Wednesday, August 27, 2008

Legend of the fall

Seorang Tristan kembali dari pengembaraannya ke tanah-tanah yang jauh di pelosok-pelosok dunia, untuk ayahnya sang kolonel Ludlow -yang sangat mencintainya, meskipun secara lahiriah banyak memberikan tekanan dan hal-hal yg tidak menyenangkan dari kaca mata normal- yg mengalami stroke saat anaknya pergi, dihadiahkannya kenang-kenangan suvenir dari pelosok-pelosok dunia.
Dan untuk kawan karib-pembantu ayahnya yang setia yang sekaligus gurunya, seorang American Indian, One Stab, dihadiahkannya sesuatu yang sangat spesial, kalung yang terbuat dari untaian taring babi hutan, kenang-kenangan dari prajurit Jawa! Ya, adegan yg terakhir itu membuat darah saya berdesir dan merinding. Meski sebagian kisah adalah fiksi.
Saya senang krn kemasyuran prajurit Jawa sempat menjadi perbincangan di dunia (de Graff, Runtuhnya Mataram), sambil menyadari di sisi lain adalah sebuah "ironi", mengapa pioneer-pioneer dalam sejarah dengan bukti-buktinya bukan dari ras sawo matang. Ras kita. Kita sebagai ras yang "dikunjungi", obyek, dari berbagai hal. Dan dalam dasawarsa ini mengapa ras-ras lain unggul & "menguasai dunia", putih, kuning. Mengapa mereka merajai olimpiade? Apakah cuma olahraga saja? Rupanya tidak, mereka juga merajai ekonomi, teknologi, hukum, kebudayaan, media dan lain-lain. Lalu mengapa seperti itu? Nasibkah? Garis tangan dari Tuhan? Jenis sel penyusun tubuh yang berbeda?
Apakah ini bukan mungkin karena sejarah budaya masa lalu mereka yang sangat kuat dengan keinginan tahuan & explorasi, lalu menuai buah-nya sampai hari ini? Petualangan baik di sisi mind maupun fisik. Penjelajahan, penaklukan, explorasi, penelitian dan pengembangan mereka yang terus berevolusi & berrevolusi dalam metoda & bentuk terus memanen hasilnya sampai hari-hari ini. Dan kita tentu tidak lupa, bahwa hampir selama 400 tahun kita memang mengakui supremasi ras putih dan kuning itu, atas ras kita. Kita cukup puas menjadi pasar produk-produk ekonomi, hukum, literatur, media dan budaya mereka. Kalau itu sebuah "default value", semoga itu tidak terus-menerus kita pertahankan, meski tanpa kita sengaja.
Dan saya, dengan segala subyektifitas sehingga menyimpulkan hal-hal di atas, lalu kadang secara naluri berusaha mempengaruhi siapa pun yang saya temui, karena saya berharap, racun atau protagonisnya =value yg saya rasakan akan tertularkan. Seperti iklan rokok marlboro beberapa tahun yang lalu, ketika seorang koboi tua sedang menghirup kopi dari cangkir logam dengan senyuman, sambil dia memperhatikan seorang koboi muda, -boleh jadi itu anaknya-, ketika si yang muda telah melewati ujian menjinakkan kuda liar, seperti yg pernah dilakukannya beberapa tahun yang lewat dan diajarkannya.

3 comments:

Anonymous said...

wah, nek ngomongin ras itu ga bakalan ketemu masalahnya om.
kita ga kalah kok. standar2 yang dipakai penilaian itu kan standar ras yg merasa menang.
coba cari sisi lain untuk menilai di mana kita bisa dibilang kalah atau sebaliknya.
yin yang, positif negatif, panas dingin.
pasti ketemu deh...
salam

Anonymous said...

Dalam eui! Tergantung racun apa yang ditularkan. banyak racun bisa jadi imun. Mungkin kita sudah kebanyakan diracuni oleh ras-ras itu. saatnya didetoks dulu. Kita gak unggul karena patronnya mereka, gak yakin dengan kemandirian kita sendiri. Good Will!

Mas Komandan said...

Iya om, memang masalahnya bukan soal ras. Dan memang sejak hari kemarin kita diminta membuktikan keunggulan & jatidiri kita, termasuk soal definisi "peradaban", HAM, "ramah lingkungan", konsep pengelolaan SDM/HR atau demokrasi. Dan perjuangan adalah perwujudan kata-kata.