Saturday, November 15, 2008

prapatan, living on the edge

Sekolah anak ini adalah sekolah nasional, yg belum juga terpecahkan teka-teki artinya bagiku, atau masih malu nanya2 apa artinya. Apa karena bahasa pengantarnya pake bahasa inggris dan juga diajarkan Mandarin, lalu sekolah itu disebut national school? Bukankah yg tepat international school? Atau artinya sekolah negri? Tapi mengapa baju seragamnya yg putih merah hanya dipakai di hari tertentu yg cuma sehari sepertinya, berbeda dengan ingatanku saat sekolah di SD negeri pendrikan lebih dari 2dua dasawarsa yg lewat.
Bagi yang datang dari 'suburban' seperti saya, akan gumun dengan sekolah yg modern & terkesan mutachir seperti itu, asli. Guru-gurunya ramah atau minimal selalu memasang mimik yang ramah, dan kalau 17an selalu rame dengan lomba-lomba buat siswa & orang tuanya. Di sekolah itu juga disediakan jasa psikolog, terutama untuk membantu masalah perkembangan psikis anak, meski tidak menutup kemungkianan psikis orang tuanya. Di sekolah itu ada tukang parkir dan satpam yg disamping memantau mobil juga memantau para penjemput, dan mereka hapal orang-orangnya. Ruang kelas ber AC dan staff pembantu, dari satpam sampai cleaning service menggunakan pengantar bahasa inggris sesama mereka. sekali-sekali saya juga mencoba menyapa atau berkomunikasi dengan mereka memakai bahasa inggris, tapi ya jarang-jarang sekali, berhubung minim kosakata dan cuma hapal it is = itu. pendek kata, sekolah ini seperti digambarkan oleh andrea hirata dalam novelnya laskar pelangi, sebagai antagonis sekolah muhamadiyahnya,sekolah PN.
minggu lalu dengan tergesa-gesa saya mengambilkan laporan pendidikan berupa nilai siswa/rapot, berbeda dengan rapot kami waktu SD dulu di kampung pendrikan. Rapot tengah semester yang ini banyak pake bahasa inggris, dan ada keterangan tuntas atau tidak tuntas,dikaitkan dengan passing grade utk nilai2 mata pelajaran itu. Formatnya justru malah mengingatkan rapot TK dulu yg diisi kalimat2 : kemandirian, suka menangis, mengganggu teman, yg kemudian ada tanda x sana sini.
akhirnya terjebak juga aku dalam sebuah situasi yg disebut menimbang dan lalu memilih. ketika seorang anak kecil yg kadang2 tampil sebagai replikaku dihadapkan pada sebuah situasi, yang kami sebagai orang yg lebih dulu lahir dan lebih dulu ndolor menganggapnya berada pada sebuah titik warning. ketika nilai rapot mid semesternya (bukan catur wulan lagi) ada mata pelajaran yang alarm?
orang tua kita, guru-guru kita, lingkungan kita yang selalu normal & beradab mengkondisikan kita untuk mempunyai anggapan bahwa nilai rapor yang jeblok adalah tanda2 bencana buat masa depan, yang perlu disikapi dan diambil tindakan.
mencermati rapor, nilai anak itu lumayan, untuk semua mata pelajaran, selain matematika, science & english. nah, masalahnya kata orang itu yang pokok? (gambar avatar lagi mrenges).
Yang paling mencolok adalah metematika, dengan passing grade 65 dan hasil yang dia capai adalah 35, tidak tuntas. Untuk science & English masih deket2 tapi di bawah passing grade juga. beberapa kali anak ini mengikuti remedial untuk matapelajaran matematika ini. Dan kalau dicermati dengan membandingkan hasil belajarnya di rumah dan pekerjaan sekolahnya, masalah dia bukan di kemampuan otak buat berhitung, tapi lebih ke masalah konsentrasi. bila di rumah dia mudah tergoda adiknya yang sedang main buat bergabung, kalau di sekolah dia gampang terpengaruh kawan-kawannya buat buru-buru keluar kelas.
aparat sekolah menganjurkannya buat ikut les, yang kalau di sekolah ini disebut club. mengingat masalah terberatnya, dia diikutkan math club & english club. rengekannya buat megikuti sportclub, minatnya, akhirnya kami kabulkan juga. sebaliknya rengekan darinya buat memohon-mohon & mencari alasan tidak ikut math club. saya mikir & berharap, hal-hal yg diminatinya dapat mengkompensasi kemalasannya untuk 'diperadabkan' di math club. Ya, karena bagi saya waktu kecil sampai SMA, les adalah penjara, kita di dalamnya cuma menunggu & berharap jarum jam berputar cepat untuk berakhirnya. Dan Ibu saya masih sering mengulang2, kalo aku dulu lebih memilih berangkat latihan kung fu di aula basket SMA loyola daripada ikut les bahasa inggris.
siang tadi terasa kembali sulit juga untuk membujuknya mengikuti mathclub, seperti yg sudah-sudah, akhirnya kukeluarkan juga "sabda motivasi rahasia seri 1" dari sekian puluh yg tidak pernah kuhitung tetapi sering muncul di saat tepat, "kak, besok2 lagi kalau nilai semester atau midnya bisa mencapai 70 aja (lebih sedikit dari passing grade yg 65), dia boleh tidak usah les lagi" dan sepertinya dengan berat hati dia mau dan mampu merasa bisa mencapai passing grade lebih sedikit itu.
mengapa memotivasi dengan "cuma" itu rupanya kembali ke persoalan saat ini yang direfleksikan ke masa lalu. saya mencoba mengaktualkan riwayat hidup saya saat masuk & sekolah di SMP, SMA dan mendaftar PT, Akademi, Sekolah Tinggi dll yang lebih sering lulus "sangat memuaskan" dengan predikat "lolos dari lubang jarum". masuk SMP sy melewati NEM minimal dgn nilai 40,67 (lolos minimal 40,61), masuk SMA jg dgn cukup lebih 1,n. mendaftar PT pun lolos dr lubang jarum ketika waktu ujian buat masuk STTTelkom, masuk Sekbang PLP curug & Sekbang Merpati, bersamaan. dan saya lolos dalam ketiga tahap ujina tersebut. Waktu kuliah pun, sy pernah terselamatkan dari DO oleh sebuah nilai A untuk siskom yang kontras dengan sekian banyak nilai C dan satu nilai D. keyakinan saya bahwa melewati sebuah kelas atau seleksi tidak harus terus menjadi yg terbaik, asalkan tidak kena garukan, asalkan lulus, asal tidak DO, menjadi motivasi yg kuat. Dan akhir masa kuliah-pun lulus dari kampus dengan nilai IPK 2,53 sedikit lebih besar dati nilai ambang batas IPK, yaitu 2,5. hal-hal yang menyerempet-menyerampat resiko itu tanpa sadar ngin kutularkan untuk mengkompensasi ketidakminatannya terhadap sesuatu mata pelajaran. apakah benar atau salah? entahlah, toh saya tidak tahu rahasia Tuhan terhadap mahluk-mahluknya.
yang jelas tidak eksplisit kukatakan kepadanya, bahwa apapun jalan hidupnya saat dewasa kelak, dia harus sadar & aku akan menghormatinya. kelak dia akan dewasa memilih menjadi seorang yang dipandang sebagai kelas "cerdas, cerdik pandai, cendekia" yang "beradab" yang menyampaikan intelektualitasnya lewat nilai A dalam semua matakuliah atau bidang kesarjanaan, atau lewat sebuah karya tulisan apapun dengan bahasa dan deskripsi yg rumit & berselera tinggi. dia boleh juga menjadi dewasa dengan cukup "menjadi orang bodoh" dengan nilai C yg sdh dianggap anugrah, -menirukan deskripsi itu dari andrea hirata di satu halaman laskar pelanginya-, seperti pilihan atau juga kebetulan-kebetulan dari jalan hidup Bapaknya, untuk mengkompensasi segala jenis kegiatan, iseng, kenakalan, uthil, eksplorasi dan petualangan yang tidak pernah ada SKS-nya. dia boleh jadi seniman, dia boleh jadi peneliti, dia boleh jadi pengajar, dia boleh jadi wartawan, dia boleh jadi fotografer, dia boleh jadi tentara, boleh jadi pemain bola atau gerilyawan sekalipun. harapku dia harus "sukses" untuk itu, dengan (minimal) sedikit saja memegang idealisme, kejujuran, dan keberanian, untuk menempuh resiko-resiko dari petualangan menyingkap kabut misteri kehidupan & "permainan" Tuhan atas makhluk2nya, untuk dirinya, tanah air dan ilmu pengetahuan, dimana di sana ada pergulatan pikiran, cinta, roman, momen, harapan, atau penjelajahan itu sendiri.

kayu agung, 15 november 2008, ditulis di sebuah koordinat dan sebuah pagi yang pernah menjadi misteri. CO: S 03 23' 39.3" E 104 49' 53.5".



5 comments:

Anonymous said...

Dulu dan sekarang, yang tidak banyak berubah dari pola pikir, persepsi, dan harapan orang tua adalah bahwa keberhasilan itu, kesuksesan itu, yang nota bene representatif dari orang tuanya, harus mengikuti ukuran2 formal.
Berhasil adalah jika nilai matematika bagus. Sukses adalah jika English tidak mengulang. Yang semuanya mengacu kepada pendidikan formal.
Wajar, karena dunia kerja kita, katakanlah penjamin masa depan kita, masih meletakkan kertas2 berharga dari lembaga formal itu sebagai landasan pengakuan yang legal.
Tidak wajar, karena pemaksaan terhadap keharusan si anak lulus dalam semua hal yang dibebankan kepadanya sedikit banyak melanggar hak asasi anak.
Kita terlalu sering berkoar-koar membangun anak, menyiapkan masa depannya, yang sebenarnya adalah masa depan dari masa depan kita yang sekarang.
Nek anake dadi uwong, setidak2nya masa depan kita lebih terjamin.
Btw, untuk Shaolin Sze Teratai Besi itu, dirimu harus menyebut diriku suheng. :-D

Anonymous said...

orang tua terkadang tampak seperti memaksakan kemauan mereka,tanpa pernah menyelami apa yang dirasa si anak. soal pendidikan apalagi.
karena mereka punya rasa takut, rasa cemas terhadap kelanjutan hidup si anak. entah ketakutan macam apa ya?
karena jalan hidup si anak telah dijaminkan oleh Tuhan yang mereka sama-sama yakini.

Anonymous said...

masKomandan, kalo ke kayuagung itu, mbok yao sekali2 mbeliin aku sekeranjang tahu sumedang gitu napa... ?
yo nDan yo?

eh, si sulungmu miriiiippp sama sulungnya mas-ku. Bapak Ibu'e senantiasa bingung :)

Anonymous said...

Aku jadi inget bapakku, yang sedari dulu aku kecil sampai sekarang, adekku yang masih kelas 6 SD, mang"anti"kan ikut les suatu mata pelajaran tertentu. Kecuali dulu jaman ku kecil les bahasa inggris, krn saat itu bahasa inggris belum masuk kurikulum depdikbud. Bapak lebih memilih untuk mengeleskan anaknya les organ atau piano, dan ikutan beladiri. Alasannya adalah, " itu adalah tugas si guru, untuk membuat anaknya bisa". Aku dulu sampai dipindahin kesekolah yang harus berangkat dari rumah jam setengah 6 pagi, untuk menghindari macetnya jakarta. Pulangnya pun gk jarang kebabalasan krn ketiduran di angkot tangerang-grogol.
Kan kasian si anak kalo di sekolah udah dijejelin pelajaran, yang mungkin bikin BT, trus pulang udah capek masih disuruh les pelajaran yang sama. Bukankah otak kanan dan kiri harus mengalami perkembangan yang seimbang?
Yang penting dalam mendidik anak itu, orang tua harus kompak, sejalan dan semisi.
!Gak mudah sepertinya (krn aku juga belum ngalaminnya, cm mengamati orgtuaku mendidik anak2nya), tapi....Jangan pernah berhanti berjuang yang ndan..Semoga junior2 bisa jadi pribadi yang tangguh dunia akhirat.

Anonymous said...

Sekedar usul nih buat mas Komandan, share ceritanya saya kira oke, tapi akan jauh lebih oke lagi bila dibuat dg kaidah bahasa yg benar, ada pembagian paragraf, huruf besar kecil, koma, titik dan sebagainya.

Demikian sekedar usul buat mas Komandan, mohon maaf jangan tersinggung karena yg memberi masukan adalah Pak Panglima.