Wednesday, May 2, 2007

Ketika londo bule menjelajah

At Thu, 08 May 2003 16:07:05 +0700, I wrote :
Satu pagi yang agak remang2, jam setengah sembilanan seperti sering terjadi aku baru berangkat ngantor. Dengan motor pinjeman karena landrover lagi opname, kutempuh perjalanan ke pinggiran Jogjakarta. Di satu ruas jalan, rreeenggmm..sebuah motor enduro menyalipku dengan kecepatan cukup tinggi. Dari belakang sekilas kuamati kelengkapan motor&pengendaranya. Motor enduro itu lengkap sekali, ada tas di kanan kiri dan di depan belakang lebih dari yang pak pos pakai. Spion lengkap standard 'berdo'a' kata orang Jogja. Kukejar dia. Pada lampu merah yang kuharapkan, kutemukan dia. Pantasan, bule dia. Pantasan dia mau pake helm standard, pakaian motor standard, spion standard. Sebagai orang ireng coklat pelan2 mulai malu aku. Inget di negara ini bahkan waktu pak pulisi mau terapken itu helm 'standard', didebat sanasini disuruh terangken 'undang2 atau standard helm standard, definisi helm standard dll' meski bila bener2 diterangken apa itu helm standard bakal terus didebat. Ono wae alasane, asu tenan kata Semarangan. Malu aku, karena kaca spion di motor yang kupake kecil banget, sekecil pen** rata2 orang Indonesia (untung punyaku diatas rata2 he he). Pandangan si bule lurus ke depan, seperti angkuh memang. Seperti tak digubrisnya orang2 disekitar yang memperhatikannya. Sebentar kemudian lampu hijau menyala. rreeenggmm...BERSAMBUNG
At Thu, 22 May 2003 12:39:46 +0700 :
Sambungan suratku kepadamu waktu itu. Ya, dengan spion sekecil itu cuma memenuhi fungsi penampilan, asal terlihat polisi ada spion. Kultur ini ternyata kuat, dari kakek2 sampai anak2 muda, mahasiswa, bakul blanjan dll. Kultur penampilan, ABS, warisan jajahan.Si bule melaju dengan kecepatan 80an km/jam. Lama2 terkejar dia olehku. Rupanya dia tahu tengah kukejar. Sekitar 200 meter lagi kantorku, si bule telah disebelah, kuklakson. Tit..tit...Diacungkannya jempol tangan kirinya. Kubalas dengan lambaian tanganku. Ucap salamku untuk sudut2 tanah airku yang kau jelajahi. Untuk jiwa pengembaraanmu yang melintasi jalan2, budaya, masyarakat, alam raya negeriku. Kamu mungkin tidak mengenal Imam Syafi'i, yg berkata,"Mengembaralah, karena mengembara itu ada hikmahnya". Tapi kamu menikmatinya. Dengan melihat negeri ini dari dekat kamu bahkan semakin tahu bahwa benar negeri 'beradab' ini terkorup di dunia. Satu saat petani ditarik pajak, saat yg lebih lama jalan2 desanya tak kunjung diaspal. Uang aspal tengah dinikmati petugas2 korup dan keluarganya. Kamu tentu melewati sekolahan, yang mana hanya karena masalah dana tujuan pendidikan & pengajaran tidak tercapai. Ya, karena uang negara untuk mereka sudah jadi sertifikat tanah, rumah, deposito, tabungan kekayaan pribadi2 yg 'tidak berhak'. Ato justru sebelum sampe ke negara. Kupakai tanda kutip '...' karena ada yang merasa itu hak mereka, asalkan beberapa persen untuk membangun masjid, bersedekah, berangkat haji, menyenangkan keluarga. Umat beragamanya membenci sekulerisme, tapi pada prakteknya berlawanan, mereka pilih2 hukum yg menyenangkan. Di pelosok2 desa kami, kamu mungkin sulit menemukan anak2 kota 'nongkrong', itulah mengapa film2 Discovery, dokumenter, film pengetahuan di negeriku ini malah Londo yang bikin, rekoso soalnya. Bangsaku cukup bikin sinetron, yang digemari, dihayati & diidolakan ibu2 dan remaja putri. Atau beli meteor garden yang temtu digemari muda mudi kita. Pergerakan mereka terbatas ke play station, ke Mall atau nyambangi kost2 putri (atau nyambangin ibu kost?),"buku ini aku pinjam", katanya merayu. Ya, kota memang menjanjikan segala kesenangan meskipun dengan demikian siklus hidup jadi sangat pendek. Sekolah-kerja-kawin-manak-mati. Ada kalanya aktif dalam kegiatan keagamaan lalu merasa pol, tapi tidak tergerak oleh kesulitan2 saudaranya.
Che Guevara pernah berkata, "Kalau hatimu tergetar melihat penderitaan, maka engkau adalah kawanku." Kalo dipas2ke sebuah hadist ya, "Belum dikatakan iman, bila belum mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri." Kongkritnya tentu bukan mbuh raruh, wis ben pokoke keluargaku nyaman. Si Bule sangat berhak menjajah & menguasai peradaban, dengan segala hasrat bertualangnya, dengan keuletannya mengelola & menempuh kesulitan dalam perjalanan, dengan kemauan sesekali keluar dari garis normal, dengan kemauan memahami & melihat lingkungannya. Sementara bangsa kami hanya mengeluh atas penguasaan Bule pada peradaban. Ya, mungkin memang kita berbeda. Bisa Saja BERSAMBUNG.

No comments: