Tuesday, May 22, 2007

Kembang tebu


Setelah pergerakan di Pangandaran tahun lalu saya ketemu seorang kawan dari UI, kebetulan beliaunya dari fakultas Sastra, yang entahlah beliau ini sudah orang Sastra yang ke berapa yang saya coba tanyain tentang sajak2 lagu Leo Kristi/ Leo Imam Sukarno. Sejak sekitar 10 tahun lalu dengerin Gulagalugu Suara Nelayan dari kasetnya Mas Gapung di Sekre Astacala, saya penasaran pengin ketemu lagi itu lagu-lagu dan belom kesampaian. Sama seperti ketika pernah dulu sekali lebih dari 12 tahun lalu ketika saya denger secara tidak lengkap sebuah lagu yang unik, sampai kira2 dua tahun lalu atau tepatnya sekitar 10 tahun sejak pertama saya denger itu lagu, barulah ngeh saya kalo itu lagu 1000 Mil Lebih Sedepa dari Abah Iwan, tapi dimana saya dapat beroleh kopi-nya? Misteri2 kecil atau penasaran kecil terbongkar dalam kurun waktu yang memakan satu dekade atau lebih. Kawan dari UI itu mengirim kopi lagu2nya Mas Leo. Lalu dalam kurun yang berdekatan tetapi lebih duluan, kami memperoleh kopi 1000 mil lebih sedepa itu dari toko kaset Bulletin di Semarang setelah kudapat informasi dari Oded yang dalam operasi kemanusiaan di Bantul hampir selalu jadi joki Gajah Merah,-Landy-nya Abah Iwan yang masyur di "padang praire"-. Pertemuan yang sangat nikmat.

Sore kemarin saya nganter mbak yang membantu pekerjaan2 di rumah buat pamitan ke orang tuannya, sama Niven, sama Kukhri. Maklum mbak itu anak bungsu, jadi memang sang ortu dengan berat hati juga mengizinkan anak bungsunya "menimba" pengalaman hidup ke pulau sebrang, ke Palembang meneruskan membantu keluarga kami, yang sebagai orang gajian (meminjam istilah Pak Kebluk) sedang menjalani perintah buat ke Sumbagsel, bagian selatan Andalas yang konon 2,5 kali pulau Jawa itu. Ya,kami tidak hendak membayangkan kerepotan2 kami bila tanpa bantuan mbak2 itu. Yang seorang lagi tidak dapat mengikuti pergerakan kami ke tanah sebrang, maklumlah sudah punya anak masih kecil. Repot dan temtu beban mental yang berat memang kalo harus bergerak "jauh".
Sore hampir asar saat kami kami bergerak menyusuri jalanan dari Yogyakarta sampai ke perkampungan di gigir utara pegunungan seribu itu. Stasiun Srowot, Wedi, belok kiri ke arah Bayat, teruuuus kira2 7km, ketemu pertigaan yang ada tugunya, belok kanan terus ke arah Gempol, Watugajah, Gedangsari, nanjak. Standard jalanan yang dibuat putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Ndedel, tanpa basa basi, alhasil tanjakan lumayan ngoyo. Aku bayangkan tanjakan dari Gedangsari ke arah desa si mbak akan berat dilalui mobil2 tua, tak terkecuali buat LandRover Seri IIA pendek yang dulu telah kujual, karena bingung ngatasin suara mesinnya yang berisik. Kalo mau disetel klep buat dihalusin, tenaga jadi loyo, kalo nggak dihalusin, suara mesin bensin-nya kayak mesin diesel. Mau turun mesin, boros. Temtu tanjakan putih ini (karena dari kejauhan cor-coran tanggul jurangnya kelihatan segaris putih) akan memaksa menggunakan gigi "ketjil" atau low, di transmisi kuda beban itu.
Tapi memang pemandangan daerah yang juga diluluhlantakkan oleh gempa 27 Mei tahun lalu itu selalu menarik perhatianku. Stasiun Srowot, Pasar Wedi, rumah tembakau, sawah yang membentang, pegunungan Seribu, perkebunan tembakau, lalu perkebunan tebu. Sepertinya mereka adalah beberapa rangkaian tradisi/proses yang masih beriringan sejak puluhan tahun lalu atau bahkan sejak ratusan tahun, setidaknya saat masa pergolakan sosial sekitar proklamasi kemerdekaan atau seputar tahun 65. Setidaknya kalo kita baca tulisan2 Soe Hok Gie atau cerita2 peristiwa tahun2 itu, logika selalu berusaha mengembara menghubungkan tulisan2 di kertas, dengan tanah-tanah yang pernah punya sejarah. Sejarah soal tragedi, atau pun soal ironi dari sebuah harapan.Sore kemarin kembang tebu bermekaran di hampir kanan kiri jalanan aspal pinggiran Klaten itu. Bagi sebagian orang kembang tebu bisa jadi pertanda sebuah harapan, bagi sebagian lagi bisa saja tak berarti apa-apa. Coba simak lirik lagu dari Mas Leo, tentang kembang tebu yang bermekaran, atau tentang padi yang telah menguning masak, tapi temtunya bukan milik para petani, tapi tak apa setidaknya petani penggarap masih bisa berharap mendapat upah, sebuah ritual yang terus dijalani, mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.
Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku, katakan padanya padi-padi telah kembang, ani ani seluas padang, roda lori berputar-putar.... tapi bukan kami punya ... Kalau ke kota esok pagi, katakan padanya tebu-tebu telah kembang, roda lori berputar siang malam,... tapi bukan kami punya.....

No comments: