Monday, September 1, 2008

In the heart of Sumatra


Segelas kopi manis di Jambi,
bagian tanah air Indonesia yang sedemikian luas
konon dari Sabang sampai Merauke
ingat-ingat di buku rangkuman pengetahuan umum ketika SD dulu
konon ekonomi di sana menggeliat semenjak otonomi daerah,
dibandingkan waktu terpusat
tapi ekonomi seperti apakah
karena badak sumatra yang ada di taman nasional kerinci seblat
akhirnya dinyatakan punah koran hari ini
karena rupanya hutan primer sudah banyak berubah
jadi hutan sawit atau hutan produksi pabrik kertas
dan tentu suku anak rimba yang kita temui tempo hari
sudah "diperadabkan", karena dia sudah berbaju & bercelana
sebuah land rover long chasis tua melintas,
dengan sabar memikul beban sawit yang hampir overload
segelas kopi pahit di muara tebo,
apakah ini dipetik oleh para petani dari kaki-kaki G Kerinci?
suatu tempat yang masih menjadi imaginasi
tapi benarkah justru imaginasi lebih penting dari ilmu pengetahuan?

Segelas kopi pahit dan dua kerat gorengan di muara bungo,
jalan beraspal telah menghubungkannya dengan Sumbar dan Jambi
di kanan kiri jalan, hutan dan rawa-rawa
sesekali jalan akses yang entah menembus kemana, di jantungnya Sumatra
yang jelas dipisahkan lembah di depan kami tampak bukit gundul
ending sebuah proses pembukaan hutan yang "praktis & efisien"
dan di seberang yang satu lagi kebun sawit yang gemuk-gemuk
apakah kemajuan ekonomi harus sejalan dengan tingkat degradasi lingkungan?
lalu bau busuk menyengat, di sebelah kiri jalan bangkai babi hutan yang tertimpa sial
apakah investasi atau penanaman modal
harus didefinisikan berpindahnya kemakmuran dari isi hutan ke kota
titik segitiga hitam di GPS menunjukkan posisi

Segelas teh manis aroma panili di kota kecil Sarolangun
karakternya yang sedemikian kuat
dan ingatanku melayang ke teh aroma melati
di angkringan lor stasiun tugu Yogyakarta
dan malam tanpa bintang
sebuah pasar malam ramai dikunjungi pasangan muda mudi
kita berbincang-bincang dengan sebuah keluarga
makan malam dengan satu bagian kecil masyarakat Indonesia
Sebelum ini, pertigaan sebelumnya, Bangko,
arah jalan ke danau Kerinci,
tempat dihasilkannya daun-daun teh dan biji kopi terbaik,
karya tangan-tangan petani kita
yang cuma kita kenal statistiknya
lalu kita hapalkan bahwa negeri kita negeri agraris,
dan kita tidak pernah bertanya kepada guru-guru kita

Segelas kopi pahit di lubuk linggau
Sepiring lontong sayur dengan kuah santan & labu siam
Mengingat kembali waktu pagi-pagi di Jogjakarta,
menu makanan ini yang dulu sempat kucibir
Akhirnya kunikmati juga, di tengahnya Sumatra
sajian di sebuah warung pasangan transmigran asal Jawa

Aku bersyukur, menjadi orang yang beruntung
Melihat masyarakat Indonesia dari dekat, suka dan dukanya
Menghirup harum aroma hutan dan rawa-rawa yang ditimpa hujan
Melihat hijaunya sayuran di pasar tradisional
Melihat merahnya sisa daun yang terjilat panasnya api pembakaran hutan, hot spot katanya
Melihat warna-warni umbul-umbul demokrasi, yang terkaanku dihasilkan dari uang yang tidak sedikit, sebagai sebuah bukti "kemajuan" berpikir.
Melihat warna-warni antrean panjang kendaraan karena pom bensin telah kehabisan BBM.
Dan sekilas sebuah tayangan TV, rakyat di sebuah kota besar berjubel-jubel antre beras, supermi & minyak goreng gratis
Yang tidak mirip antrean panjang para penggemar fanatik musik di negri dongeng sana, yang setia menunggu sampai toko kasetnya buka

Dan lalu kuceritakan padamu.
Meski cuma ini dan dengan cara ini.
Happy Romadlon!

1 comment:

Anonymous said...

copy paste nggo blog-ku, ganti alamat hutan wae:-D
cuma ada 1 hutan di sini. kmrn bar kobongan, alproku perpu.
lagi golek t4 berteduh ki, dr kmrn nomaden...