Friday, August 15, 2008

Malam itu bicara HAM


Dingin malam itu kami hangatkan dengan unggun api yang nyalanya mencukupi. Sesekali tangan yang terdekat menjaga kobarnya dengan menusuk-nusukkan ranting atau menambah dengan batang2 kering cantigi. Hari itu demikian melelahkan dengan banyaknya pekerjaan fisik untuk persiapan sebuah upacara. Diantara kami 2 orang baju hijau satuan elite di tanah air yang membantu pengkondisian upacara penutupan sebuah pendidikan. Di dalam kepulan asap unggun api dan tembakau dari berbagai merek yg terhembus diantara kami, yang datang dengan berbagai latar belakang yang beragam baik dari segi umur, profesi, pendidikan dan tentu pengalaman hidup, suka dan dukanya.
Dalam gelak dan tawa, lalu sampai juga perbincangan kami ke soal definisi Hak Asasi Manusia/HAM yang demikian subyektif itu. Subyektif karena sangat tergantung kepada siapa yang tengah memegang kunci sejarah. Apakah itu sebuah rezim yang mendunia, apakah yang mempunyai kendali terhadap berita, atau apakah itu soal sejarah yang belum juga memihak kembali. Saya jadi ingat tempo hari baca tulisan Aswendo di koran, yaitu kritik kepada "kebebasan pers" yang dulu memang kita impikan bersama. Katanya kalau dulu berita adalah upacara, maka sekarang berita yang penting aspek emosionalnya (perasaan). Spot to spot saja, tidak lagi dirasa perlu menyampaikan masalah secara lengkap dan berimbang. Seperti apa kesimpulan yang akan didapat? Mestinya menjadi seperti orang buta mendeskripsikan gajah. Dan toh soal obyektifitas berita sudah lama tidak perlu mendapat perhatian. Dampaknya temtu pertaruhan jumlah minat penonton & pembaca, yang memang saat ini sedang demam mengekpresikan perasaan. Tercermin dari tontonan reality show, akan gampang kita saksikan penonton yang tersedu-sedu atau ikut menangis karena hanyut bersama perasaan calon bintangnya, apalagi bila sorotan kamera tertuju kepada sang bintang dan keluarganya. Gejala apa ini? Atau sudah bukan sebuah gejala lagi, karena toh kita sudah tidak tergetar lagi dengan lagu Indonesia Raya atau Padamu Negri. Nasionalisme sepertinya sudah menjadi kotak kayu yang uzur, karena justru dominasi kapital telah mengabaikan segi-seginya dan selanjutnya menjadi isu yang tidak menarik lagi untuk dibahas, di tanah air kita tercinta ini.
Angin dingin bertiup kencang, kawan bertanya dan malam itu tanpa kami menjawabnya. Untuk siapakah HAM diperuntukkan? Karena toh satu setengah bulan setelah hari pernikahannya dengan istri tercinta, "tanah air" sudah memanggilnya. Untuk lebih dari sekian belas bulan hidup di dalam belantara. Dan kemudian pulang kembali ke rumah menemui anaknya yang tahu-tahu sudah besar. Apakah hak-nya untuk menikmati hari-harinya bersama istri tercinta & keluarga tidak perlu kita bahas karena ia berbaju hijau? Dengan menyebutnya sebagai sebuah nasib. Dan memang tidak pernah populer kita bahas positioning mereka yang selalu kita cap sebagai alat kekuasaan, sesaat setelah pergolakan politik yang membawa sebuah musim euforia, dan belum juga ada tanda-tanda langit cerah di musim ini. Dan sampai hari ini masih membingungkannya untuk siapa dan harusnya seperti apakah HAM didaulat.
Api unggun berderik, tanda sebuah bongkahan bara lepas. Dikenangkannya sebuah pertemuan perjumpaan, karena soal peruntungan sajalah sehingga ia masih dapat terus hidup, ketika dalam sebuah patroli, tanpa perlindungan yang memadai masih beruntung ia lolos dalam hujan peluru yang menderanya beberapa sentimeter dengan hanya perlindungan air sungai yang keruh, ajalnya memang bukan di pertemuan perjumpaan itu. Baginya justru Tuhan-lah masih memberikan hak hidupnya, setelah ujian itu. Lalu diungkapkan pikirannya bahwa tidak perlu dipertentangkan lagi soal benar salah, karena masing-masing pihak memang punya dasar kebenaran masing2.
Malam itu, dalam pikiran saya, hidup menjadi demikian kompleks & makin banyak segi ketika seorang kawan yang lain bercerita soal 98, ketika kerumunan demonstan yang dihadapi justru baginya telah merangsek melewati batas kehormatan, perintah batas pengamanan. Tapi masih dapat juga dia berpikir jernih, bahwa bila hak batas kehormatan-pun, tidak perlu membuang peluru tajam ke kepala atau lambung lawan, cukup bola lampu di atas kepala, untuk sekedar menyurutkan langkah para pejuang hak asasi manusia & sebarkan berita bahwa bukan peluru hampa. Ya, bila mengingat aura kala itu, kita jadi ingat bahwa ternyata benar salah pun lebih soal selera dan relatif. Ketika ternyata asumsi, harapan, impian atau perhitungan-perhitungan kita kala itu soal HAM, soal demokrasi, soal lapangan pekerjaan, soal investasi, soal kesempatan mengenyam pendidikan murah atau soal kepastian hukum, yang setelah sepuluh tahun kemudian telah juga hampir-hampir saja kandas diterpa kenyataan. Dan rasa-rasanya mungkin kita sepakat, kemudian politik menjadi panglima.
Angin gunung bertiup dari puncakan stasion relay TVRI tangkuban perahu, bertiup ke lembah kawah upas lalu membubung ke atas menerpa kita dan menerbangkan bunga-bunga ingatan-ingatan masa lalu yang kita kerahkan ke tengah-tengah lingkaran unggun api kita.

No comments: