Monday, September 8, 2008

Pendidikan kelas dunia


Baca berita, konon 60.000 dari 120.000 dosen tidak layak. Lantaran banyak dosen yang masih S1. Padahal konon standard menjadi pengajar di PT harus memiliki ijazah magister (S2). Untuk menuju perguruan tinggi kelas dunia, dibutuhkan dosen berkualitas tinggi, kata seorang pejabat tinggi Dikti Depdiknas. Untuk itu semua dosen nanti harus menjalani sertifikasi, dan yang lulus akan mendapat tunjangan profesi, yang untuk dosen biasa berarti 3-3,5 juta. Mana-mana PT yang boleh melakukan sertifikasi pun sudah ada ketentuannya.
Kata sertifikasi membuat ingatan melayang saat masih jadi mahasiswa & PT tempat saya kuliah belum memperoleh "persamaan", dan tiap 6 bulan atau 1 tahun kami mesti menjalani "ujian negara" di Kopertis. Ujian yang mbayar sekaligus menjengkelkan itu. Ya, memilih PTS swasta di bawah sebuah instansi itu saya pilih, diantara pilihan lain dimana saya juga lolos seleksi- UMPTN di Undip & Sekolah Penerbang di Curug-, lebih karena orang tua cuma punya uang terbatas untuk membayar administrasi awal dan prospek ikatan dinas.
Ujian negara yang hampir dapat dianalogikan dengan ujian SIM (surat izin macem2) atau keur kendaraan bermotor, merupakan momok bagi mahasiswa PTS, minimal buat saya, bukan masalah sulitnya soal, tetapi lebih dari sistem penilaian yang tidak jelas. Mengapa kami katakan demikian? Pengalaman yang saya alami, ada satu atau dua mata kuliah dimana saya merasa "dapat" menjawab soal, tetapi nilai yang keluar tetap D atau E. Saya menempuh satu-dua kali ujian, sampai batas ketelatenan habis, lantas pada sebuah ujian berikutnya saya memilih menulis lirik "belum ada judulnya" Iwan Fals, dan, ajaib, saya lulus.
Lalu muncullah pertanyaan2, standard sertifikasi apakah sebenarnya yg menjadi acuan dalam pendidikan kita? Apakah juga mirip dengan ujian SIM yang kita bisa nembak, yang penting setelah itu dapat izin nyetir angkot atau mobil buat ngompreng secara legal?
Dan kemudian, bila sudah melewati sertifikasi-sertifikasi itu, apakah lantas memberikan jaminan perbaikan keadaan, menjadi kelas dunia. Dan bila kemudian dosen-dosen S1 kita telah bersertifikasi S2, maka anak didiknya akan menjadi kelas dunia? Semoga saja.
Saya berharap sekali agar alumni-alumni S1-nya kemudian akan menjadi change agent, yang membawa perubahan-perubahan progresif dan revolusioner di segala bidang. Bukan menciptakan generasi pengeluh yang cuma menyalahkan keadaan tanpa langkah nyata untuk mulai memperbaikinya, dalam hal yang paling sepele sekalipun. Yang mencetak anak-anak muda yang handal yang dapat memotivasi dirinya sendiri untuk membuat "kesempatan" dan bukan hanya menunggu kesempatan datang. Yang mentriger terbentuknya manusia-manusia sosial tanpa kehilangan jati dirinya di dalam kelompok, dan bukan manusia-manusia elite yang terhormat dan terus-menerus terkunggung oleh aroma ganja intelektualitas. Yang mengajak anak didiknya untuk sempat menengok sekeliling, lalu menyampaikan pesan berantai, bahwa semua kesuksesan itu dicapai bukan cuma lantaran kecakapannya dalam menguraikan teori-teori, menghapalkannya dan lalu membuat teori-teori baru, tetapi juga bahwa itu adalah hasil dari sebuah interaksi atau team work yang kadang tidak kasat mata dan terlalu rumit atau tidak menarik untuk diurai (yang tim tugasnya tim, yang work tugasnya work). Yaitu, kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20%, sebagian didapatkan dari restribusi mak-mak sayur di pasar tradisional, dari pa'e sol sepatu, restribusi warung kopi, utang luar negeri, atau pajak berganda ekonomi mikro lainnya. Dan, tidak harus mereka menerima kembali "manfaat" setorannya. Dan tentu, pendidikan kelas dunia, yang mampu membuat key person-nya mampu memutuskan, mana yang lebih penting antara membangun sekolah rusak di desa-desa atau di kota atau mensubsidi SPP pendidikan dasar dimana untuk mendapat keringanan saja dengan persyaratan yang demikian rumit itu, bila dibandingkan dengan akumulasi tunjangan buat dirinya. Dan lalu, tentu saja sertifikasi, yang efek dominonya menelorkan anak-anak muda dinamis, yang sanggup memberikan energinya yang serius untuk kedaulatan tanah airnya, alam dan lingkungannya, tanpa kehilangan sisi manusianya untuk sesekali berbicara soal cinta atau keindahan, dalam arti yang seluas-luasnya. Ya, bagi saya, yang penting adalah yang menggerakkan itu semua terwujud satu persatu, tidak penting lagi apakah dia berlatar belakang S1 atau telah S2 & lulus sertifikasi.

Bandung, 8 September, nunggu sahur

6 comments:

Anonymous said...

SETUJU!!! Kenyataannya,banyak orang-orang yang lulus dari sekolah kehidupan yang tak bertitlelah yang bisa bertahan hidup, dan gk sedikit orang yang title-nya baris seperti mau upacara gk tau gimana menyingkapi hidup yang semakin multicomplex

Anonymous said...

ga setuju ah...
bukan tpik tapi masalah jeroning isi.
berat nih kumendan.
ga ketelan.
kok ga diasupkeun ke trimedia aja...

Anonymous said...

Tulisannya banyak kekecewaan di masa lalu ya. Gak setuju ah dengan judgement yang kayak itu. Baiknya renungkan kembali sebab akibatnya.

Mas Komandan said...

Masalahnya bukan kekecawaan masa lalu, itu sih setiap orang pernah mengalami, tepatnya kejadian-kejadian "LUCU" yang berhubungan dengan prestasi akademis yang pernah pernah saya alami, dan hal-hal yg kemudian saya temui di dunia nyata, yg ada di sekitar saya sampai hari ini. Begitu kira2...

Anonymous said...

don't forget to bring brownies :)

Anonymous said...

Wah sekarang para dosen s1 sudah di perntahkan unt mlanjutkn skolahny ke s2 :D