Wednesday, May 2, 2007

Tentang seorang Ayah

At 12:20 29/05/2003 +0700, I wrote:
Kalau kuingat daun sukun, kuingat ayahku. Sampai saat sebelum ajal datang kepadanya pun masih berjuang. Kalau dulu dia berjuang 'urbanisasi' ke semarang dari desa di jawa timur, menjadi 'kenek' pemanggul senjata & perawat kuda pejuang di wonogiri saat wehrkreize, sampai didapat ijazah SLTPnya di semarang, dari jaga malam, bandar nalo atau gajah gemblek, sampai jadi pegawai tetap di Perum Pelabuhan. Sampai kelima orang anaknya bisa sekolah tinggi2.
Kira2 sebulan lalu ayahku kedapatan sakit kangker & pembengkakan hati. Dua minggu dilaluinya di rumah sakit. Sejak awalpun dokter sudah menyerah, angkat tangan. Tapi bukankah kami harus berusaha? Dari jogja sempat kubawakan daun sukun yg kuning untuk ramuan jamu pesanan tabib. Tapi Tuhan punya keinginan, sebelum itu sempat ditulisnya beberapa wasiat dan diucapkannya beberapa pesan, dan kesehatannya juga makin turun. Ayahku. Di akhir hayatnya pun dia masih berjuang mengatasi rasa sakitnya. Berjuang untuk terus menyemangati dirinya sendiri. Masih sempat kubawakan daun sukun untuk obatnya, meski yang kali yg kedua tak sempat dibuat jamu untuk diminumnya. Daun2 sukun itupun terbawa kembali olehku.
Empat hari dr RS, kamis 14 mei 2003 jam 12.30an ayahku wafat tanpa aku menungguinya. Saat tanda2 itu datang pun aku tak mampu menguatkan hatiku menungguinya. 65 tahun perjalanan hidupnya yang penuh kesulitan. Aku bangga kepadamu. Saat ini bila kudengar lagu2 ebiet "titip rindu buat ayah" atau "satu menit ini misteri', atau bila kuingat daun sukun kuingat ayahku.

No comments: