjalanan di gunung-gunung dan hutan rimba yang lebat, jurang-jurang yang dalam, tebing-tebing terjal, bergulat dengan jeram-jeram di sungai akan memberikan pengaruh kepada bentuk karakter seseorang. Mempertahankan hidup dalam fase-fase yang kritis sekalipun, sebagai bentuk penghormatan terhadap hidup itu sendiri demikian berharga. Termasuk bila terpaksa harus pulang karena fisik atau justru mental yg sdh jatuh.
Meski kita juga sama-sama tahu, pada saat melihat sebuah bentuk lingkaran yang sama-pun, masing-masing orang akan mempunyai ingatan, persepsi, asumsi atau pikiran berbeda yang coba dikaitkan. Hari Sabtu itu, meski dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan jumlah pemuda-pemudi Indonesia yang konon sekian puluh juta itu, sebuah generasi baru akan datang, dengan kesempatan yang relatif sama untuk mengalami sebuah revolusi berpikir, yang sampai hari ini masih kuyakini tidak akan didapatkan di kelas atau kursus yg nyaman ber AC, meski dari pembicara yang ternama sekalipun. Tabah sampai akhir Tuan!

2 comments:

Anonymous said...

Tabah sampai akhir Tuan!!!

Anonymous said...

Mantap Bung!!! Salut buat Wanadri.
Semoga generasi yang baik selalu lahir dari generasi baru W. Sukses buat PDW nya.

Btw, tidak hanya lewat PDW pemuda-pemudi Indonesia bisa menjadi generasi baru pejuang-pejuang nasionalis.

Tidak semua menajdi kapten, tentu saja ada awaknya.
Dan aku bukanlah pendiri candi, hanya pengangkat batu-batu.

Slayerku walaupun kucel, tetap merah. Tak ada niat nambah, apalagi ganti. ;-)

Salam,
Sukses selalu buat Wanadri