Saturday, November 8, 2008

tentang 80 tahun sumpah pemuda, yg tercecer dari gladian panji geografi 2008

jangan bertanya apa yaaang telah, negara berikan kepadamu...
tetapi tanyalah apa yaaang, tlah kau berikan pada negaramu...


lagu sumbang dengan tempo mars membubung di udara yang dingin. matahari pagi itu tidak sanggup menembus awan yang berlapis seperti pertahanan catenacio sepakbola italia. cuaca yg sangat cocok untuk meneruskan tidur malam yg tidak sungguh-sungguh nyenyak. angin tidak benar-benar bertiup, pohon-pohon di sekitar lapangan rumput persegi yang cukup lebar itu tidak banyak bergerak. sesekali saja daun-daun cemara yg sedikit mengering berguguran ke pinggiran lapangan yang menghadap ke barak-barak kecil. pohon-pohon cemara yang itu juga konon sudah tegak berdiri di tempat itu sejak tahun-tahun awal abad ini, ketika belanda menjadikannya sebagai tempat berlatih polisi-polisinya, mengamankan koloni-koloni dan aset-asetnya dari resiko-resiko pergolakan sosial inlander. sekarang ini tempat tersebut menjadi tempat latihan dasar salah satu tentara elit di negeri ini, kopassus, yang dipuja seperti dewa dengan simbol-simbol keberanian dan kehandalannya dalam setiap penugasan membela tanah air dari rongrongan 'instabilitas' sekaligus dicaci maki sebagai biang kerok berbagai masalah hak asasi manusia di negeri ini yang dalam suatu kurun penuh kekerasan. relativitas yang sebenarnya.
di puncak gundukan yg tertinggi di hadapan lapangan terdapat sebuah bangunan kecil berarsitektur londo. aku yang tidak paham dunia arsitektur, -yang cuma dapat menerangkan minat soal bangunan dengan kalimat pengin punya rumah kayu atau setengah kayu yang kecil saja dengan tanah halaman kebun dan padang rumput yang luas-, hanya dapat menebaknya dari bentuk bangunan yg tidak biasa itu. kalau kita dapat mengerahkan gingkang kita untuk mengapung di udara seperti avatar dan dapat melihat bangunan tersebut dari atas, maka kita akan melihat bentuk bujur sangkar, dengan penanda utama di sebuah sisinya meruncing sebuah tungku penghangat ruangan kalau di bawahnya dibakar kayu-kayu. memang beberapa wajah sudah berubah seiring waktu dan pertimbangan-pertimbangan kepraktisan, tapi seperti replika perahu pinisi, dia masih menyimpan energi sejarah.
bangunan itu baru dapat detail kami amati pada kesempatan itu, memang, sering terjadi di dalam hidup kita, hal-hal yang kita temui dekat di sekitar kita tidak kita sadari bentuk, fungsi, asal usul, apalagi sejarah yang melingkupinya. sampai kita diberikan kesempatan untuk dapat mengamatinya kemudian.
bangunan itu sepertinya dulu pernah jadi tempat nongkrongnya gubernur jenderal atau londo-londo yg lain barangkali mengamati latihan perang-perangan, atau entah untuk menikmati bentang alam pemandangan danau buatan yang indah yang dikelilingi gunung-gunung, sambil menghirup kopi terbaik di dunia.
disebelah-sebelahnya adalah barak-barak tadi yang menghadap lurus lapangan rumput, yang mungkin dulu disetting sbg barak-barak pengawal.
lagu-lagu sumbang belum berhenti, beberapa kesempatan diulang-ulang. lagu-lagu itu, yang sepertinya akan lucu dibawa ke mikropon tempat-tempat hiburan karaoke, dipercaya dapat menghidupkan suasana, semangat, kesadaran cinta tanah air, daya juang dari ratusan muda mudi yang "tersesat".

situlembang tak akan kulupaa, tempat kita berlatih bersamaa
tiap hari selalu ditempa, tuk menjadi panji muuda jayaa
itulah harapan bangsa dan negaraaa...


ya, seminggu itu enam ratus delapan puluh sekian muda mudi, dengan 600 muda dan delapan puluh sekian mudi dari hampir semua propinsi yang ada di tanah air ini, mereka mengalami sebuah pengalaman yang bisa jadi sekali seumur hidup. mereka memiliki berbagai latar belakang pendidikan, dari SLTA, kuliah, atau sudah tidak sekolah lagi, untuk memperhalus drop out. berbagai latar belakang suku, budaya, agama, adat, makanan kesukaan, lagu kegemaran atau buku-buku bacaan. dengan berbagai latar belakang minat atau akademis juga, terutama untuk perhimpunan kampus/sekolah, ada yang sekedar mencari kenalan, pengin dapat ilmu baru, keingin tahuan, pengin reuni dengan kawannya yg pernah ketemu dalam acara lain sebelumnya, atau sekedar mengikuti petunjuk gerbang misteri sebuah acara atau pertemuan, yang tidak pernah benar-benar bisa kita tebak deviasi antara harapan dan kenyataan. seminggu itu pemuda pemudi harapan bangsa ini melaksanakan pelatihan mitigasi bencana, how to minimize the effect of disaster, bencana dalam skala kecil maupun besar, dengan mengikuti latihan berbagai matra: rescue air, rescue tebing dan rescue gununghutan. setiap orang dapat memilih matra yang diminatinya.
kalangan panitia tidak kalah seru dan kompleksnya. panitia dari berbagai latar belakang, ada sipil ada militer, ada juga TKD, tentara karepe dhewe. istilah itu biasa kami gunakan buat menamai orang-orang yang lebih sering bergaya militeristik dibandingkan tentara sebenarnya, kalau dipikir-pikir malah tentara yang asli saja kalah persis. dan kadang-kadang saya merasa termasuk golongan yang itu. bacaan semasa kecil tentang Indian Amerika, Old Shaterhand & Winnetou, kisah petualangan-petualangan di hutan seperti Jungle James, Jhonny Quest atau kisah-kisah perang pasifik, buku tulisan Bapak Pandu Dunia, rupanya mempengaruhi saya untuk sering mendefinisikan diri sebagai penjelajah hutan, gerilyawan atau milisi-milisi inggris dalam sebuah tahap French and Indian War, atau para pathfinder di dalam perang sipil Amerika, dan juga para pencari jejak suku-suku Dayak. mendefinisikan diri dalam hal berpakaian saat "in action" atau dalam pola pikir, dan mungkin pola tindak. naluri yang kemudian muncul tanpa disadari dan tidak berusaha juga untuk dicegah. secara kasat mata, orang-orang seperti ini dapat ditebak dari style-nya saat tampil maksimal di medan operasi, bisa style Indian, bisa style loreng-loreng, bisa juga style petani atau vietcong. pendek kata, gunung hutan adalah aktualisasinya, seperti seorang penyanyi rock macam Mick Jaggernya dan Rolling Stonenya yang tampil ekspresif di panggung pertunjukan yang menjadi aktualisasinya. tampil maksimal, kata om bejat. karena aktualisasi, energi yg muncul jangan ditanya.
ide pertama kegiatan ini muncul dari petinggi korps baret merah, untuk membuat acara yang bertepatan dengan peringatan 100 tahun sumpah pemuda. bagi mereka dan rupanya juga bagi kami, hal itu penting. bukan masalah peringatan atau pembuatan monumennya, tapi soal sedikit hal yang dapat dilakukan pemuda pemudi kita dalam 100 tahun hari jadi-nya, untuk tanah air tercinta. dengan berusaha mensinkronkan persepsi-persepsi, soal penanganan bencana. ya, dan penanganan bencana cuma satu parameter dari ribuan atau jutaan hal yang terkait dengan mesin besar tanah air ini. Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung dan beberapa anggota perhimpunan sejenis lain sperti KSR ITTelkom, AMP Unpad dan lain-lain mengoperasionalkan konsep-konsep yang disusun. semua komponen adalah penting di sini. konsep dioperasionalkan dan suatu saat lain operasional dikonsepkan.
hari pertama, pembukaan, menarik buat diamati, pencitraan para muda mudi penggiat KAT/kegiatan di alam terbuka atau pecinta alam sebagai manusia yang bebas terlihat dari style cara berpakaian, atribut, warna-warni pakaian, pernak-pernik aksesoris yang dipakai di badan atau pakaian, sampai potongan rambut.
saat gladi bersih upacara pembukaan dilakukan, butuh waktu yang cukup lama untuk sekedar menata barisan. apel atau upacara adalah budaya militer yang tertib dan teratur, sedangkan para peserta adalah orang-orang bebas yg ekspresif, yang mungkin sebagian dari mereka sudah lama tidak pernah mencicipi budaya tersebut. Sersan satu Hasim, kameramen yang berdiri disebelahku cuma senyam-senyum menyaksikan kontradiksi-kontradiksi yg terjadi. ia tertawa ketika melihat para peserta tertawa-tawa melihat kawannya yang menjadi komandan upacara melakukan kesalahan, yang memang wajar ditertawakan. "Kalo kita yg di militer upacara adalah hal sakral, melihat peserta yg bisa tertawa-tawa atau tepuk-tepuk tangan, kita melihatnya aneh, gimanaa gitu," kata sersan satu Hasim. Meski tidak sempat terdengar lontaran gerutu peserta yang merasa "terperangkap" di sebuah peradaban berbeda, kami dapat melihat raut muka sebagian peserta yang menahan gerutu, protes, uneg-uneg karena "diteraturkan", meski sebagian lagi nampak enjoy-enjoy atau masa bodoh saja mengikuti alur skenario. dua budaya yang berbenturan.tapi lambat laun dengan atau tanpa keterpaksaan, semua dapat menempatkan diri di posisi-nya masing2. standard-standard pergerakan seperti "harus memakai sepatu", dapat dipatuhi para peserta dengan berbagai macam cara.
tak apalah, sebuah pelajaran didapatkan, menghormati aturan pihak yang dituanrumahkan. dan hal ini juga sudah diantisipasi tuan rumah juga, militer punya caranya sendiri. penyamaan persepsi, dan itu dapat dimulai dengan meninggalkan ciri2 individual atau kelompok perhimpunan asal, dimulai dari menyeragamkan pakaian atas & topi peserta. kalau kita hubungkan dengan kenyataan pahit yang bergelombang melanda tanah air kita tercinta, -yang ternyata tidak berbanding lurus dengan "kemajuan signifikan" demokrasi indonesia yang selalu kita banggakan dan menghiasi headline koran lewat hiruk pikuk pilkada menggeser topik-topik ekonomi yang selalu buram-, ada sebuah situasi dimana persepsi dan pola pikir perlu untuk disamakan dan ada juga situasi dimana persepsi dan pola pikir dapat dibiarkan bebas. kita saja yang tersesat mempertentangkan secara menghabiskan energi bahwa suatu perlu diatur atau tidak, dan lalu pada aplikasinya justru kita tidak pernah mengatur dan menghasilkan apapun, meskipun tidak berarti dibelakang topi atau baju yang sama akan ada otak yang benar-benar sama.
upacara pembukaan mulus tidak terjadi kejadian-kejadian aneh, konyol, lucu atau memalukan. sepertinya everything allright, and everyone happy, (who knows?).
termasuk saya, karena kebetulan saya termasuk yang mensakralkan sebuah upacara seperti itu. dan tanpa menaruh di depan segala persepsi negatif soal militer di tanah air atau misi2 penggalangan, kita layak senang dengan kegiatan seperti ini. dan yang jelas mereka beruntung memiliki kesempatan menjadi sebagian manusia berempati terhadap manusia lain yang terdera bencana, meski kesempatan itu belum tentu akan diambilnya kelak. dengan empati itu mestinya dia dapat menikmati keindahan sebuah kesederhanaan, dari hal-hal biasa yang ada di dekat kita, mengamati Indonesia & masyarakatnya dari dekat, sebagai sebuah anugrah Tuhan yang luar biasa.

(ngedit dari 100th ke 80th)
bersambung ya'e

2 comments:

Anonymous said...

dua budaya yang berbeda bertemu karena visi dan interest. ada satu kepesimisan tentang menyatunya kedua budaya itu mengingat kurun waktu terbentuknya watak, kebiasaan, dan karakter tidaklah hanya satu dua minggu saja. di-nol-kan selama 3 bulan pun, cukup dengan rotasi bumi dalam hitungan yang sama akan menghapus nilai nol itu.
yang terutama adalah bahwa ruh tentang visi itu tertanam dan syukur2 bisa tumbuh dengan ureanya adalah aktivitas2 sejenis. karena tidak mungkin jika mengharapkan ilmu itu diterapkan beneran yang berarti ada kejadian beneran.
sukmben melu siji. wakil dari bupala (bukan pecinta alam)

Anonymous said...

mengamati Indonesia & masyarakatnya dari dekat. membuat kita semakin bangga menjadi bagian dari bangsa ini, kata gie, hidup di indonesia ini ada dua pilihan yaitu :
menjadi apatis atau menjadi idealis, pertanyaannya, kita menjadi bagian yang mana bung?