Thursday, August 21, 2008

Domain seni


kini kami berkumpul
esok kami berpencar
berbicara tentang kehidupan
berbicara tentang kebudayaan
berbicara tentang ombak lautan
berbicara tentang bintang dilangit
kami berbicara tentang tuhan
berbicara tentang kesejatian
tentang apa saja


Malam 17an itu, di TV ada konser bertema hari kemerdekaan. Iwan Fals dkk, ada Setiawan Djodi, WS Rendra, Jokie SP, yang tidak kelihatan muncul adalah Sawung Jabo. Agak berbeda dengan malam-malam 17an beberapa tahun sebelumnya yang sempat dilewatkan dengan malam renungan yang secara tradisional diperingati dengan lek-lekan, dengan ditemani ubi rebus dan teh manis kentel.
Bulan-bulan agustus ini secara kebetulan banyak sekali momen yang beriringan dan menyentil kembali sumbu-sumbu teplok nasionalisme, yang kekawatiranku lambat-laun bakal cuma jadi nostalgia masa lalu saja atau sesekali saja kita pakai saat listrik padam dan lampu emergency tidak bekerja karena kita lupa mengecharge-nya.
Dan malam itu seperti deja vu tahun-tahun 90an awal, saat iwan fals, rendra dalam swami, kantata takwa, atau dalbo menyuarakan potret sosial di sekitar kita. Bila kemudian dinyatakan malam itu bahwa penyampaian potret-potret itu sudah dilakukan sejak tahun-tahun 89, sekitar 10 tahun sebelum reformasi 98, memang benar adanya. Ya, saya ingat suatu siang dengan Mas Bejat, dengan kereta ekonomi dari Bandung ke Karanganyar, dalam suatu gerbong kami bertemu suami istri bule yang terkagum-kagum dengan alam Indonesia yang terlihat dari jendela KA. Obrolan kami dalam bahasa Inggris & bahasa tarzan, sampai juga kepada kondisi sosial ekonomi rakyat Indonesia, setidaknya dalam potret subyektif kami. Gemuruh roda kereta api, keterbatasan jumlah vocabulary yang kami miliki dan sesaknya kereta karena lalu lalangnya pedagang, akhirnya membatasi kami. Dan cuma dapat kami berikan kaset Dalbo, duet Iwan & Sawung Jabo, yang kami dapat di loakan pasar Cihapit, kepada si bule. Moga2 ia sempat mendapat penerjemah, untuk mengartikan potret-potret Indonesia di dalam lagu-lagu itu.
Mengapa potret-potret muram yang tergambar kira-kira 20an tahun lalu masih saja relevan dengan kondisi saat ini. Sepuluh tahun sebelum dan sesudah reformasi 98, yang meniupkan uap-uap demokrasi dan kesejahteraan dalam alam mimpi kita.
Malam minggu sebelumnya, dalam lingkaran api unggun di pojok tepian hutan diatasnya kawah upas, dalam belain udara dingin yang kami lawan dengan secangkir kopi,kami menikmati mendengarkan lagu-lagu dalam bahasa Jepang, dari tape toni/waton muni land rovernya Tengku Ivan, yang benar-benar tidak kami mengerti artinya, yang konon katanya direkam dari piringan hitam perang dunia ke-2, saat Jepang masuk merangsek ke Asia Pasifik, dalam pertempuran-pertempuran di Saipan, Guadalcanal, Rimau, Tarakan, Phipipina atau Indonesia. Yang lagu-lagu itu mungkin berbicara
soal Ibunda Pertiwi yang selalu merindukan mereka dan sebaliknya mereka merindukan tanah airnya atau keluarga mereka dari tanah-tanah yang jauh, pahlawan-pahlawan yang mungkin tidak pernah kembali. Tapi yang mungkin berbeda dengan kenyataan lagu-lagu itu adalah, tanah air yang mereka cintai dan mereka rindukan adalah tanah air yang hari ini pemerintahannya telah menjadikan rakyat & negerinya menjadi menjadi unggul dan berada di barisan depan bangsa-bangsa di dunia. Sekian tahun dari setelah tragedi bom atom membinasakan hiroshima & nagasaki, dan mereka memulai segala sesuatunya mulai dari minus.
Tanggal 17 agustus tahun 2008, di sela-sela memainkan kamera untuk mengabadikan momen2 lomba 17an-nya niven, kukhri, beryl & ema, secara bersamaan tumbuh kembali rasa rinduku mendengarkan lagu-lagu itu, potret-potret tanah air kita yang mulai dilagukan sejak 90an itu dan lagu-lagu pejuang negeri sakura yang mungkin mulai dilagukan sejak awal 40an.

....
di lingkaran kami berpandangan
di lingkaran kami mengucapkan
aku cinta padamu




No comments: