Thursday, September 18, 2008

naik kereta api

rumah persis di pinggir rel kereta api dan jarak cuma sekitar 2 km dari stasiun poncol rupanya mengakrabkan kami dengan sosok yg dinamai kereta api.
sejak kecil kami berinteraksi dengan berbagai cara,
memasang paku buat dilindas roda2 kereta, dan lalu dibuat pisau yg tidak tajam, melempari kereta barang yang lewat dengan batu,
menempelkan telinga di rel kereta buat mendengarkan suara-suara,
atau cuma melatih keseimbangan dengan jalan di atas rel.
sampai suatu hari waktu masih ingusan, sekeluarga naik kereta dengan loko hitam, -yang setelah dewasa kutahu perjalan dari semarang ke ngawi-, tempat nenek, saya cuma ingat matahari pagi yang bulat nyata dan kereta yg terlalu sering berhenti. sampai saya sering mengumpat akan "menembak kondekturnya", kekesalan anak2.

lalu lepas SMA saya kuliah ke bandung. liburan adalah sesuatu yg sangat ditunggu-tunggu dan saya selalu menyukai menggunakan kereta api turun di jogja atau solo, menggelandang satu dua hari, baru kemudian pulang ke semarang. ada dua kereta yang paling membekas karena saking seringnya "berinteraksi".
badrasurya jurusan bandung surabaya pp dan kahuripan bandung kediri pp. sampai-sampai hapal dengan mas2 petugas resto KA ekonomi siang tersebut.
mengamati arus ekonomi mikro di atas kereta,
mengamati simbiosis antara rakyat & KA,
mengamati pemandangan berupa hamparan padi menguning di sawah,
mengamati petani atau anak-anak desa bersepeda ke sekolah,
mengamati kabut yg kadang masih mengintip di pinggiran hutan batas sawah,
mengamati jajaran perbukitan yang tak bernama,
mengamati jajara kebun tebu yg menyiman tragedi seputar 48 atau 65,
atau sesekali yang lain mencoba menerka-nerka, sekeras apakah rodi membangun bentangan rel yg sedang kami injak atau melubangi terowongan ijo,
dan tentunya sesekali mengamati mahluk manis yang "tersesat" tertangkap pandangan,
sambil ditemani segelas kopi khas restorasi KA ekonomi,
itu semua adalah pengalaman hidup yg "tiada tara".

kereta api yang kunaiki waktu itu selalu disebut "ekspres", meski di dalam hati selalu bertanya kolerasi ekspres dengan seringnya ngalah saat "kres" dan memberi jalan KA dengan kasta lebih tinggi buat lewat, ada argolawu, argo dwipangga, argo wilis dll, untuk membedakan dengan "argosabar", istilah Pak Bariman.
minggu lalu saya berkesempatan reuni lagi dengan kereta api meski "terpaksa" harus naik kereta non ekonomi, biasa disebut eksekutif. malam itu dari bandung ke yogyakarta, tentu tak lupa dengan ditemani segelas kopi.
film di kepala diputar lagi ke beberapa tahun yang lewat, ketika perjalanan dengan kereta api menjadi demikian mengesankan. sampai2 suatu saat saya pernah bercita-cita, akan melakukan perjalanan dgn KA ekonomi keliling jawa, bila telah lulus kuliah. Namun, cita2 tersebut belum pernah serius saya perjuangkan dan belum terwujud sampai hari, 10 tahun sejak pintu kelulusan.
Entahlah, bahkan saya selalu tidak jelas untuk berpendapat, apakah cita2 seperti itu menjadi tidak berarti buat diperjuangkan bila dibandingkan cita2 "serius" lainnya?
Ketika kita mulai mempunyai pakem soal manfaat & guna.

2 comments:

Anonymous said...

Kereta Api,
menjadi vehicles ter-favorit untuk
masyarakat dr semua golongan,
sayang manajemen PTKA sekarang semakin buruk, sehingga banyak kita temui kecelakaan K.A yang disebabkan
oleh buruknya kondisi lintasan K.A.

Anonymous said...

Beda banget dgn dirimu komandan. Aku merasakan naik kereta ekonomi pertama adalah pasca lulus. Posisi sikil hrs nangkring di kursi cz dibawahnya ada penumpang klekaran tutupan koran. Sementara penumpang bangku depan kakinya slonjoran sampai kursiku cz ga bisa ditekuk. wis jann ... katro.
Mgkn aliran kita beda ya, diriku lebih akrab dgn motor, mau ke mana saja nggeblas cukup dg motor. Hasilnya agak alergi dg yg namanya angkutan masal.